Selama berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran
tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja
sekaligus direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga ketika
ia mekar, tetapi kemudian dicampakkan begitu saja begitu ia layu. Tubuh
perempuan identik dengan daya pesona dan kesenangan, tetapi dalam waktu yang
sama ia dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan. Perempuan dipuji sebagai
“tiang negara”. Ketika menjadi ibu, masyarakat muslim memujinya “surga di
telapak kaki ibu”. Tetapi pada saat yang lain, ketika ia menjadi seorang istri,
menurut sebuah teks agama, dia harus tunduk sepenuhnya kepada suami, dia tidak
boleh keluar rumah sepanjang suami tidak mengizinkannya, meski untuk menengok
orang tuanya yang tengah sakit bahkan sampai meninggal sekalipun. Istri juga
tidak boleh menolak manakala suami menginginkan tubuhnya, kapan dan di mana
saja.
Seorang feminis Iran, Haideh Moghissi mengemukakan keadaan di atas
dengan tajam: “Ungkapan (ekspresi) perempuan atas keinginan-keinginannya dan
usahanya untuk memperoleh hak-haknya terlalu sering dianggap bertentangan
dengan kepentingan-kepentingan laki-laki dan melawan hak-hak laki-laki atas
perempuan yang telah diberikan oleh Tuhan. Adanya anggapan bahwa perempuan
merupakan makhluk lemah dalam pertimbangan moral, memiliki kemampuan kognitif
yang rendah, kuat secara seksual dan mudah terangsang. Dalam perspektif ini,
perempuan cenderung melakukan pelanggaran.”
Dalam konteks tradisi keagamaan, seluruh perbincangan tentang tubuh
perempuan merujuk pada satu kata sakti : “fitnah”, tepatnya “mamba’ al-fitnah”,
sumber fitnah atau “mazhinnah al-fitnah” (dicurigai melahirkan fitnah). Kata
fitnah dalam hal ini dimaknai hampir seluruhnya bernada negatif; rayuan
seksual, sumber kerusakan, kekacauan sosial serta membahayakan. Khalid Abou
Fadl, pemikir muslim paling progresif saat ini, menyebutkan : “Kendati
masyarakat memuji dan mengakui peran perempuan sebagai ibu, tetapi perempuan
dipotret sebagai entitas yang tidak sempurna dan tidak patuh. Maka seorang
istri harus sepenuhnya melayani dan di bawah kontrol suami. Sebagai anak, ia di
bawah pengawasan ayahnya, dan sebagai anggota masyarakat ia berada di bawah
kontrol semua laki-laki”.
Norma dalam masyarakat muslim, anak gadis harus memperoleh izin
ayahnya ketika hendak menikah. Bahkan sebagian ayah boleh menikahkannya dengan
laki-laki pilihannya, meski si anak tidak menginginkannya. Ketika suami tidak
lagi menyukai istrinya, ia dapat melepaskannya kapan saja. Perempuan sumber
petaka dan kesialan laki-laki. Pendeknya dalam banyak peradaban, perempuan
tidak pernah menjadi manusia yang utuh, independen dan otonom.
Pandangan-pandangan paradoks, ambigu, penuh dengan nuansa-nuansa
yang merendahkan perempuan di atas memperlihatkan bahwa perempuan hanya dilihat
semata-mata dari aspek tubuh, seks, dan biologis. Perempuan hanya dipandang
sebagai benda, barang (mata’un), dan kesenangan (mut’ah).
Pandangan seperti itu jelas telah menafikan jiwa, pikiran, dan
energi perempuan. Mereka telah membutakan pengetahuannya bahwa dalam tubuh
perempuan sesungguhnya tersimpan seluruh potensi besar kemanusiaan, layaknya
manusia berjenis kelamin laki-laki. Perempuan memiliki otak dan hati nurani
dengan tingkat kecerdasan dan kepekaan yang relatif setara dengan laki-laki.
Energi fisik perempuan juga tidak lebih lemah dari energi fisik laki-laki.
Fakta dalam dunia dunia pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, profesi, budaya,
dunia spiritual, dan peradaban manusia sesungguhnya juga memperlihatkan
realitas ini.
Patriarkhisme adalah sebuah ideologi yang memberikan kepada
laki-laki legitimasi superioritas, menguasai dan mendefinisikan struktur
sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik dengan perspektif laki-laki. Sementara
perempuan dalam situasi ini dipandang sebagai eksistensi yang rendah, manusia
kelas dua (the second class), yang diatur, dikendalikan, bahkan untuk
dieksploitasi dan diskriminalisasi hanya karena mereka mempunyai tubuh
perempuan.
Tags
Psikologi