Untuk pertama kalinya ia tumpahkan airmata
kesedihannya saat usianya belum genap sepuluh tahun. Saat itu, di depan matanya
ia menyaksikan kedua orang tuanya dan ratusan ribu bangsanya dibantai dan
diusir dari Deir Yasin. Itulah saat pertama ia mengenal langsung kekejaman
Yahudi yang selama ini hanya didengarnya dari cerita ibunya, dan saat itu pula
tergambar bayang-bayang penderitaan bangsanya Kemudian tangis kesedihan itu
secara beruntun menerpanya, ketika Irgun membawa satu persatu orang-orang
tercintanya tanpa pernah lagi kembali. Saat ia melepas suaminya pada perang
Ramadhan (1973), saat itu Amir, putra mereka, baru saja melewati satu tahun
usianya. Amir masih terlampau kecil untuk memahami, ketika suatu senja
seseorang datang mengabarkan kesyahidan ayahnya.
Sudah terbayang masa depan hidupnya,
seorang janda dan seorang bayi di tengah penindasan Yahudi. Saat itu tidak ada
yang ingin dilakukannya kecuali menangis. Tapi tidak, dia tidak melakukan itu.
Saat itulah ia memulai tekadnya untuk tidak ingin menambah kegembiraan
orang-orang Yahudi dengan airmata kesedihannya. Lebih dari itu ia tidak ingin
mengajari Amir menjadi pemuda yang lemah. Dan sejak saat itu pula, setiap belur
kesedihan yang menerpa, digubahnya menjadi senandung-senandung jihat yang dia
bisikkan ke telinga Amir, hingga memenuhi rongga dada anaknya. Dia masih bisa
bertahan untuk tidak menagis saat pembatain Taal el-Zatar ataupun Sabra Shatila
yang menghabisi kerabatnya yang tersisa. Masih disisakan sedikit harapan dalam
dirinya demi seorang Amir putra tercintanya. Dia tidak ingin menyiai-nyiakan
warisan paling berharga dari suaminya itu. Sekian tahun ia telah membendung
tangis itu, tapi tidak untuk hari ini.
Kata-kata pemuda tanggung dihadapannya
telah menjebol kekokohan benteng pertahanannya. Dicobanya untuk mengelak dan
membujuk hatinya, bahwa yang didengarnya beberapa menit yang lalu hanyalah
mimpi. Tapi sosok di depannnya teramat nyata untuk ia ingkari. Amir syuhada,
pemuda tanggung didepannya itu, putra satu-satunya, kembali mengulang
kata-katanya, "Bunda, ijinkan ananda pergi berjihad. "Suara itu
terdengar lembut dan penuh harap, seperti lima belas tahun yang lalu ketika
Amir kecil meminta baju buat berhari raya. Tapi suara itu kini memendam sebuah
tekad dan keberanian, dan dia tahu bahwa dia tak'kan mungkin sanggup menahan
gelora itu. Wanita tua itu menarik nafas panjang menahan isak yang satu persatu
saat keluar. Serasa masih terngiang di telinganya 23 tahun yang lalu, kalimat
senada diucapkan suaminya. Dengan berat hati dilepasnya kepergian suaminya. Ia
masih menyimpan sedikit harapan bahwa suaminya akan kembali, meski kenyataan
yang terjadi tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkannya. Tapi kali ini
hatinya teramat berat, karena ia tahu benar apa yang dimaksud dengan kata
"jihad" oleh Amir anaknya. Baru dua hari yang lalu Amir dengan
bersemangat bercerita tentang kawan-kawannya yang syahid dalam aksi bom
syahadah. Itu artinya, ia harus mengubur seluruh harapan akan kembalinya
putranya dengan selamat, bahkan sepotong tubuhnya sekalipun.
"Amir Syuhada" (pemimpin para
syahid), perlahan diejanya nama putranya. Nama yang diberikan oleh suaminya.
