Islam mengatur keluarga dengan
segala perlindungan dan pertanggungan syariatnya. Yang pokok dalam hubungan
keluarga adalah ketenangan, ketentraman, dan kontinuitas. Islam mewajibkan adab
yang melarang pamer perhiasan dan fitnah, agar hati menjadi tenang dan tidak
tergoyahkan oleh fitnah dan perhiasan di pasar-pasar. Islam juga mewajibkan
hukuman bagi yang berzina dan penuduh zina. Islam menjadikan rumah sebagai
tempat kehormatan dengan meminta izin antara penghuninya. Islam mengatur
hubungan antara suami istri dengan syariat terbatas dan menegakkan peraturan
rumah tangga atas kepemimpinan salah satunya, mampu melerai terjadinya
huru-hara, hiruk pikuk, pertikaian, dan seterusnya. Peraturan dan tata tertib
rumah tangga inilah yang dapat memelihara dari segala keguncangan didasarkan
pada bimbingan kasih sayang dan taqwa kepada Allah SWT.
Akan tetapi,
realita kehidupan manusia membuktikan banyak hal yang menjadikan rumah tangga
hancur (broken home) sekalipun banyak pengarahan dan bimbingan, yakni
kepada kondisi yang harus dihadapi secara praktis. Suatu kenyataan yang harus
diakui dan tidak dapat diingkari ketika kehancuran rumah tangga (perceraian
atau talak) dan mempertahankannya (rujuk) pun suatu perbuatan yang sia-sia dan
tidak berdasar. Islam tidak segera mendamaikan hubunga rumah tangga denga cara
dipisahkan pada awal bencana (pertikaian). Islam justru berusaha dengan
seoptimal mungkin memperkuat hubungan ini, tidak membeiarkannya begitu saja
tanpa ada usaha.
Islam
mengarahkan mereka agar tetap bertahan dan sabar sampai dalam keadaan yang
tidak ia sukai dan Allah membukakan bagi mereka jendela yang tidak jelas
tersebut, yang ditegaskan dalam firman-Nya, yakni “Boleh jadi engkau
membenci sesuatu padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya”.
Mereka tidak tahu bahwa pada wanita tang tidak disukai tersebut terdapat
kebaikan dan Allah menyimpan kebaikan ini bagi mereka, maka tidak boleh
melalaikannya. Bahkan lebih dalam daripada ini, yakni dalam menghidupkan
perasaan kasih sayang dan menundukkan perasaan benci serta mematikan
kejahatannya.
Jikalau
permasalahan cinta dan tidak cinta sudah dipindahkan kepada pembekakan dan lari
menjauh, langkah awal yang ditunjukkan Islam bukan talak. Akan tetapi, harus
ada langkah usaha yang dilakukan pihak lain dan pertolongan yang dilakukan oleh
orang baik-baik.
Jika jalan penengah ini
tidak didapatkan hasil, permasalahnnya menjadi sangat kritis, kehidupan rumah
tangga sudah tidak normal, tidak adak ada ketenangan dan ketentraman, dan
mempertahankan rumah tangga seperti ini sia-sia. Pelajaran yang diterima adalah
mengakhiri kehidupan rumah tangga sekalipun dibenci Islam, yakni talak; Sesungguhnya
halal yang paling dibenci Allah adalah talak.
