A. Biografi Kyai Haji Bisri Syansuri
Kyai Haji Bisri
Syansuri (lahir di desa Tayu, Pati,
Jawa
Tengah, 18 September 1886 meninggal di
Jombang, Jawa Timur,
25 April 1980 pada umur 93
tahun) seorang ulama dan tokoh Nahdlatul
Ulama (NU). Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Kiai Bisri
adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang memperoleh pendidikan awal di
beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen.
Ia adalah
pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di
bidang fikih agama Islam. Bisri Syansuri juga pernah aktif berpolitik, antara
lain sempat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
mewakili Masyumi,
menjadi anggota Dewan Konstituante, ketua Majelis Syuro Partai Persatuan Pembangunan dan
sebagai Rais Aam NU. Ia adalah kakek dari Abdurrahman
Wahid, Presiden Republik Indonesia keempat.
B. Silsilah Beliau
1.Sunan lawu (brawijaya)
2.R.fatah(tajuddin
abd.hamid)
3.R.trenggono(syah
alam akbar)
4.R.bagus mukmin
5.ki ageng
prawito ngardin
6.P.haryo madi
7.P.joyoprono
8.R.dandang
kumbang
9.R.karthi noto
10.kyai nur
hadi(sunan mupus pati)
11.kyai nur
syahid(demak)
12.kyai yunus
13.kyai
marchum(nglau)
14.kyai hasan
bisri(jebol)
15.kyai abdul
ghani
16.kyai Muhammad
rois
17.KH.Syamsuri
18.KH. Bisri
Zansuri
C. Riwayat Pendidikan Beliau
Kiai Bisri
kemudian berguru kepada KH Kholil di Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari di
Tebuireng, Jombang. Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan
belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir,
Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh
Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika
berada di Mekkah, Kiai Bisri menikahi adik perempuan Kiai Wahab. Di kemudian
hari, anak perempuan Kiai Bisri menikah dengan putra KH Hasyim As’ari, KH Wahid
Hasyim dan memiliki putra Gus Dur dan KH Solahuddin Wahid (Gus Sholah). Ia
kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar
ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh
Muhammad Sa'id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu'aib
Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di Mekkah, Bisri Syansuri menikahi
adik perempuan Abdul Wahab Chasbullah. Di kemudian hari, anak perempuan Bisri
Syansuri menikah dengan KH Wahid Hasyim dan menurunkan KH
Abdurrahman Wahid dan Ir.H.
Solahuddin Wahid.
Sepulangnya dari
Mekkah, Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang,
selama dua tahun. Kiai Bisri ke-mudian mendirikan Ponpes Mam-baul Maarif di
Denanyar, Jombang pada 1917. Saat itu, Kiai Bisri adalah kiai pertama yang
mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang
didirikannya.
D. Pemikiran Beliau
Kyai Bisri muda
dapat terus menjadi santri karena ia mencuci pakaian dan menanak nasi untuk
kawan barunya itu, Kiai Wahab muda. Segera Kiai Bisri muda menjadi orang
kepercayaan Wahab muda karena jujur dan rajin. Jadi, urusannya sudah bukan lagi
menyangkut pakaian dan makanan, tetapi sudah berkaitan dengan watak dan
tempramen. Walaupun begitu, keahlian ilmu agama Islam kedua orang itu juga
saling berbeda.
Perbedaannya
terletak pada bidang ilmu agama yang mereka senangi. Kiai Wahab senang pada
ilmu ushul fiqh, sedangkan Kiai Bisri menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad
SAW. Bidang itu juga dinamai kajian naqly, bertumpu kepada ayat-ayat Alquran
dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Karena itu, Kiai
Bisri tidak banyak berkutat dengan penggunaan akal (rasio) sebagaimana Kiai
Wahab. Pernah Kiai Wahab bertanya kepada Gus Dur; “Saya dengar kakekmu itu
tidak pernah makan di warung?” Gus Dur menjawab, “Memang benar demikian.”
Kiai Wahab
kembali bertanya, “Mengapa?” Gus Dur menjawab, “Kiai Bisri tidak menemukan
hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah makan di warung.” Kiai
Abdul Wahab menga-takan; “Ya, tentu saja karena waktu itu belum ada warung.”