Nama yang menyimpan sebuah cita-cita amat dalam. "Aku tidak berharap dia
menjadi orang terkenal di dunia karena memimpin sebuah angkatan perang, tapi
aku ingin dia menjadi orang terkenal di akhirat karena memipin rombongan
syuhada. Dia harus menjadi orang yang pertama menyambut setiap kali kesempatan
jihad itu datang," begitulah harapan suaminya. Betapa cepat perjalanan
hidup. Betapa cepat harapan-harapan berganti. Seminggu yang lalu, Amir dengan
malu-malu mengungkap keinginannya untuk mengakhiri masa lajangnya dengan
membina sebuah rumah tangga. Ya, Amir ingin menikah. Sudah terbayang seorang
gadis cantik menjadi menantunya, bahkan sudah terbayang pula cucu-cucu yang
akan meramaikan rumah gubuknya ini. Namun kehendak ternyata berkata lain. Bukan
perlengkapan nikah yang dibawa pulang putranya hari ini. Tapi sepotong baju
khusus dengan kabell-kabel di sana sini dan beberapa bungkusan aneh yang baru
kemudian ia tahu berisi bom. Isaknya mulai terdengar saling memburu. Begitupun
cairang bening di matanya dibiarkannya mengalir, tanpa usaha lagi untuk
menahan. Amir pun terdiam mematung. Baru ketika ibunya mulai tenang, diraihnya
tangan keriput itu dan digenggamnya penuh perasaan sambul berucap, "Bunda,
ananda lakukan ini karena ananda ingin mewujukan apa yang selama ini menjadi
do'a bunda terhadap ananda."
Sekilas wanita tua itu terhenyak mendengar
penuturan anaknya, tapi ia tetap diam tak menyahut. Amir melanjutkan ucapannya,
"Bukankah bunda yang setiap malam berdo'a agar ananda menjadi anak yang
sholeh? Inilah ananda yang berusaha mewujudkan harapan bunda. Bukankah bunda
selalu menasihati ananda untuk senantiasa istiqamah memegang panji da'wah ini,
dan senantiasa memenuhi hidup dengan jihad dan pengorbanan? Menegakkan kalimat
tauhid, melindungi kaum yang lemah, membela kebenaran dan keadilan? Bukankakah
bunda selalu mengingatkan bahwa kemanisan iman hanya dapat dirasakan oleh orang
yang menegakkan dia dalam dirinya, bahwa bahagia hanya dapat dirasakan oleh
orang yang berjuang membela kebenaran dan keadilan, bahwa kemenangan dan
kejayaan hakiki hanya akan diberikan pada pejuang yang telah berkorban, kuat
menahan penderitaan dan kepapaan, bahwa ketabahan dan kesabaran berjuang hanya
akan diberikan pada mu'min yang mendekatkan dirinya kepada Allah? Bukankah
bunda yang berulangkali mengatakan hal itu? Inilah ananda Amir yang berusa
menjalankan nasihat Bunda."
Amir mencoba untuk tetap tersenyum, sambil
tangannya menggenggam telapak tua ibunya. Dulu ketika masih kecil ia suka
merengek dan menarik-narik tangan itu jika menginginkan sesuatu. "Tapi aku
tidak berdo'a agar kamu mati," perlahan ibunya bereaksi. Dan masih dengan
tersenyum Amir berucap, "Bunda...," dengan gaya merajuk Amir menyebut
ibunya dan melanjutkan ucapannya, "siapa yang mau mati?" Bunda tentu
masih ingat, bagaimana ketika ananda masih usia 7 tahun. Jika ananda menangis,
Bunda selalu menghibur dengan cerita tentang kepahlawanan ayah, tentang
keberanian ayah dalam setiap medan tempur, tentang kisah kesyahidan ayah, dan
bunda selalu mengakhirinya dengan membaca ayat, Janganlah kamu mengira bahwa
mereka yang terbunuh di jalan Allah itu, namun sesungguhnya mereka itu hidup di
sisi Rabbnya dengan mendapatkan rizki. Bunda, ananda berjihad bukan untuk mati,
tapi ananda berjihad untuk syahid, untuk kehidupan yang lebih abadi."
"Tapi tidak dengan bunuh diri," ibunya menukas. "Bunuh diri?
Siapa yang mengatakan itu pada Bunda," terdengar nada bicara Amir
meninggi, ketika sadar dengan siapa ia bicara, kembali Amir melunakkan suaranya
sambil mengulang pertanyaannya. "Siapa yang mengatakan itu pada
Bunda?" tanpa menunggu jawaban, Amir melanjutkan, "Bunda.., Bunda
tentu masih ingat ketika ananda masih kecil, bunda yang selalu mengiring tidur
ananda dengan senandung jihad. Bunda yang menanam benih-benih keberanian itu
dalam rongga dada ananda, Bunda yang telah menyalakan api revolusioner itu
dalam jiwa ananda. Kini antarkanlah ananda pergi ke medan jihad dengan
senandung itu, iznkan ananda membakar kesombongan Yahudi dengan api itu. Bunda,
masih ingatkah Bunda akan senandung Khubaib bin Ady ra. sesaat menjelang
digantung orang-orang kafir Quraisy?