A. TALAK
1. Pengertian Talak
Ditinjau dari arti bahasa adalah melepas ikatan, sedangkan menurut istilah syara’
ialah sebutan bagi terlepasnya suatu ikatan.[1] Dalam istilah Fiqih berarti
pelepasan ikatan pernikahan, yakni peceraian antara suami istri. [2] Menurut
Imam Nawawi dalam bukunya Tahdzif
talak adalah tindakan orang terkuasai terhadap istri yang terjadi tanpa
sebab kemudian memutuskan nikah.[3]
Sedangkan
menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin, talak adalah pemutusan ikatan
pernikahan melalui ucapan, tulisan, atau isyarat.[4] Adapun talak menurut istilah syariat Islam ialah
melepaskan atau membatalkan ikatan pernikahan dengan lafadz tertentu yang
mengandung arti menceraikan. Talak merupakan jalan keluar terakhir dalam suatu
ikatan pernikahan antara suami isteri jika mereka tidak terdapat lagi kecocokan
dalam membina rumah tangga. Lafal talak telah ada
sejak zaman jahiliah. Syara’ datang untuk menguatkannya bukan secara spesifik
atas umat ini. Penduduk jahiliah menggunakannya ketika melapas tanggungan,
tetapi dibatsi tiga kali. Hadist diriwayatkan dari Urwah bin Zubair RA berkata:
“dulunya manusia menalak istrinya tanpa batas dan bilangan”. Diriwayatkan bahwa
seorang laki-laki pada zaman jahiliah menalak istrinya kemudian kembali sebelum
masa menunggu. Andaikata wanita ditalak
seribu kali kekuasaan suami untuk kembali masih tetap ada.. maka datanglah
seorang wanita kepada Aisyah ra.[5]
Mengadu bahwa suaminya menalaknya dan kembali tetapi menyakitinya.Diantaranya sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwasannya dia menalak
istrinya yang sedang haidh. Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
:[6]
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ
تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ
قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
Artinya:
“Perintahkan kepadanya agar dia merujuk istrinya, kemudian membiarkan
bersamanya sampai suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Lantas setelah
itu terserah kepadanya, dia bisa mempertahankannya jika mau dan dia bisa
menalaknya (menceraikannya) sebelum menyentuhnya (jima’) jika mau. Itulah
iddah seperti yang diperintahkan oleh Allah agar para istri yang ditalak dapat
langsung menhadapinya (iddah)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengenai Talak , Nabi Muhammad SAW
bersabda :[7]
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ
تَعَالَى الطَّلاَقُ
“Sesuatu
yang halal dan dibenci oleh Allah Ta’ala adalah Talak” (HR. Abu Daud, Ibnu
Majah, al-Baihaqi, al- Hakim dan sejumlah perawi lainnya dari Abdullah bin Umar
R.a
Namun Allah SWT dengan kebijaksanaan dan keluasan
ilmu-Nya menjelaskan pula bahwa dalam pernikahan pasti banyak menemui
permasalahan dalam berbagai faktor. Yang ditakutkan jika masalah yang timbul
saat menjalani rumah tangga yang jika dipertahankan justru akan mendatangkan
akibat yang membahayakan baik suami ataupun istri, atau bahkan anak- anak
mereka. Itulah sebabnya Allah SWT menghalalkan talak sebagai pintu darurat
untuk digunakan ketika tidak ada lagi harapan untuk memperbaiki dan meneruskan
pernikahan setelah memenuhi berbagai persyaratan menurut Islam.[8]
Agama Islam
memberikan hak Talak yang penuh kepada suami. Hal ini mempertimbangkan bahwa
suami yang akan dituntut tanggung jawab secara materi atas terjaminnya
kebutuhan istri yang ditalak. Misalnya , ia harus membayar uang mut’ah (
atau semacam uang ganti rugi atau uang jaminan hidup selanjutnya) bagi istri
yang dicerai. Ada juga nafkah untuk istri selama masa iddah dan sebagainya yang
pasti akan memberati tanggung jawab materi suami.[9]
2. Macam
– macam Talak
Talak (Perceraian) ada dua cara,
yaitu :
a.
Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak yang setelah dijatuhkan sang suami masih
mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya selama dalam masa iddah,
tanpa tergantung persetujuan istrinya dan tanpa akad yang baru. Yaitu talak
pertama dan kedua yang sang suami mempunyai hak untuk rujuk pada masa iddah
kapan saja dia mau walaupun istri tidak rela dirujuk.
b. Talak bain
Talak bain ada dua macam :
Pertama : Talak ba’inunah shugra (perpisahan yang kecil) adalah talak yang
setelah dijatuhkan oleh suami tidak memiliki peluang untuk rujuk kembali kepada
istrinya. Jika ingin kembali dengan akad nikah yang baru dan tidak harus
dinikahi dulu oleh laki-laki lain.