Tetapi pergaulan
mereka, tokoh tekstual di satu sisi dan tokoh satunya yang senang menggunakan
rasio, ternyata sangat erat. Hal ini tampak ketika ada bahtsul masail. Gus Dur
pernah menyaksikan sekitar 40-an orang kiai berkumpul dari pagi hingga sore
hari di ruang tamu Kiai Bisri.Ternyata, keduanya berdebat seru, yang satu
membolehkan dan yang satu lagi melarang sebuah perbuatan.
Demikian seru
mereka berbeda, hingga akhirnya semua kiai yang lain menutup buku/kitab mereka
dan mengikuti saja kedua orang itu berdebat. Sampai-sampai, baik Kiai Abdul
Wahab maupun Kiai Bisri berdiri dari tempat duduk mereka sambil memukul-mukul
meja marmer yang mereka gunakan berdiskusi. Muka keduanya me-merah karena
bertahan pada pen-dirian masing-masing.
Akhirnya
kemudian Kiai Abdul Wahab menyerang, “Kitab yang Sampeyan gunakan adalah
cetakan Kudus, sedangkan kitab saya adalah cetakan Kairo.” Ini adalah tanda
Kiai Abdul Wahab kalah argumentasi dan akan menerima pandangan Kiai Bisri.
Walau pada forum bahtsul masail itu mereka berbicara sampai memukul-mukul meja
dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk ber-bunyi, Kiai Bisri segera
berlari ke sumur di dekat ruang pertemuan tersebut. Di sana, dia naik ke
pinggiran sumur dan menimbakan air wudhu bagi iparnya itu. Beda pendapat boleh
tapi harus tetap rukun. Demikian kira-kira pegangan mereka.
Beliau menarik
lainnya terdapat di buku “Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26
Tokoh NU”. Dalam resepsi penutupan Kongres Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya,
April 1980, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki
seseorang, “Sakitnya KH Bisri Syansuri semakin parah. Beliau dalam keadaan
tidak sadar siang tadi ketika saya tinggalkan berangkat kemari,” ujarnya. Orang
yang diberitahu tersentak mendengar bisikan itu. Sebab tiga hari sebelumnya,
dia ikut hadir di ruang tamu rumahnya, sewaktu pendiri dan pemimpin Ponpes
Mambaul Maarif itu menerima Probosutedjo, pengusaha kenamaan dan adik Presiden
Soeharto.
Probosutedjo
diundang untuk memberikan ceramah tentang kewiraswastaan dalam Kongres Ansor di
Surabaya. Kehadirannya memenuhi undangan tersebut di-manfaatkan sekaligus untuk
me-ngunjungi Kiai Bisri yang sedang dalam keadaan sakit. Ketika itu Kiai Bisri
menjemput sendiri tamunya di teras tempat kediamannya. Bersa-rung putih dengan
garis kotak-kotak kebiruan, mengenakan baju putih dan berkopiah haji. Kiai
Bisri mem-persilakan tamu dari Jakarta itu me-masuki ruang depan rumahnya yang
tua dan berperabotan sederhana.
Wajahnya,
seperti biasa, tampak jernih. Dengan sabar penuh perhatian ia mendengarkan
setiap kata yang diucapkan oleh tamunya. Dan dengan suara lembut ia menjawab
setiap pertanyaan, menjawab salam dari Presiden Soeharto yang disampaikan oleh
Probosutedjo dan dengan halus menolak tawaran berobat ke luar negeri.
Terdapat pula
kisah Kiai Bisri dalam buku “Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah”
jilid I. Saat berlangsung Sidang Umum MPR tahun 1978 ada peristiwa luar biasa.
Fraksi PPP tidak sepakat dengan keputusan fraksi lain. Setelah berkali-kali adu
argumentasi mengenai rancangan ketetapan MPR tentang P4 namun tetap tidak
membuahkan hasil. Sementara partai sudah meng-gariskan untuk memegang teguh
ama-nat itu, mereka pun keluar sidang.
Seluruh anggota
Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin langsung oleh KH Bisri Syansuri, mereka
beriringan walk out sebagai tanda tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meski
sudah berusia 92 tahun, kiai yang menciptakan lambang ka’bah bagi PPP itu malah
berjalan paling depan.
Ketegasan lain
nampak tatkala DPR membahas RUU tentang perkawinan. Secara kesluruhan RUU itu
dinilai banyak bertentangan dengan ketentuan hukum agama Islam. Maka, di mata
Kiai Bisri, menghadapi kasus itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.
Langkah pertama
yang Kiai Bisri lakukan adalah dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah
Jombang untuk membuat RUU tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU
tandingan itu selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara
aklamasi.