Sekiranya Allah menghendaki
keberkahan
Dengan menghancurkanlumatkan tubuhku
Aku tak peduli, asal aku mati sebagai Muslim
Untuk Allah-lah kematianku pasti.
Dengan menghancurkanlumatkan tubuhku
Aku tak peduli, asal aku mati sebagai Muslim
Untuk Allah-lah kematianku pasti.
"Sunggu Bunda, jika tegaknya kalimat Allah di bumi
ini harus dibayar dengan cabikan- cabikan tubuh ananda, ananda tidak akan
pernah mundur. Bunda pula yang berkisah tentang kepahlawanan Ikramah dalam
perang Yarmuk, ketika ia berseru, "Siapa yang sedia berjanji setia
kepadaku untuk mati?" Kemudian 400 mujahidin serentak menyambutnya, dan
mereka tidak mundur sejengkal pun sampai menemui kesyahidan. Inikah yang hendak
bunda katakan bunuh diri...? Tidak Bunda, ananda telah menjual diri ini pada
Allah, biarkan ananda menepati janji." Sejenak ruang itu hening. Isakan
wanita tua itupun sudah lama reda, hanya genangan bening yang masih tersisa di
sudut matanya. Meski tanpa harap, dicobanya untuk terakhir kali membujuk
putranya, seperti mengingatkan ia bertanya, "Bukankah beberapa waktu lalu
kau telah berniat untuk menikah?" Masih dengan senyumnya, Amir menjawab,
"Bunda, sekian lama ananda belajar tentang arti sebuah cinta. Dan ananda
telah menemukan, bahwa cinta yang tertinggi hanyalah untuk Allah. Sekian lama
ananda memendam rindu untuk bertemu Allah, dan saat ini kesempatan itu telah
datang. Sungguh Bunda, ananda tidak ingin kehilangan kesempatan." Diucapkannnya
kalimat terakhir dengan anda tegas.
Wanita tua itu kembali menarik nafas
panjang. Ditatapnya pemuda tanggung di hadapanya, seakan dia ingin memastikan
bahwa pemuda di hadapannya itu benar-benar Amir anaknya. Dia sebenarnya sudah
menyadari sejak lama, bahwa saat-saat seperti ini pasti akan terjadi. Dia pun
tahu tak seharusnya mencegah maksud putranya. Amir bukan lagi bocah kecil yang
bisa dijewer telinganya kalau nakal, atapun dibujuk dengan sepotong kue agar
tidak menangis. Amir kini telah tumbuh menjadi pemuda dewasa, bahkan mungkin
terlalu dewasa untuk pemuda seusianya. Dia tahu bahwa kata-kata yang diucapkan
Amir benar adanya. tapi dia merasa begitu berat untuk membujuk naluri
keibuannya. Sejak Amir terlibat dengan berbagai aktivitas HAMAS, dia sebenarnya
telah berusaha mencoba meyakinkan hatinya, bahwa Amir bukanlah miliknya. Benar,
ia telah melahirkannya, memberinya kasih sayang, tapi ia sama sekali tidak
berhak mendiktekan keinginannya. Benar ia telah memerikan rumah bagi raganya,
tapi tidak pada jiwanya, karena jiwanya telah menjadi penghuni rumah masa depan
yang kini tengah dirisaukannya. Amir telah menjadi milik zamannya, sejarahnya
dan tantangannya.
Dia hanyalah sebatang busur, dan Amir
adalah anak panah yang meluncur. Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan
keabadian. Direntangkan-Nya busur itu dengan kekuasaan-Nya hingga anak panah
itu melesat jauh dan cepat. Meliuk dalam suka cita dalam rentangan tangan Sang
Pemahan. Sang Pemanah mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap. Dia seharusnya gembira, 24
tahun ini mendapatkan kesempatan menyertai perjalanan sejarah Amir. Dia
seharunya bangga karena benih yang ia tanam lewat senandung- senandungnya telah
tumbuh subur, dan kini saatnya berbuah. Tidak , dia tidak boleh terbawa
perasaannya. Dia tidak boleh menghalangi buah yang telah ranum untuk dipetik.