Yaitu terjadi ketika masa iddah istri dalam talak raj’i (talak satu dan
dua) telah selesai, dan sang suami belum merujuknya. Atau contoh yang lain
yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah digauli (berhubungan
suami istri) maka hukum perceraiannya adalah ba’inunah sughra. Tidak halal bagi
suami untuk merujuknya, jika ingin kembali kepada istrinya itu (mantan istri)
atas persetujuan istri dan dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk ada
pada masa iddah sedangkan kondisi seperti ini tidak ada masa iddahnya.
Kedua : Talak ba’inunah kubra (perpisahan yang besar) adalah talak yang
setelah dijatuhkan oleh suami tidak ada kesempatan/peluang untuk rujuk
(kembali) kepada istrinya. Jika ingin kembali atas persetujuan istri (baca
mantan istri -ed) dan dengan akad nikah yang baru. dan setelah mantan istrinya
menikah dengan laki-laki lain dan telah melakukan hubungan suami istri (jima’),
lalu mantan istrinya itu dicerai atau suaminya meninggal dan masa iddahnya
telah selesai.
3. Hukum Talak[10]
a.
Makruh
Talak yang hukumnya makruh
yaitu ketika suami menjatuhkan thalaq tanpa ada hajat (alasan) yang menuntut
terjadinya perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya berjalan dengan baik.
b.
Haram
Talak yang
hukumnya haram yaitu ketika di jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i. Yaitu
suami menjatuhkan thalaq dalam keadaan yang dilarang dalam agama kita. dan
terjadi pada dua keadaan:
Pertama : Suami menjatuhkan thalaq
ketika istri sedang dalam keadaan haid.
Kedua : Suami menjatuhkan
thalaq kepada istri pada saat suci setelah
digauli tanpa diketahui hamil/tidak.
c. Mubah (boleh)
Talak yang
hukumnya mubah yaitu ketika suami (berhajat) atau mempunyai alasan untuk
menalak istrinya. Seperti karena suami tidak mencintai istrinya, atau karena
perangai dan kelakuan yang buruk yang ada pada istri sementara suami tidak
sanggup bershabar kemudian menceraikannya. Namun bershabar lebih baik.
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya:
“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.” (Qs. An-Nisa’ : 19).
d. Sunnah
Talak yang
hukumnya sunnah ketika di jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan istrinya serta
mencegah kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya, meskipun sesungguhnya
suaminya masih mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai suaminya, tidak
bisa hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan tugasnya
sebagai seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada keadaan seperti ini
terhitung sebagai kebaikan terhadap istri. Hal ini termasuk dalam keumuman
firman Allah subhaanahu wata’ala :
يُحِبُّ المُحْسِنِينَ اللهَ إِنَّ
نُوا وَأَحْسِ
Artinya:
“Dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik.” (Qs. Al-Baqarah :195).
e. Wajib
Talak yang
hukumnya wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak akan
menggauli istrinya lebih dari 4 bulan ) setelah masa penangguhannya selama
empat bulan telah habis, bilamana ia enggan kembali kepada istrinya. Hakim
berwenang memaksanya untuk menalak istrinya pada keadaan ini atau hakim yang
menjatuhkan thalak tersebut.
Talak hanya jatuh
jika di ucapkan. Adapun niat semata dalam hati tanpa di ucapkan, tidak
terhitung talak. Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah :
“Tidak jatuh talak darinya dan tidak juga dari yang mewakilinya kecuali dengan
di ucapkan dengannya, walaupun meniatkan dalam hatinya; tidak jatuh talak.
