LATAR BELAKANG
Di era
reformasi yang memberi ruang keterbukaan dan kebebasan sekarang ini,dalam
masyarakat indonesia telah muncul berbagai gerakan islam yang cukup
radikal.Gerakan ini disebut radikal,karena para pengikutnya terkadang melakukan
aksi-aksi yang menurut ukuran “normal” tergolong sangat kasar, karena mereka, misalnya,
mengancurkan segala hal yang dianggap tidak sesuai dengan norma dan ajaran
agama mereka.Beberapa tempat hiburan,misalnya,didatangi dan dirusak oleh
kalangan ini karena dianggap sebagai pusat sarana maksiat.
Radikalisme
islam di Indonesia muncul dan dipicu oleh persoalan domestik di samping oleh
konstelasi politik internasional yang dinilai telah memojokkan kehidupan sosial
politik umat islam.
Banyak yang
berpendapat bahwa maraknya aksi radikalisme agama timbul akibat lemahnya dan
tidak seiusnya pemerintah dalam menangani kasus radikalisme yang semakin
berkembang.Pancasila dasar negara yang mulai di lupakan sebagian masyarakat
mulai diangkat lagi kepermukaan.
PENGERTIAN ISLAM RADIKAL
Istillah
radikalisme secara bahasa latin radix artinya akar,pangkal dan
bagaian bawah atau bisa juga secara menyeluruh,habis-habisan dan amat keras
untuk menuntut perubahan. Radikal
adalah amat keras dalam menuntut perubahan.
Secara
terminologi radikalisme adalah aliran atau faham yang radikal terhadap tatanan
politik; paham atau aliran yang menuntut perubahan sosial dan politik dalam
suatu negara secara keras.
Islam
Radikal adalah kelompok-kelompok islam yang beraliran keras dalam menuntut
penegakan syariat dengan jalan yang dianggap sebagai jihad.
SEJARAH BERKEMBANGNYA ISLAM RADIKAL DI INDONESIA
Perkembangan
Islam di Indonesia pasca di sebarkan oleh para wali ke depannya mengalami
kemunduran dalam hal hidup berdampingan dengan penuh kebersamaan
ditengah-tengah perbedaan. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari awal masuknya
Islam di Indonesia (Nusantara).
Dalam
lembaran sejarah Islam di Indonesia, proses penyebaran agama tersebut terbilang
cukup lancar serta tidak menimbulkan konfrontasi dengan para pemeluk agama
sebelumnya. Pertama kali masuk melalui Pantai Aceh, Islam dibawa oleh para
perantau dari berbagai penjuru, seperti Arab Saudi dan sebagian dari mereka
juga ada yang berasal dari Gujarat (India).
Salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya proses Islamisasi secara damai itu karena kepiawaian para
muballigh-nya dalam memilih media dakwah, seperti pendekatan sosial budaya,
tata niaga (ekonomi), serta politik. Dalam penggunaan media budaya, sebagian
muballigh memanfaatkan wayang sebagai salah satu media dakwah. Dengan
ketrampilan yang cukup piawai, Sunan Kalijaga misalnya, mampu menarik simpati
rakyat Jawa yang selama ini sudah sangat akrab dengan budaya yang banyak dipengaruhi
oleh tradisi Hindu Budha tersebut. Bahkan, beberapa di antara hasil
kreasinya tersebut mampu menjadi salah satu tema dari tema-tema pewayangan yang
ada, termasuk gubahan lagu-lagu yang berkembang di benak penganut agama hindu.
Selain
menggunakan media tradisi dan budaya, para pembawa panji Islam itu juga
memanfaatkan aspek ekonomi (tata niaga) untuk mengembangkan nilai-nilai serta
ajaran Islam. Dari berbagai literatur terungkap bahwa aspek tersebut menempati
posisi cukup strategis dalam upaya untuk melakukan Islamisasi di bumi
Nusantara. Hal itu bisa dipahami karena sebagian besar para pedagang –kala itu–
telah memeluk agama Islam, seperti pedagang dari Arab Saudi, maupun dari daerah
lain, seperti Gujarat, termasuk juga Cina. Salah satu faktor yang mendorong
minat masyarakat Nusantara untuk mengikuti agama para pedagang tersebut, karena
tata cara dagang serta perilaku sehari-hari lainnya dianggap cukup menarik dan
lebih mengenai dalam sanubari masyarakat setempat.