Di tatapnya wajah pemuda di hadapannya, sungguh tampan dan bercahaya, persis
wajah asy-syahid suaminya. Sorot matanya tajam, menyimpan semangat yang bergelora.
Sama sekali tak ditemukan keraguan di sana.
Perlahan tangan keriputnya meraba wajah
itu. Wanita tua itu mencoba untuk tersenyum, yah, dia harus ikhlas. Dengan
suara bergetar dia berkata, "Pergilah anakku, jangan kau cemaskan bunda.
Simpan kesedihan dan derita bunda di kedalaman jiwamu. Jangan kau pergi jika
masih ada setitik dendam, bersihkan niatmu hanya untu meraih ridha Allah.
Pancangkan tinggi-tinggi panji tauhid di bumi ini. Kalau memang hanya dengan
cabikan tubuhmu ia akan tegak, bunda merelakanmu. Pergilah anakku, dan jangan
kau kembali kepada bunda selama nyawamu masih tersisa..." Diciumnya dahi
putra satu-satunya itu. Wanita itu tak lagi menangis. Dilepaskannya kepergian
putranya dengan senyum keikhlasan. Matahari senja menyapu lorong-lorong Tel
Aviv. Tidak ada yang memperdulikan ketika seorang pemuda tanggung berjalan
menghamprii sebuah pos tentara Israel. Tanpa sebuah aba-aba, Bummm.., tubuh
pemuda itupun meledak mengatarkannya menemui Rabbnya. Berjajar para bidadari
berrbut kekasih yang baru tiba, seorang pemuda tanpan dengan gaun pengantin
dari surga tampak berbahagia.
Lepas Isya' di sebuah perkampungan di jalur
Gaza, seorang lelaki berjalan mengendap- endap, mengetuk pintu sebuah gubuk
dengan hati-hati sambil mengucap salam. Wajah seorang wanita tua muncul
menjawab salamnya. Tanpa menunggu lelaki itu mendahului berbicara, "Amir
Syuhada telah syahid sore tadi. Dan hanya ini yang tersisa dari jasadnya, yang
dititipkannya menjelang berangkat." Berkata demikian lelaki itu sambil
memberikan sebuah mushaf mungil di tanggannya. Wanita tua mendekap mushaf itu
didadanya, seperti ia mendekap Amir kecil menjelang tidurnya. Dia tidak pernah
merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan yang dirasakannya hari ini.
Seakan ada yang menuntun, dia berjalan menghampiri kamar putranya. Dengan
hati-hati dikuakkannya pintu kayu yang menghalanginya. Sungguh, dia mencium bau
harum di kamar itu. Bau harum yang khas keharuman kamar pengantin.
Ibunda...
Kau ucapkan selamat tinggal
tatkala aku berangkat berjihad
Dan kau katakan padaku
Jadilah singa yang mengamuk meraung
Kemudian aku berlalu
mencatat segala pembataian dengan darahku
Bunda jangan kau bersedih
Kini belengguku berat Bunda
Namun...kemauanku tak terkalahkan
Penjara dan siksaan mereka tak menakutkanku
Pijaran listrik tak kuasa menyengatku
Bunda jangan bersedih
Goncangku kanku jadikan pintu jahim
yang meledak menghantam para musuh
Betapapun kuatnya belenggu
Dengan sabar dan tekad bulat kurantas belengguku
Bunda jangan kau bersedih
Bersabarlah Bunda
Jika tiada lagi pertemuan
Dan semakin panjang malam mencekam
maka esok kita kan hidup mulia
Di atas negeri kita sendiri
Bunda...jangan kau bersedih
"Wahai, kaum muslimin! Lawan dan
musuhmu berani menyerang dan menjajah kamu hanyalah karena Allah meninggalkan
kamu. Janganlah kamu mengira bahwa musuhmu telah menraih kemenangan atas kamu
tetapi sesungguhnya Allah Yan Maha Pelindung dan Maha Penolong telah berpaling
dari kamu. Demi Allah, musuh-musuhmu bukannya kuat, tetapi umat Islam yang lemah."
(Asy-Syahid Hasan al-Bana)
"Saya mengagumi seorang pemuda karena
keberanian dan keploporannya dan saya mengagumi seorang pemudi karena adab dan
sifat malunya. Sebab, keberanian adalah pelengkap akhlak dan sifat utama
pemuda, sedangkan malu adalah kecantikan pemudi yang paling utama."