Sampai lisannya bergerak mngucapkannya. Berdasarkan hadits Rasulullah
shallallahu ‘alihi wasallam:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ
أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ ، أَوْ تَتَكَلَّمْ
Artinya:
“Sesunggunya Allah memaafkan dari ummatku apa yang dikatakan (terbesik)
oleh jiwanya selama tidak di lakukan dan di ucapkan.” (HR. al-Bukhari : 5269
dan Muslim : 127) (Mulakhos Al-Fiqhy : 414)
4. Lafadz-lafadz
Talak
Talak bisa jatuh
dengan setiap lafadz yang menunjukkan kepadanya yaitu :
a)
Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang tidak dipahami darinya selain dari talak. Seperti
lafadz talak (cerai) atau pecahan dari kata itu atau yang semisalnya. Seperti
suami yang mengatakan kepada istrinya kamu saya cerai.[11]
b)
Dengan kinayah (kiasan) lafadz yang mengandung makna talak dan makna yang lainnya, jatuh
sebagai talak jika di niatkan sebagai talak, atau adanya qarinah
(indikasi) yang menunjukkan pada maksud tersebut. Seperti suami mengatakan
kepada istrinya pergi sana atau kembali sana kepada keluargamu.[12]
5. Bilangan Talak[13]
Suatu ikatan perkawinan akan menjadi putus
antara lain di sebabkan karena perceraian. Dalam hukum Islam perceraian terjadi
karena Khulu’, zhihar, ila’, dan li’an. Khulu’ adalah perceraian yang di sertai
sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang diberikan oleh isteri kepada suami untuk
menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan. Dewasa ini sering terjadi
seorang wanita sengaja membayar suaminya agar mau bercerai. Hal ini terjadi
lantaran mengejar cita-cita duniawi semata tanpa memikirkan urusan akhiratnya.
Ada beberapa kalimat yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian, yaitu :
a)
Zhihar atau zhuhrun yang berarti punggung dalam bahasa Arab.
Dalam kaitannya dengan suami isteri, zihar adalah ucapan suami kepada isterinya
yang berisi menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibu dari suami. Dan
ini menjadi sebab mengharamkan menyetubuhi isterinya. Hal ini juga sering kita
alami lantaran sang isteri mirip dengan ibu kita. Tetapi kalau penyebutannya
dalam hal yang ringan hal semacam itu tidak menjadi masalah.
b)
Illa’ artinya sumpah, yaitu sumpah suami yang menyebut asma
Allah untuk tidak mendekati isterinya itu. Dan di sini Allah membeikan waktu
selama empat bulan. Jika dalam waktu itu tidak ada perubahan antara keduanya
maka suami boleh menjatuhkan talak. Setiap ada hubungan tidak selamanya akan
baik,dan ini merupakan hal yang sering terjadi dalam ikatan perkawinan. Karena
terlalu emosi kadang-kadang suami bertindak di luar batas sampai-sampai
bersumpah demi Allah tidak akan menyentuk isterinya. Hal semacam ini harus kita
hindari jauh-jauh karena bisa memecah ikatan perkawinan.
c)
Li’an artinya jauh dan laknat, kutukan. Li’an ialah sumpah
yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh isterinya berbuat zina dengan empat
kali kesaksian bahwa dia adalah orang yang benar dalam tuduhan, kemudian dia
bersedia menerima laknat dari Allah dalam kesaksiannya yang kelima jika ia
berdusta.
d)
Khulu’ adalah talak
yang di jatuhkan suami karena mengabulkan permintaan isterinya dengan cara
membayar tebusan dari pihak isteri kepada suami setelah terjadi khlu’. Antara
suami dan isteri berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)
Suami boleh menjatuhkan talak kepada isteri, ketika
isterinya dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci setelah di campuri.
2)
Suami tidak dapat merujuk isterinya pada masa iddah dan
juga tidak bisa menambah talak. Jika antara suami dan isteri ingin bersatu
kembali harus dengan akad baru.
e)
Fasakh adalah
terjadinya talak yang di jatuhkan oleh hakim atas pengaduan isteri atau suami. Perceraian
dalam bentuk pasakh ini dapat terjadi karena beberapa hal sebagai berikut:
1)
Terdapat suatu aib atau cact pada salah satu pihak.
2)
Suami tidak dapat memberi nafkah kepada isterinya.
3)
Suami tidak sanggup membayar mahar yang telah disebutkan
pada saat akad nikah.
4)
Terjadi penganiayaan yang berat oleh suami kepada
isterinya.