Setelah itu
amandemen RUU itu diajukan ke Majelis Syuro PPP dan diterima. DPP PPP
memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar menjadikan RUU tandingan itu sebagai
rancangan yang diterima dan harus diperjuangkan. Setelah melalui proses yang
panjang dan melelahkan, serta lebih banyak dilakukan di luar gedung DPR-RI,
akhirnya RUU itu disahkan setelah ada revisi dan tidak lagi bertentangan dengan
hukum Islam.
E. Pergerakan dan Politik
Di sisi
pergerakan, Kiai Bisri bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain Kiai
Wahab, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem dan KH Ridwan, membentuk klub
kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah
agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan
keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa
pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintis-nya di
berbagai tempat.
KH Bisyri
Zansuri adalah seorang ulama besar yang memiliki sifat sederhana dan rendah
hati. Meskipun demikian beliau dikenal sebagai ulama yang teguh pendirian dan
memegang prinsip. Dalam menjalankan tugas beliau selalu istiqamah dan tidak
mudah goyah, terutama dalam memutuskan suatu perkara yang berhubungan dengan
syari'at Islam. setiap hukum suatu persoalan yang sudah Jelas dalilnya dari Al
Quran, Hadits, Ijma atau Qiyas keputusan beliau selalu tegas dan tidak bisa
ditawar-tawar.
KH Bisri
Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling
tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender
dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus
seorang politisi
Di masa
penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi
Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat
Surabaya.
Pada masa
kemerdekaan Kiai Bisri pun terlibat dalam lembaga peme-rintahan, antara lain
dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), me-wakili unsur Masyumi. Kiai
Bisri juga menjadi anggota Dewan Konstitu-ante tahun 1956 hingga ke masa
pemilihan umum tahun 1971. Ketika NU bergabung ke PPP, Kiai Bisri pernah
menjadi ketua Majelis Syuro-nya. Kiai Bisri terpilih menjadi ang-gota DPR
sampai tahun 1980. Kiai Bisri kemudian wafat dalam usia 94 tahun pada 25 April
1980 atau berte-patan dengan bulan Rajab di Denanyar. Beliau juga aktif dalam Rais
Aan PB NU, Rais Aam Majelis Syuro DPP PPP namun tetap memimpin dan aktif
mengasuh Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar
F. Mundur dari Jabatan Rais Am
Jasa Kiai Bisri
dalam membesarkan NU juga tak patut dilupakan. Kiai Bisri turut terlibat
terlibat dalam pertemuan pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama
menye-pakati berdirinya NU. Pada periode pertama, Kiai Bisri menjadi A’wan
Syuriah PBNU dan kemudian pada periode-periode berikutnya Kiai Bisri pernah
menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir hayatnya.
Meski dikenal
tegas dalam mem-pertahankan prinsip, kesantunan Kiai Bisri juga tak perlu
diragukan. Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung,
Kiai Bisri menunjukkan sikap tawadlu’ yang perlu kita teladani.
Ketika itu
sedang terjadi pemili-han Rais Am yang melibatkan “rivalitas” antara dua kiai
sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Am
(incumbent) dengan Kiai Bisri yang menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil
pemilihan ternyata di luar dugaan. Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri
bisa meraih suara terbanyak. Kiai Wahab pun menerima kekalahan dengan berbesar
hati, apalagi yang menga-lahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya
sendiri.
Demikian halnya
Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga sangat rendah hati. Walaupun telah
dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan,
selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak
bersedKiai Bisri menduduki jabatan itu. “Karena itu saya menyatakan untuk
mengundurkan diri dan kembali menyerah-kan jabatan itu kepada Kiai Wahab
Chasbullah.”
Menanggapi sikap
Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa tersinggung,
karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU
dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri dipercaya
sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada tahun 1971, baru
Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun 1980 dan
diteruskan oleh Ali Maksum.
G. Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak
berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender,
khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan
kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.
Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya.
Di zaman yang
masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai
Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya,
hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya.
Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan
melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena
takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya
“kyai“.
Tahun 1919 Kiai
Bisri membuat terobosan baru dengan mendirikan kelas khusus santr-santri wanita
di pesantrennya. Langkah penting ini adalah tonggak baru dalam sejarah
kepesantrenan terutama di Jawa Timur
H. Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai
pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan,
dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja
mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur
fiqh lama.