(Mustafa Luthfi al-Manfaluthi)
Amir Syuhada
Untuk pertama kalinya ia tumpahkan airmata
kesedihannya saat usianya belum genap sepuluh tahun. Saat itu, di depan matanya
ia menyaksikan kedua orang tuanya dan ratusan ribu bangsanya dibantai dan
diusir dari Deir Yasin. Itulah saat pertama ia mengenal langsung kekejaman
Yahudi yang selama ini hanya didengarnya dari cerita ibunya, dan saat itu pula
tergambar bayang-bayang penderitaan bangsanya Kemudian tangis kesedihan itu
secara beruntun menerpanya, ketika Irgun membawa satu persatu orang-orang
tercintanya tanpa pernah lagi kembali. Saat ia melepas suaminya pada perang
Ramadhan (1973), saat itu Amir, putra mereka, baru saja melewati satu tahun
usianya. Amir masih terlampau kecil untuk memahami, ketika suatu senja
seseorang datang mengabarkan kesyahidan ayahnya.
Sudah terbayang masa depan hidupnya,
seorang janda dan seorang bayi di tengah penindasan Yahudi. Saat itu tidak ada
yang ingin dilakukannya kecuali menangis. Tapi tidak, dia tidak melakukan itu.
Saat itulah ia memulai tekadnya untuk tidak ingin menambah kegembiraan
orang-orang Yahudi dengan airmata kesedihannya. Lebih dari itu ia tidak ingin
mengajari Amir menjadi pemuda yang lemah. Dan sejak saat itu pula, setiap belur
kesedihan yang menerpa, digubahnya menjadi senandung-senandung jihat yang dia
bisikkan ke telinga Amir, hingga memenuhi rongga dada anaknya. Dia masih bisa
bertahan untuk tidak menagis saat pembatain Taal el-Zatar ataupun Sabra Shatila
yang menghabisi kerabatnya yang tersisa. Masih disisakan sedikit harapan dalam
dirinya demi seorang Amir putra tercintanya. Dia tidak ingin menyiai-nyiakan
warisan paling berharga dari suaminya itu. Sekian tahun ia telah membendung
tangis itu, tapi tidak untuk hari ini.
Kata-kata pemuda tanggung dihadapannya
telah menjebol kekokohan benteng pertahanannya. Dicobanya untuk mengelak dan
membujuk hatinya, bahwa yang didengarnya beberapa menit yang lalu hanyalah
mimpi. Tapi sosok di depannnya teramat nyata untuk ia ingkari. Amir syuhada,
pemuda tanggung didepannya itu, putra satu-satunya, kembali mengulang
kata-katanya, "Bunda, ijinkan ananda pergi berjihad. "Suara itu
terdengar lembut dan penuh harap, seperti lima belas tahun yang lalu ketika
Amir kecil meminta baju buat berhari raya. Tapi suara itu kini memendam sebuah
tekad dan keberanian, dan dia tahu bahwa dia tak'kan mungkin sanggup menahan
gelora itu. Wanita tua itu menarik nafas panjang menahan isak yang satu persatu
saat keluar. Serasa masih terngiang di telinganya 23 tahun yang lalu, kalimat
senada diucapkan suaminya. Dengan berat hati dilepasnya kepergian suaminya. Ia
masih menyimpan sedikit harapan bahwa suaminya akan kembali, meski kenyataan
yang terjadi tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkannya. Tapi kali ini
hatinya teramat berat, karena ia tahu benar apa yang dimaksud dengan kata
"jihad" oleh Amir anaknya. Baru dua hari yang lalu Amir dengan
bersemangat bercerita tentang kawan-kawannya yang syahid dalam aksi bom
syahadah. Itu artinya, ia harus mengubur seluruh harapan akan kembalinya
putranya dengan selamat, bahkan sepotong tubuhnya sekalipun.
"Amir Syuhada" (pemimpin para
syahid), perlahan diejanya nama putranya. Nama yang diberikan oleh suaminya.