5)
Suami merasa tertipu karena keadaan isteri tidak sesuai
dengan janji yang telah disepakati.
6)
Suami mengumpulkan dua orang isteri yang saling
bersaudara.
7)
Suami berlaku murtad.
8)
Suami hilang atau pergi dan tidak jelas tempatnya atau
tidak jelas hidup atau matinya.
6. Istri yang dapat dijatuhkan Talak
Fuqaha
berpendapat mengenai istri-istri yang yang dapat dijatuhi talak adalah:[14]
a. Perempuan
yang dinikahi secara sah.
b. Perempuan
yang masih dalam ikatan pernikahan sah.
c. Belum
habis masa iddahnya.
d. Tidak
sedang haid.
Mengalihkan
hak talak terhadap istri. Para ulama fiqih menyatakan, bahwa suami berhak
menguasakan kepada istrinya itu untuk menceraikannya. Talak dapat sah jika
istri menerima dan melanjuti dengan pernyataan memilih bercerai. Dan rukun dari
Talak sendiri itu antara lain adalah mukallaf dan pilihan sendiri. Bukhari,
Muslim, abu Daud, dan beberapa perawi hadist lainnya meriwayatkan dari
Aisyah r.a :[15]
“Rosulullah
memberi kami kesempatan untuk memilih, maka kami pun memilih beliau.Sehingga
tidak terjadi apa-apa.”. Menurut Muslim “bahwasanya Rosulullah member kesempatan
kepada istri-istrinya untuk memilih, dan karena mereka tetap memilih menjadi
istri Rosulullah, maka tidak terjadi talak.”.
Seorang
suami yang telah menggauli istrinya pada saat suci, ia tidak boleh
menceraikannya, kecuali jika telah jelas kehamilannya.[16]
Seorang
suami tidak boleh mentalak istrinya lebih dari talak satu atau talak tiga dalam
satu majlis. Penjatuhan talak tiga dalam satu majlis merupakan perbuatan haram.
Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW :[17]
“ Apakah ia hendak mempermainkan
kitab Allah SWT, sedangkan aku masih ada ditengah-tengah kalian”. HR An-Nasai.
Allah SWT berfirman pada Surat
Al-Baqoroh 230 yang artinya :
“ Kemudian jika suami mentalaknya
(sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga
dia kawin dengan suami yang lain.”
7. Syarat-Syarat Talak
Talaq itu mempunyai persyaratan dan
talaq itu sendiri adalah jalan terakhir untuk berpisah dalam kehidupan bersuami istri, apabila sudah tidak ada lagi
harapan untuk rukun.Dahulu melakukan
perceraian itu dibtuhkan 2 syarat yaitu:
a.
Yang berkaitan dengan pihak pentalak (suami).
b.
Yang berkaitan dengan pihak di talak (istri).
Bagi suami yang hendak
mentalak istrinya ia harus orang yang berakal, baliqh dan bukan karena dipaksa
oleh pihak lain.
8. Keadaan Suami yang Menjatuhkan Talak
a.
Talak suami
yang mabuk
Ada perbedaan pendapat mengenai hal
ini. Imam Syafi’i, Ahmad, Asy Syaukani, dan beberapa fuqoha berpendapat tidak
sah, karena mabuk itu sama dengan kehilangan akal atau gila. Seperti jika
sholat dalam keadaan mabuk tidak sah. Mayoritas fuqoha berpendapat hal ini sah,
karena orang mabuk tidak sama seperti orang gila. Karena orang mabuk merusak
akal pikirannya sendiri atau dengan sengaja.[18]
b.
Talak suami yang marah
Orang yang marah cenderung emosinya tidak terkontrol
sehingga tidak bisa menggambarkan apa yang diucapkan dengan kesadaran. Atas
dasar inilah menurut para ulama tidak sah jika melakukan talak. Telah
diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan al- Hakim, dari Aisyah r.a
bahwa Nabi SAW pernah bersabda “ tak ada talak maupun itaq (pembebasan
budak) dalam keadaan seseorang sedang marah”.
c.