Tidak
mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum
fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada
kenyataan-kenyataan hidup secara baik.
Walaupun begitu,
Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu
setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang dibangunnya di
Denanyar.
I. Politisi Tangguh
Persinggungannya
dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan
puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara
formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu.
Salah satu
prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil
mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama
NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang
perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat. K.H. Bisri Syansuri wafat pada hari
Jum'at 25 April 1980 dalam usia 94 tahun. Makam beliau berada di kompleks
Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang, Jawa Timur.
J. Karomah Beliau
1. Amplop kosong
Sebagian orang
memandang hina kepada kiyai yang mengharapkan amplop dari ceramah pengajiannya.
Tapi Kiyai Bisri Mustofa berprinsip bahwa ia berhak atas amplop itu.
“Aku punya
tanggungan santri di rumah”, katanya, “kalau kutinggal pergi, aku rugi tidak
mengajar mereka”.
Suatu ketika
setelah sampai di rumah dari pengajian di tempat jauh, kedapatan amplop
panitianya cuma berisi Rp 10.000,-. Kiyai Bisri pun menyuruh Murtadlo,
khadamnya, mendatangi panitia dengan bekal surat tagihan rinci:
Sewa mobil: Rp
10.000,-
Bensin
: Rp 10.000,-
Upah sopir:
Rp 2.500,-
Ongkos Murtadlo:
Rp 2.000,-
Isi amplop: Rp
10.000,-
Kekurangan: Rp
14.500,-
Tapi namanya
prinsip, biasanya tidak tanpa pengecualian. Usai pengajian di Pesantren
Salafiyah Pasuruan atas undangan Mbah Hamid, Kiyai Bisri Mustofa tidak sampai
hati menagih amplop. Padahal ia tak mau rugi. Ia amati baju yang dipakai Mbah
Hamid dengan mimik tertarik sekali.
“Bajumu kok
bagus sekali, ‘Nda!” katanya.
Mbah Hamid mesem
lalu masuk ke kamar. Baju yang dipakai itu dilepas dan dibungkus untuk
diberikan kepada Kiyai Bisri. Walaupun tanpa amplop, Kiyai Bisri puas membawa
pulang baju itu.
Beberapa waktu
kemudian, Kiyai Bisri memanggil Pak Kusnan, seorang santri kalong yang kaya,
tinggal di Jepon, Blora. Pak Kusnan itu santri yang patuh sekali. Apa pun kata
kiyai, ia turuti.
“Kamu mau beli
baju ini, Kang?” Mbah Bisri menunjukkan baju pemberian Mbah Hamid.
“Nggih”.
“Wani piro?”
“Saya bawa 30
ribu”.
“Ya sudah sini.
Nih… pakai sekarang!”
Pak Kusnan
menyerahkan uang dan langsung memakai baju itu.
“Sekarang, ayo
ikut aku!”
Mbah Bisri
membawa Pak Kusnan ke Pasuruan menemui Mbah Hamid.
“Bajumu kok
bagus sekali, Kang?” Mbah Hamid menyapa Pak Kusnan –Mbah Bisri berlagak tak
punya urusan, “berapa harganya?”
“30 ribu”.
Mbah Hamid pun
langsung menoleh kepada Kiyai Bisri,
“Susuk limang
ewu, ‘Nda!” katanya.
(Kembali 5 ribu, ‘Nda!).
(Kembali 5 ribu, ‘Nda!).
2. Terong Gosong
Kebanyakan suwuk
(doa mantera) diterapkan dengan air: kyai membaca doa kemudian ditiupkan ke
air. Air suwuk itulah yang nantinya menjadi sráná (sarana) bagi yang
membutuhkan, misalnya dengan meminumnya atau mengoleskannya ke bagian tubuh
tertentu sebagai ikhtiar pengobatan —ingat air yang dicelupi batu ajaibnya
Ponari!
Memasuki halaman kediaman Mbah Kyai Abdul Hamid Pasuruan rahimahullah pada suatu sore, Kyai Bisri Mustofa Rembang —Allah yarham— mendapati seorang santri sedang menyirami halaman itu dengan air dari selang untuk menekan debu agar tak berterbangan.
Memasuki halaman kediaman Mbah Kyai Abdul Hamid Pasuruan rahimahullah pada suatu sore, Kyai Bisri Mustofa Rembang —Allah yarham— mendapati seorang santri sedang menyirami halaman itu dengan air dari selang untuk menekan debu agar tak berterbangan.