Setelah
Islam makin kokoh menancapkan pengaruhnya di Indonesia, Islam pun mulai
meningkatkan perannya. Dari yang semula memerankan diri sebagai basis
pengembangan sistem kemasyarakatan, lambat-laun mulai meningkatkan perannya ke
areal politik melalui upaya untuk mendirikan kerajaan Islam. Antara lain,
kerajaan Pasai, Kerajaan Demak, Mataram, dan Pajang. Namun, semua itu mengalami
keruntuhan karena adanya berbagai faktor, baik yang disebabkan oleh konflik
internal di antara para anggota keluarga kerajaan, maupun faktor eksternal
seperti serbuan dari para koloni seperti Portugis dan Belanda.
Namun
demikian, posisi Islam tetap tak terpengaruh oleh berbagai dinamika sejarah
tersebut, melainkan tetap kukuh dan makin menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Singkat kata, Islam di Indonesia hampir selalu memperlihatkan wajahnya yang
ramah dan santun. Gejolak dan dinamika yang sifatnya radikal nyaris tidak
tampak.
Namun
seiring perjalanan waktu, Dalam konteks ke Indonesiaan dakwah dan perkembangan
Islam mengalami kemunduran dan penuh dengan penodaan. Gejala kekerasan melalui
gerakan radikalisme mulai bermunculan. Terlebih setelah Kehadiran orang-orang
Arab muda dari Hadramaut Yaman ke Indonesia yang membawa ideologi baru ke tanah
air telah mengubah konstelasi umat Islam di Indonesia. Ideologi baru yang lebih
keras dan tidak mengenal toleransi itu banyak dipengaruhi oleh mazhab pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahab atau Wahabi yang saat ini menjadi ideologi resmi
pemerintah Arab Saudi. Padahal sebelumnya hampir semua para pendatang Arab yang
datang ke Asia Tenggara adalah penganut mazhab Syafi’i yang penuh dengan
teloransi. Kelak, ideologi ini melahirkan tokoh semisal Ustadz Abu Bakar
Baasyir, Ja’far Umar Talib dan Habib Rizieq Shihab yang dituduh sebagai
penganut Islam garis keras.
Kemudian
dalam catatan sejarah radikaliseme Islam semakin menggeliat pada pasca
kemerdekaan hingga pasca reformasi, Sejak Kartosuwirjo memimpin operasi 1950-an
di bawah bendera Darul Islam (DI). sebuah gerakan politik dengan
mengatasnamakan agama, justifikasi agama dan sebagainya. Dalam sejarahnya
gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan tetapi kemudian gerakan ini muncul
kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya, gerakan
radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh militer atau
melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin yang
merekayasa bekas anggota DI/TII, sebagian direkrut kemudian disuruh melakukan
berbagai aksi seperti Komando Jihad, dalam rangka mendiskreditkan Islam.
Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa
kebebasan, sehingga secara tidak langsung memfasilitasi beberapa kelompok
radikal ini untuk muncul lebih visible, lebih militan dan lebih vokal, ditambah
lagi dengan liputan media, khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya
gerakan ini lebih visible.
Setelah DI,
muncul Komando Jihad (Komji) pada 1976 kemudian meledakkan tempat ibadah. Pada
1977, Front Pembebasan Muslim Indonesia melakukan hal sama. Dan tindakan teror
oleh Pola Perjuangan Revolusioner Islam, 1978.
tidak lama
kemudian, setelah pasca reformasi muncul lagi gerakan yang beraroma radikal
yang dipimpin oleh Azhari dan Nurdin M. Top dan gerakan-gerakan radikal lainnya
yang bertebar di beberapa wilayah Indonesia, seperti Poso, Ambon dll. Semangat
yang dimunculkan pun juga tidak luput dari persoalan politik. Persoalan politik
memang sering kali menimbulkan gejala-gejala tindakan yang radikal.
Dalam
konteks Internasional, realitas politik standar ganda Amerika Serikat (AS) dan
sekutunya merupakan pemicu berkembangnya Radikalisme Islam. Perkembangan ini
semakin menguat setelah terjadinya tragedi WTC pada 11 September 2001. mengenai
tragedi ini AS dan sekutunya disamping telah menuduh orang-orang Islam sebagai
pelakunya juga telah mnyamakan berbagai gerakan Islam militan dengan gerakan
teroris. Selain itu, AS dan aliansinya bukan hanya menghukum tertuduh pemboman
WTC tanpa bukti, yakni jaringan Al Qaeda serta rezim Taliban Afganistan yang
menjadi pelindungnya, tetapi juga melakukan operasi penumpasan terorisme yang
melebar ke banyak geraka Islam lain di beberapa Negara, termasuk Indonesia.