Talak suami yang main-main atau
tidak sengaja
Beberapa
Fuqoha terdahulu berpendapat sah dengan berdalikan riwayat dari Ahmad,Abu daud,
Ibn Majah dan al-Hakim. Walaupun hadist ini pernah di-dhaifkan oleh
Adz-Dzahabi,An-Nasai,[19]
bahwa Nabi pernah bersabda :
“Tiga
hal yang seriusnya dianggap serius dan main-mainnya juga dianggap serius, yaitu
nikah,talak, dan rujuk”
Pendapat
bahwa tidak sah, ada pada kalangan Ahlul Bait, Malik, dan Ahmad. Mereka
meyakini adanya kemantapan penuh dan niat dalam hati dalam melakukan talak.
Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh 227 yang
artinya:
“Dan
jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha
Mendengar dan Mengetahui”
d.
Talak Suami yang kebingungan
Yang dimaksud kebingungan adalah jika seseorang tidak lagi
mengerti apa yang diucapkannya, mungkin akibat musibah yang menimpanya.
Orang seperti ini tidak sah jika melakukan talak.[20]
B. RUJUK
1.
Pengertian Rujuk
Rujuk menurut
bahasa artinya kembali, sedangkan menurut istilah adalah kembalinya seorang
suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak
raj’i.[21]
Pendapat Para Ulama Rujuk adalah salah satu hak bagi laki-laki dalam masa idah.
Dalam hukum
perkawinan islam rujuk merupakan tindakan hukum yang terpuji.[22]
Oleh karena itu ia tidak berhak
membatalkannya, sekalipun suami misal berkata: “Tidak ada Rujuk bagiku” namun
sebenarnya ia tetap mempunyai rujuk.
Rujuk digalakkan oleh Islam. Firman
Allah:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
£`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4
ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3
ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Artinya:
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Rujuk
dengan kata-kata yang jelas disepakati keabsahannya (sahnya) oleh para
ulama.Rujuk dengan perbuatan seperti dengan mencium, memeluk, ataupun dengan
hubungan seksual dengan istrinyang dirujuki diperselisihkan keabsahannya oleh
para ulama. Beberapa diantaranya menyatakannya bahwa talak raj’I tidak
menghapus akad nikah dan menghalalkan hubungan suami istri sepanjang istri
masih dalam masa iddah.Sebaliknya seperti Imam Syafi’i, tidak membenarkan rujuk
dengan perbuatan. Menurutnya talak menghapus akad nikah.[23]
2.
Hukum Rujuk
Hukum rujuk dapat berubah menjadi sunnah,
makruh atau haram sesuai dengan hal-hal tertentu, sebagai berikut:
a.
Mubah, hal ini sesuai dengan hukum asalnya.
b.
Sunnah apabila rujuk dimaksudkan untuk memperbaiki
hubungan kekeluargaan yang telah retak
c.
Makruh apabila rujuk ini akan membawa mudharat dan talak
lebih bermanfaat.
d.
Haram, apabila dengan rujuk akan membawa isteri
teraniaya.
3.
Rukun Rujuk
Adapun rukun rujuk ada tiga, yaitu:[24]
a. Isteri
dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Isteri telah di campuri oleh mantan suami sebab bila
belum di campuri tidak ada iddah dengan demikian tidak boleh Rujuk.
2)
Isteri di dalam keadaan talak raj’i, sebab dalam keadaan
talak bain baik berupa fasakh, khulu’ atau talak tiga itu tidak boleh.
b. Suami
dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Baligh (dewasa).
2)
Berakal (tidak dalam keadaan gila atau mabuk)
3)
Dengan kemauan sendiri (tidak di paksa).
c. Sighat (ucapan)
Cara merujuk yang di lakukan oleh suami ada dua macam,
yaitu: dengan sharih (jelas) dan dengan cara kinaya (sindiran). Pada waktu
suami mengucapkan Rujuk sebaiknya ada dua orang saksi yang adil (tidak fasik).
Ucapan yang
menyatakan rujuk.
1)
Lafaz yang
menunjukkan maksud rujuk, misalnya kata suami “aku rujuk engkau” atau
“aku kembalikan engkau kepada nikahku”.