Nama yang menyimpan sebuah cita-cita amat dalam. "Aku tidak berharap dia
menjadi orang terkenal di dunia karena memimpin sebuah angkatan perang, tapi
aku ingin dia menjadi orang terkenal di akhirat karena memipin rombongan
syuhada. Dia harus menjadi orang yang pertama menyambut setiap kali kesempatan
jihad itu datang," begitulah harapan suaminya. Betapa cepat perjalanan
hidup. Betapa cepat harapan-harapan berganti. Seminggu yang lalu, Amir dengan
malu-malu mengungkap keinginannya untuk mengakhiri masa lajangnya dengan
membina sebuah rumah tangga. Ya, Amir ingin menikah. Sudah terbayang seorang
gadis cantik menjadi menantunya, bahkan sudah terbayang pula cucu-cucu yang
akan meramaikan rumah gubuknya ini. Namun kehendak ternyata berkata lain. Bukan
perlengkapan nikah yang dibawa pulang putranya hari ini. Tapi sepotong baju
khusus dengan kabell-kabel di sana sini dan beberapa bungkusan aneh yang baru
kemudian ia tahu berisi bom. Isaknya mulai terdengar saling memburu. Begitupun
cairang bening di matanya dibiarkannya mengalir, tanpa usaha lagi untuk
menahan. Amir pun terdiam mematung. Baru ketika ibunya mulai tenang, diraihnya
tangan keriput itu dan digenggamnya penuh perasaan sambul berucap, "Bunda,
ananda lakukan ini karena ananda ingin mewujukan apa yang selama ini menjadi
do'a bunda terhadap ananda."
Sekilas wanita tua itu terhenyak mendengar
penuturan anaknya, tapi ia tetap diam tak menyahut. Amir melanjutkan ucapannya,
"Bukankah bunda yang setiap malam berdo'a agar ananda menjadi anak yang
sholeh? Inilah ananda yang berusaha mewujudkan harapan bunda. Bukankah bunda
selalu menasihati ananda untuk senantiasa istiqamah memegang panji da'wah ini,
dan senantiasa memenuhi hidup dengan jihad dan pengorbanan? Menegakkan kalimat
tauhid, melindungi kaum yang lemah, membela kebenaran dan keadilan? Bukankakah
bunda selalu mengingatkan bahwa kemanisan iman hanya dapat dirasakan oleh orang
yang menegakkan dia dalam dirinya, bahwa bahagia hanya dapat dirasakan oleh
orang yang berjuang membela kebenaran dan keadilan, bahwa kemenangan dan
kejayaan hakiki hanya akan diberikan pada pejuang yang telah berkorban, kuat
menahan penderitaan dan kepapaan, bahwa ketabahan dan kesabaran berjuang hanya
akan diberikan pada mu'min yang mendekatkan dirinya kepada Allah? Bukankah
bunda yang berulangkali mengatakan hal itu? Inilah ananda Amir yang berusa
menjalankan nasihat Bunda."
Amir mencoba untuk tetap tersenyum, sambil
tangannya menggenggam telapak tua ibunya. Dulu ketika masih kecil ia suka
merengek dan menarik-narik tangan itu jika menginginkan sesuatu. "Tapi aku
tidak berdo'a agar kamu mati," perlahan ibunya bereaksi. Dan masih dengan
tersenyum Amir berucap, "Bunda...," dengan gaya merajuk Amir menyebut
ibunya dan melanjutkan ucapannya, "siapa yang mau mati?" Bunda tentu
masih ingat, bagaimana ketika ananda masih usia 7 tahun. Jika ananda menangis,
Bunda selalu menghibur dengan cerita tentang kepahlawanan ayah, tentang
keberanian ayah dalam setiap medan tempur, tentang kisah kesyahidan ayah, dan
bunda selalu mengakhirinya dengan membaca ayat, Janganlah kamu mengira bahwa
mereka yang terbunuh di jalan Allah itu, namun sesungguhnya mereka itu hidup di
sisi Rabbnya dengan mendapatkan rizki. Bunda, ananda berjihad bukan untuk mati,
tapi ananda berjihad untuk syahid, untuk kehidupan yang lebih abadi."
"Tapi tidak dengan bunuh diri," ibunya menukas. "Bunuh diri?
Siapa yang mengatakan itu pada Bunda," terdengar nada bicara Amir
meninggi, ketika sadar dengan siapa ia bicara, kembali Amir melunakkan suaranya
sambil mengulang pertanyaannya. "Siapa yang mengatakan itu pada
Bunda?" tanpa menunggu jawaban, Amir melanjutkan, "Bunda.., Bunda
tentu masih ingat ketika ananda masih kecil, bunda yang selalu mengiring tidur
ananda dengan senandung jihad. Bunda yang menanam benih-benih keberanian itu
dalam rongga dada ananda, Bunda yang telah menyalakan api revolusioner itu
dalam jiwa ananda. Kini antarkanlah ananda pergi ke medan jihad dengan
senandung itu, iznkan ananda membakar kesombongan Yahudi dengan api itu. Bunda,
masih ingatkah Bunda akan senandung Khubaib bin Ady ra. sesaat menjelang
digantung orang-orang kafir Quraisy?