Realitas
politik domestik maupun Internasional yang demikian itu dirasa telah
menyudutkan Islam, di mana hal ini telah mendorong kalangan Islam Fundamentalis
untuk bereaksi keras dengan menampilkan diri sebagai gerakan radikal, yang
diantaranya menampilkan simbol-simbol anti-AS dan sekutunya. Kondisi ini telah
menyebabkan sebagian Muslim memberikan reaksi yang kurang proporsional. Mereka
bersikukuh dengan nilai Islam, seraya memberikan “perlawanan” yang sifatnya
anarkhis. Sikap sebagian Muslim seperti ini kemudian diidentifikasi
sebagai gerakan radikal. Kemunculan gerakan Radikal ini kemudian
menimbulkan wacana radikalisme yang dipahami sebagai aliran Islam garis keras
di Indonesia.
Pada
dasarnya, Istilah Radikalisme sebenarnya bukan merupakan konsep yang
asing. Secara umum ada tiga kecenderungan yang menjadi indikasi
radikalisme. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang
sedang berlangsung, biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi,
penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa
asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan kondisi yang ditolak.
Kedua,
radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya
mengganti tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukan
bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia
tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut
sebagai ganti dari tatanan yang ada. Dengan demikian, sesuai dengan arti kata
‘radic’, sikap radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara
mendasar. Ketiga adalah kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program
atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan
panafian kebenaran sistem lain yang akan diganti dalam gerakan sosial,
keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan dengan cara-cara
pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti ‘kerakyatan’ atau
kemanusiaan . Akan tetapi kuatnya keyakinan tersebut dapat mengakibatkan
munculnya sikap emosional di kalangan kaum radikalis.
Radikalisme
keagamaan sebenarnya fenomena yang biasa muncul dalam agama apa saja.
Radikalisme sangat berkaitan erat dengan fundamentalisme, yang ditandai oleh
kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar agama. Fundamentalisme adalah semacam
Ideologi yang menjadikan agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat maupun
individu. Biasanya fundamentalisme akan diiringi oleh radikalisme dan kekerasan
ketika kebebasan untuk kembali kepada agama tadi dihalangi oleh situasi sosial
politik yang mengelilingi masyarakat.
Mohammed
Arkoun (1999) melihat fundamentalisme Islam sebagai dua tarikan berseberangan,
yakni, masalah ideologisasi dan politis. Dan, Islam selalu akan berada di
tengahnya. Manusia tidak selalu paham sungguh akan perkara itu. Bahwa
fundamentalisme secara serampangan dipahami bagian substansi ajaran Islam.
Sementara fenomena politik dan ideologi terabaikan. Memahami Islam merupakan
aktivitas kesadaran yang meliputi konteks sejarah, sosial dan politik. Demikian
juga dengan memahami perkembangan fundamentalisme Islam. Tarikan politik dan
sosial telah menciptakan bangunan ideologis dalam pikiran manusia. Nyata, Islam
tidak pernah menawarkan kekerasan atau radikalisme. Persoalan radikalisme
selama ini hanyalah permaianan kekuasaan yang mengental dalam fanatisme akut.
Dalam sejarahnya, radikalisme lahir dari persilangan sosial dan politik.
Radikalisme Islam Indonesia merupakan realitas tarikan berseberangan itu.
Dalam
konstelasi politik Indonesia, masalah radikalisme Islam telah makin membesar
karena pendukungnya juga makin meningkat. Akan tetapi gerakan-gerakan ini
terkadang berbeda tujuan, serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang
sekedar memperjuangkan implementasi syari’at Islam tanpa keharusan mendirikan
“negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya negara Islam
Indonesia:, disamping yang memperjuangkan berdirinya “kekhalifahan Islam’, pola
organisasinya pun beragam, mulai dari gerakan moral ideologi seperti Majelis
Mujahidin Indonesia dan Hizbut tahrir Indonesia sampai kepada gaya militer
seperti Laskar Jihad, FPI dan FPI Surakarta.