2)
Tidak bertaklik
tidak sah rujuk dengan lafaz yang bertaklik, misalnya kata suami “aku
rujuk engkau jika engkau mau”. Rujuk itu tidak sah walaupun isteri
mengatakan mahu.
3)
Tidak terbatas
waktu seperti kata suami “aku rujuk engkau selama sebulan”.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
(1)
Wajib rujuk jika suami mentalak istrinya ketika haidh sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat dan akan dijelaskan detail
pada masalah talak bid’iy.
(2)
Rujuk tidak disyaratkan ada wali dan tidak disyaratkan mahar. Rujuk itu
masih menahan istri sehingga masih dalam kondisi ikatan suami-istri.
(3)
Menurut mayoritas ulama, memberi tahu istri bahwa suami telah kembali
rujuk hanyalah mustahab (sunnah). Seandainya tidak ada pernyataan sekali pun,
rujuk tersebut tetap sah. Namun pendapat yang hati-hati dalam hal ini adalah
tetap memberitahu istri bahwa suami akan rujuk. Karena inilah realisasi dari
firman Allah:
فَأَمْسِكُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ
Artinya:
“Maka rujukilah mereka dengan baik” (QS. Ath Tholaq: 2).
Yang dikatakan rujuk dengan cara yang ma’ruf adalah memberitahukan si
istri. Tujuan dari pemberitahuan pada istri adalah jika si istri telah lewat
‘iddah, ia bisa saja menikah dengan pria lain karena tidak mengetahui telah
dirujuk oleh suami.
(5) Ketika telah ditalak
roj’iy, istri tetap berdandan dan berhias diri di hadapan suami sebagaimana
kewajiban seorang istri. Karena ketika ditalak roj’iy, masih berada dalam masa
‘iddah, istri masih tetap istri suami. Allah Ta’ala berfirman:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي
ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Artinya:
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa
‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah:
228). Dandan dan berhias diri seperti ini tentu akan membuat suami untuk
berpikiran untuk rujuk pada istri.
4. Syarat-syarat
Ruju‘[25]
a.
Suami:
1) Hendaklah
seorang yang berakal.
2) Baligh.
3) Dengan
kehendak dan kerelaan sendiri bukan paksaan daripada sesiapa.
4) Tidak
murtad.
b.
Isteri:
1) Hendaklah
yang sudah dicampuri.
2) Mestilah
yang diceraikan dengan talaq raj‘iyy. Bukan dengan perceraian secara fasakh,
khul‘ dan juga talaq tiga.
3) Hendaklah
ditentukan orangnya jika suami berkahwin lebih daripada satu dan telah
menceraikan beberapa orang isterinya.
4) Hendaklah
tidak dihadkan kepada sesuatu masa dan waktu. Tidak sah ruju‘ dalam masa yang
tertentu sahaja.
5) Tidak
bergantung kepada sesuatu syarat. Ruju‘ disyari‘atkan adalah bertujuan untuk
membolehkan suami isteri yang telah bercerai dengan talaq raj‘iyy meneruskan
kembali ikatan perkahwinan mereka yang telah terputus dengan syarat isteri
masih lagi dalam ‘iddah. Tetapi perlu diingat bahawa ruju‘ hendaklah dengan
tujuan untuk berdamai bukan kerana ingin menyakiti, menganiaya isteri dan
sebagainya.
c. Ruju’ dengan Surat
Rujuk dengan surat yang
ditulis suaminya sendiri tetapi tidak dibaca, termasuk ruju’ dengan ucaan
kinayah artinya harus ada niat dari suaminya.
d.
Syarat Shighat
Disyaratkan ucapan itu
tidak berta’liq berarti tidak bergantung misalnya : ”Aku rujuk engkau jika
engkau mau” rujuk semacam ini tidak syah walaupun isterinya mau. Dan tidak
boleh memakai batas waktu. Demikianlah
beberapa hal yang harus diperhatikan suami dalam merujuk isteri-isteri yang
mereka talaq yang masih dalam masa iddah.
5. Hikmah Rujuk[26]
a.