Sekiranya Allah menghendaki
keberkahan
Dengan menghancurkanlumatkan tubuhku
Aku tak peduli, asal aku mati sebagai Muslim
Untuk Allah-lah kematianku pasti.
Dengan menghancurkanlumatkan tubuhku
Aku tak peduli, asal aku mati sebagai Muslim
Untuk Allah-lah kematianku pasti.
"Sunggu Bunda, jika tegaknya kalimat Allah di bumi
ini harus dibayar dengan cabikan- cabikan tubuh ananda, ananda tidak akan
pernah mundur. Bunda pula yang berkisah tentang kepahlawanan Ikramah dalam
perang Yarmuk, ketika ia berseru, "Siapa yang sedia berjanji setia
kepadaku untuk mati?" Kemudian 400 mujahidin serentak menyambutnya, dan
mereka tidak mundur sejengkal pun sampai menemui kesyahidan. Inikah yang hendak
bunda katakan bunuh diri...? Tidak Bunda, ananda telah menjual diri ini pada
Allah, biarkan ananda menepati janji." Sejenak ruang itu hening. Isakan
wanita tua itupun sudah lama reda, hanya genangan bening yang masih tersisa di
sudut matanya. Meski tanpa harap, dicobanya untuk terakhir kali membujuk
putranya, seperti mengingatkan ia bertanya, "Bukankah beberapa waktu lalu
kau telah berniat untuk menikah?" Masih dengan senyumnya, Amir menjawab,
"Bunda, sekian lama ananda belajar tentang arti sebuah cinta. Dan ananda
telah menemukan, bahwa cinta yang tertinggi hanyalah untuk Allah. Sekian lama
ananda memendam rindu untuk bertemu Allah, dan saat ini kesempatan itu telah
datang. Sungguh Bunda, ananda tidak ingin kehilangan kesempatan." Diucapkannnya
kalimat terakhir dengan anda tegas.
Wanita tua itu kembali menarik nafas
panjang. Ditatapnya pemuda tanggung di hadapanya, seakan dia ingin memastikan
bahwa pemuda di hadapannya itu benar-benar Amir anaknya. Dia sebenarnya sudah
menyadari sejak lama, bahwa saat-saat seperti ini pasti akan terjadi. Dia pun
tahu tak seharusnya mencegah maksud putranya. Amir bukan lagi bocah kecil yang
bisa dijewer telinganya kalau nakal, atapun dibujuk dengan sepotong kue agar
tidak menangis. Amir kini telah tumbuh menjadi pemuda dewasa, bahkan mungkin
terlalu dewasa untuk pemuda seusianya. Dia tahu bahwa kata-kata yang diucapkan
Amir benar adanya. tapi dia merasa begitu berat untuk membujuk naluri
keibuannya. Sejak Amir terlibat dengan berbagai aktivitas HAMAS, dia sebenarnya
telah berusaha mencoba meyakinkan hatinya, bahwa Amir bukanlah miliknya. Benar,
ia telah melahirkannya, memberinya kasih sayang, tapi ia sama sekali tidak
berhak mendiktekan keinginannya. Benar ia telah memerikan rumah bagi raganya,
tapi tidak pada jiwanya, karena jiwanya telah menjadi penghuni rumah masa depan
yang kini tengah dirisaukannya. Amir telah menjadi milik zamannya, sejarahnya
dan tantangannya.
Dia hanyalah sebatang busur, dan Amir
adalah anak panah yang meluncur. Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan
keabadian. Direntangkan-Nya busur itu dengan kekuasaan-Nya hingga anak panah
itu melesat jauh dan cepat. Meliuk dalam suka cita dalam rentangan tangan Sang
Pemahan. Sang Pemanah mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap. Dia seharusnya gembira, 24
tahun ini mendapatkan kesempatan menyertai perjalanan sejarah Amir. Dia
seharunya bangga karena benih yang ia tanam lewat senandung- senandungnya telah
tumbuh subur, dan kini saatnya berbuah. Tidak , dia tidak boleh terbawa
perasaannya. Dia tidak boleh menghalangi buah yang telah ranum untuk dipetik.