Ketika kita
melihat gerakan-gerakan keagamaan di Indonesia, kita akan banyak menemukan
beberapa karakter yang sama baik cara, metode dan model yang sering mereka
lakukan. Baik itu gerakan yang baru ataupun yang lama. Dapat dikatakan bahwa
sebagian besar gerakan-gerakan yang diciptakan untuk merespon aspek-aspek
tertentu yang berkaitan dengan kehidupan sosial politik yang bisa mendatangkan
konsekuensi religiusitas tertentu. Hal ini bisa terjadi, menurut Amin Rais
(1984), karena Islam dari sejak kelahirannya bersifat Revolusioner seperti bisa
dilihat melalui sejarahnya.
Revolusi
adalah suatu pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang dari suatu daerah
atau negara terhadap keadaan yang ada, untuk menciptakan peraturan dan tatanan
yang diinginkan. Dengan kata lain, revolusi menyiratkan pemberontakan terhadap
keadaan yang menguasai, bertujuan menegakkan keadaan yang lain. Karena
itu ada dua penyebab revolusi : (1) ketidak puasan dan kemarahan terhadap
keadaan yang ada, (2). Keinginan akan keadaan yang didambakan. Mengenali
revolusi artinya mengenali faktor-faktor penyebab ketidakpuasan dan ideal
cita-cita rakyat.
Gerakan
radikalisme yang muncul di Indonesia sebagian besar adalah berangkat dari
ketidak puasan dan adanya keinginan untuk menjadikan atau menerapkan syariat
Islam di Indonesia, bagi mereka, terjadinya ketidak adilan, banyaknya korupsi,
krisis yang berkepanjagan dan ketidak harmonisan antara kaya dan miskin adalah
akibat dari tidak diterapkannya syariat Islam.
TINJAUAN ISLAM RADIKAL MENURUT BUTIR-BUTIR PANCASILA
1. Ketuhanan yang maha esa
Melihat
sejarah sebagaimana kita ketahui bahwa indonesia adalah negara yang prularis
dari segi suku, ras dan agama. Dengan kenyataan ini tidaklah dibenarkan
jika indonesia harus ditegakkan dengan hanya agama islam saja. Dimana para
pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan tidak hanya beragama islam.
2. Kemanusiaan yang adil dan
beradab
Golongan
islam radikal itu hanya mementingkan golongannya sendiri. Dengan demikian
sila ke dua ini menolak paham radikalisme karena nilai dari sila kedua ini
adalah menuntut keadialan dimana semua warga Indonesia mendapat hak untuk hidup
secara damai. Sebagaimana dikemukakan bahawa manusia diakui dan diperlakukan
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha
Esa yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya tanpa
mem bedakan.[1] Padahal kita ketahui bersama dari
uraian di atas bahwa radikalisme salah satu gerakannya adalah menyingkirkan
siapa saja yang tidak sependapat dengannya.
3. Persatuan Indonesia
Bahwa
kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi
atau golongan. Radikalisme bertolak belakang dengan sila ini, yang mana aliaran
ini adalah kelompok-kelompok islam yang beraliran keras dalam menuntut
penegakan syariat dengan jalan yang dianggap sebagai jihad. Diterima ataupun
tidak oleh warga negara Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Manusia
indonesia sebagai warga negara masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak
dan kewajiban yang sama. Warga Indonesia harus menjujung tinggi setiap hasil
keputusan musyawarah, karena itu semua pihhak yang bersangkutan harus menerima
dan melaksanakan dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab. Disini
kepentingan bersamalah yang diutamakan di atas pribadi atau golongan.
5. Keadialan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia
Keadilan
sosial tak akan terwujud jika di dalam negara masih terjadi perselisihan
tentang agama. Sebagaiman di tulis oleh Rumadi[2] bahwa
kerukunan hidup antar umat beragama merupakan syarat mutlak bagi usaha
menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa.
KESIMPULAN
Islam
Radikal adalah kelompok-kelompok islam yang beraliran keras dalam menuntut
penegakan syariat dengan jalan yang dianggap sebagai jihad. Sebagai negara yang
pluralis yang berdasarkan Pancasila maka Indonesia menentang adanya islam
radikal yang ada di Indonesia karena bukan kedaiman dan keadilan yang tercapai
melainkan perselisihan dan perpecahanlah yang terbentuk. Hal ini juga
bertentangan dengan dasar agama, bahwa tidak ada agama yang mengajarkan untuk saling
berselisih.
[1] Departemen
Agama RI, “ PEDOMAN PELAKSANAAN P-4”, Jakarta: 1985-1986
[2] “Renungan
santri dari jihad hingga kritik wacana”hal 261-26