Dapat
menyambung atau (punya kesempatan) semula hubungan suami isteri untuk
kepentingan kerukunan numah tangga.
b.
Membolehkan
seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
c.
Membolehkan
seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
d.
Rujuk dapat
mengekalkan pernikahan dengan cara sederhana tanpa melalui akad nikah baru,
setelah terjadi perceraian antara suami dan isteri.
e.
Rujuk merupakan
sarana untuk menyatukan kembali hubungan antara suami isteri dengan cara ringan
dari segi biaya, waktu, maupun tenaga atau pikiran.
Kesimpulan:
Allah SWT dengan kebijaksanaan dan keluasan ilmu-Nya
menjelaskan pula bahwa dalam pernikahan pasti banyak menemui permasalahan dalam
berbagai faktor. Yang ditakutkan jika masalah yang timbul saat menjalani rumah
tangga yang jika dipertahankan justru akan mendatangkan akibat yang
membahayakan baik suami ataupun istri, atau bahkan anak- anak mereka. Itulah
sebabnya Allah SWT menghalalkan talak sebagai pintu darurat untuk digunakan
ketika tidak ada lagi harapan untuk memperbaiki dan meneruskan pernikahan
setelah memenuhi berbagai persyaratan menurut Islam. Talak atau perceraian jelas
merupakan perkara yang dapat merusak ikatan pernikahan, oleh karena itu
talak dibenci Allah SWT. Sebab dalam Islam ikatan pernikahan merupakan
perjanjian yang kokoh seperti yang tertulis dalam Al-Quran.
Suami
tak boleh menceraikan istrinya dalam kondisi haidh. Seorang suami yang telah
menggauli istrinya pada saat suci, ia tidak boleh menceraikannya, kecuali jika
telah jelas kehamilannya. Seorang suami tidak boleh mentalak istrinya lebih
dari talak satu atau talak tiga dalam satu majlis. Para ulama fiqih menyatakan,
bahwa suami berhak menguasakan kepada istrinya itu untuk menceraikannya.
Seorang istri yang melakukan khuluk harus menebus pembebasan dirinya bukan
hanya sekedar mengembalikan mahar yang diberikan suaminya. , masa iddah berarti
masa menunggu yangharus dijalani seorang mantan istri yang tidak ditalak atau
ditinggal mati suaminya sebelum ia dibolehkan menikah kembali. rujuk adalah
kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa
iddah setelah ditalak Raj’I atau talak yang memungkinkan masih bisa rujuk
SARAN DAN KRITIK
Sebelumnya kami ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Mukromin M.P.d.I,
Alh, yang selaku dosen Fiqh Munakahat yang telah memberikan tugas ini sebagai bahan
rujukan maupun dapat digunakan sebagai mana mestinya nanti.
Dan kami mengharapkan untuk dapat memberikan tambahan yang sekiranya dapat
menjadikan penguat terhadap makalah kami ini, atau pengarahan terhadap isi
makalah ini apabila ada suatu yang menyimpang.
Serta kepada
para pembaca yang budiman untuk dapat mengkritisi makalh ini, sehingga akan
muncul pengetahuan baru yang berguna untuk kita semua.
Juga kepada
seluruhnya, untuk tidak hanya mengkaji atau membahas permasalahan ini hanya
sebatas pada makalah kami ini saja. Cari dan teliti kembali dengan tema
pembahasan yang sama atau lebih luas, dibuku-buku yang ditulis oleh para
pemikir-pemikir handal, untuk dapat memperkaya ilmu pengetahuan kita. Dan
mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan untuk semua pada
umumnya. Amin.
Terima Kasih.
[4]
Butsainah as-sayyid al-Iraqi, Menyingkap Tabir
Perceraian, (Jakarta : Pustaka Al-Sofya), hal 202.
[16]
Butsainah as Sayyid al Iraqi, Menyingkap tabir
Perceraian, (Jakarta:Pustaka Al-Sofya), hal. 212.
Catatan : Makalah ini di susun oleh Khoirul Anam M. Iqbal Azhari dan Uswatun Hasanah.