Di tatapnya wajah pemuda di hadapannya, sungguh tampan dan bercahaya, persis
wajah asy-syahid suaminya. Sorot matanya tajam, menyimpan semangat yang bergelora.
Sama sekali tak ditemukan keraguan di sana.
Perlahan tangan keriputnya meraba wajah
itu. Wanita tua itu mencoba untuk tersenyum, yah, dia harus ikhlas. Dengan
suara bergetar dia berkata, "Pergilah anakku, jangan kau cemaskan bunda.
Simpan kesedihan dan derita bunda di kedalaman jiwamu. Jangan kau pergi jika
masih ada setitik dendam, bersihkan niatmu hanya untu meraih ridha Allah.
Pancangkan tinggi-tinggi panji tauhid di bumi ini. Kalau memang hanya dengan
cabikan tubuhmu ia akan tegak, bunda merelakanmu. Pergilah anakku, dan jangan
kau kembali kepada bunda selama nyawamu masih tersisa..." Diciumnya dahi
putra satu-satunya itu. Wanita itu tak lagi menangis. Dilepaskannya kepergian
putranya dengan senyum keikhlasan. Matahari senja menyapu lorong-lorong Tel
Aviv. Tidak ada yang memperdulikan ketika seorang pemuda tanggung berjalan
menghamprii sebuah pos tentara Israel. Tanpa sebuah aba-aba, Bummm.., tubuh
pemuda itupun meledak mengatarkannya menemui Rabbnya. Berjajar para bidadari
berrbut kekasih yang baru tiba, seorang pemuda tanpan dengan gaun pengantin
dari surga tampak berbahagia.
Lepas Isya' di sebuah perkampungan di jalur
Gaza, seorang lelaki berjalan mengendap- endap, mengetuk pintu sebuah gubuk
dengan hati-hati sambil mengucap salam. Wajah seorang wanita tua muncul
menjawab salamnya. Tanpa menunggu lelaki itu mendahului berbicara, "Amir
Syuhada telah syahid sore tadi. Dan hanya ini yang tersisa dari jasadnya, yang
dititipkannya menjelang berangkat." Berkata demikian lelaki itu sambil
memberikan sebuah mushaf mungil di tanggannya. Wanita tua mendekap mushaf itu
didadanya, seperti ia mendekap Amir kecil menjelang tidurnya. Dia tidak pernah
merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan yang dirasakannya hari ini.
Seakan ada yang menuntun, dia berjalan menghampiri kamar putranya. Dengan
hati-hati dikuakkannya pintu kayu yang menghalanginya. Sungguh, dia mencium bau
harum di kamar itu. Bau harum yang khas keharuman kamar pengantin.
Ibunda...
Kau ucapkan selamat tinggal
tatkala aku berangkat berjihad
Dan kau katakan padaku
Jadilah singa yang mengamuk meraung
Kemudian aku berlalu
mencatat segala pembataian dengan darahku
Bunda jangan kau bersedih
Kini belengguku berat Bunda
Namun...kemauanku tak terkalahkan
Penjara dan siksaan mereka tak menakutkanku
Pijaran listrik tak kuasa menyengatku
Bunda jangan bersedih
Goncangku kanku jadikan pintu jahim
yang meledak menghantam para musuh
Betapapun kuatnya belenggu
Dengan sabar dan tekad bulat kurantas belengguku
Bunda jangan kau bersedih
Bersabarlah Bunda
Jika tiada lagi pertemuan
Dan semakin panjang malam mencekam
maka esok kita kan hidup mulia
Di atas negeri kita sendiri
Bunda...jangan kau bersedih
"Wahai, kaum muslimin! Lawan dan
musuhmu berani menyerang dan menjajah kamu hanyalah karena Allah meninggalkan
kamu. Janganlah kamu mengira bahwa musuhmu telah menraih kemenangan atas kamu
tetapi sesungguhnya Allah Yan Maha Pelindung dan Maha Penolong telah berpaling
dari kamu. Demi Allah, musuh-musuhmu bukannya kuat, tetapi umat Islam yang lemah."
(Asy-Syahid Hasan al-Bana)
"Saya mengagumi seorang pemuda karena
keberanian dan keploporannya dan saya mengagumi seorang pemudi karena adab dan
sifat malunya. Sebab, keberanian adalah pelengkap akhlak dan sifat utama
pemuda, sedangkan malu adalah kecantikan pemudi yang paling utama."
(Mustafa Luthfi al-Manfaluthi)
Tags
Hikmah Kisah