“Sungguh
sayang”, gumam Mbah Bisri, “sráná kok dibuang-buang…”
Pintu rumah Mbah
Hamid tertutup. Sejumlah orang yang punya hajat hendak sowan, menunggu dengan
khusyuk di sekitarnya.
Tanpa
sungkan-sungkan, Mbah Bisri meneriakkan salam,
“Assalaamu’alaikum!”
Tak ada jawaban.
Orang-orang ngeri melihat kekurangajaran Mbah Bisri, tapi ragu-ragu untuk
menegur. Mungkin mereka pikir, kalau usaha Mbah Bisri ada hasilnya, mereka akan
ikut untung juga…
“Assalaamu’alaikooom!”
teriakan Mbah Bisri lebih keras lagi. Tetap tak dijawab.
Santri yang
menyirami halamanlah yang kemudian menegur,
“Maaf, Pak”,
katanya, “Mbah Yai sedang istirahat!”
Tak menanggapi
teguran si santri, Mbah Bisri malah semakin meninggikan suaranya dengan nada
yang nelangsa,
“Yaa Allah
Gustiiii….!” ratapnya, “beginilah nasib manusia kotor macam aku ini… mau sowan
wali saja kok nggak ditemuiii…!”
Suara berdehem
dari dalam, disusul Mbah Hamid membuka pintu.
“Jangan begitu
lah, Nda…,” tegur beliau, “sampeyan ini kok mêsthi yang ênggak- ênggak saja…”
”Nda” adalah
sapaan akrab antar teman. Beliau berdua memang sama-sama santrinya Mbah Kyai
Kholil Harun rahimahullah di Kasingan, Rembang.
Orang-orang
—yang sejak lama menunggu— berebut menciumi tangan Mbah Hamid dengan riang-gembira,
dan mereka semua dipersilahkan masuk. Tak ada yang ingat untuk mengucapkan
terimakasih atas “jasa” Mbah Bisri.
Di ruang tamu,
Mbah Bisri pun menyampaikan hajatnya.
“Begini, Nda”,
katanya, “sampeyan ‘kan ngerti, aku ini muballigh…”
“Hm…”
“Lha… aku ini
belum punya mobil”, Mbah Bisri melanjutkan, “kalau terus-terusan kesana-kemari
naik bis umum ‘kan bisa jatuh wibawaku…!”
Mbah Hamid
manggut-manggut.
“Terus… maksudmu
gimana?” beliau bertanya.
“Yaah… sampeyan
yang dekat dengan Pêngéran, mbok sampeyan mintakan mobil buat aku!”
Mbah Hamid
tersenyum.
“Ya sudah…
ayo…”, beliau mengajak semua orang, “’alaa niyyati Kyai Bisri… al faatihah!”
Kemudian menadahkan tangan membacakan doa, diamini yang lainnya.
Begitu doa
selesai dibaca, Mbah Bisri langsung menyerobot,
“Mereknya apa, Nda?”
Tak lama sesudah
didoakan Mbah Hamid, Mbah Bisri memperoleh uang min ĥaitsu laa yaĥtasib yang
cukup untuk membeli mobil. Gus Mus, yang diperintah mencari mobil untuk dibeli,
mengubek dari Jakarta sampai Surabaya, dan tidak menemukan mobil ditawarkan
orang kecuali merek Fiat atau Holden. Akhirnya diperoleh mobil sedan Holden
keluaran 1968.
Sumber :
Jamal
Ghofir, Biografi Singkat Ulama Ahlusunnah Wal Jama’ah Pendiri dan Penggerak NU
(Yogyakarta: GP Ansor Tuban, 2012).
KH. A.
Aziz Masyhuri, Kiai 99 Kharismatik Indonesia: Biografi, Perjuangan, Ajaran, dan
Doa-Doa Ulama yang Diwariskan, (Jombang: Pustaka Anda Jombang, 2010).
Buku
Cerminan Pesantren
Buku (AULA
Juni 2010)
Cerita Gus
Mus
http://id.wikipedia.org/wiki/Bisri_Syansuri
Catatan : Tulisan ini adalah hasil makalah kelompok V (Tohirin, Restu Ristyanto, Muhammad Irsyad, Mad Sholihin, Akhmad Lutfi Ali, Afid Aminudin) guna memenuhi tugas Makul Ke-NU-an yang di ampu oleh Bapak Muhammad Khusnan.
Tags
Biografi Ulama