Karakteristik Fisiologis Perempuan
Terdapat perbedaan bersifat internal dan substansial yang jelas
antara perempuan dan laki-laki ditinjau dari segi fisik, seperti dalam
pertumbuhan tinggi badan, payudara, rambut, organ genitalia internal dan
eksternal, serta jenis hormonal yang mempengaruhi variasi ciri-ciri fisik dan
biologisnya.
Hormon memegang peranan penting dalam perkembangan genitalia
perempuan dan laki-laki, termasuk mempengaruhi organisasi otak dan kelenjar
pituitari yang mengendalikan sekresi hormon gonad pada masa pubertas.
Keberadaan hormon androgen yang memiliki karakteristik berbeda
dengan hormon lainnya telah menarik perhatian para ahli untuk melakukan
penelitian eksperimen pada hewan dan pada manusia yang mengalami anomali
genetik atau hormonal selama masa pranatal.
Menurut penelitian Parson (1980), janin hewan selama pranatal yang
diberi hormon androgen memperlihatkan kegiatan bermain yang kasar, agresif, dan
aktivitas yang tinggi, baik pada hewan jantan maupun betina.
Kasus anomali genetik yang lain dikenal dengan sindrom Turner. Pada
kasus ini, umumnya memiliki kromosom tunggal (XO), memiliki organ kelamin
eksternal perempuan, seperti vagina dan payudara, tetapi tidak memiliki indung
telur, sehingga mereka yang mengalami sindrom Turner adalah perempuan yang
mandul yang biasanya tidak dapat melahirkan keturunan. Ada beberapa bukti para perempuan yang
mengalami sindrom Turner ini menampakkan sifat peminin, sangat pemalu, serta
memiliki kemampuan dalam bidang spasial dan matematika yang lebih rendah.
Kerusakan kelenjar adrenal selama masa pranatal atau ibu yang
mengonsumsi suplemen hormon laki-laki ketika hamil, dan jika pengaruhnya cukup
besar anak akan terlahir dengan genitalia ambigu. Contohnya kasus anak waktu
kecil berkelamin perempuan, tetapi setelah puber ditemukan ada perubahan
kelamin menjadi laki-laki.
Perempuan secara fisik tampak khas dan berbeda dengan laki-laki.
Fisik perempuan umumnya lebih lemah, tetapi sejak bayi hingga dewasa, perempuan
memiliki ketahanan tubuh yang lebih kuat dan cenderung memiliki umur yang lebih
panjang daripada laki-laki.
Ciri fisik bahwa perempuan mengalami haid, dapat hamil, dan
menyusui dengan Air Susu Ibu (ASI); bukanlah tugas perempuan, melainkan potensi
yang dimiliki oleh sejumlah perempuan
Para ahli terus mencari tahu dan mencari bukti-bukti seberapa besar
disposisi fisiologis dan biologis berpengaruh terhadap perbedaan gender dalam
kepribadian feminin dan maskulin. Menurut pandangan para ahli kontemporer yang
telah melakukan penelitian terhadap psikologi perempuan diketahui bahwa
perbedaan kepribadian perempuan dan laki-laki banyak dipengaruhi oleh
ekspektasi dan sosialisasi dari orang tua daripada oleh faktor biologis. Faktor
fisiologis dan biologis hanya mempersiapkan berlangsungnya tahapan-tahapan
penting yang mempengaruhi kepribadian. Faktor biologis bukanlah penyebab semua
perbedaan gender seseorang. Citra fisik tidak meniscayakan citra non fisik
antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, kita wajib menyingkirkan citra
bias gender yang hanya didasarkan pada perbedaan biologis semata yang
simplistik. Hendaknya manusia menerima perbedaan fisik tanpa pembedaan
perlakuan. Itulah cita-cita perempuan dalam pencitraan terhadap sosoknya.
Bias dalam Psikologi Perempuan
Pada umumnya perempuan dicitrakan atau mencitrakan dirinya sendiri
sebagai makhluk yang emosional, mudah menyerah (submisif), pasif, subjektif,
lemah dalam matematika, mudah terpengaruh, lemah fisik, dorongan seksnya
rendah. Sementara laki-laki dicitrakan dan mencitrakan dirinya sebagai makhluk
yang rasional, logis, mandiri, agresif, kompetitif, objektif, senang berpetualang,
aktif, memiliki fisik dan dorongan seks yang kuat.
Perempuan yang mengalami perubahan siklus hormon ketika mengalami
haid, lazim dipersepsikan memiliki kepribadian yang tidak stabil, mood yang
berubah. Ketidakstabilan hormonal yang mempengaruhi mood dan emosional
perempuan menjadi sebuah stereotip yang dikembangkan di masyarakat hingga saat
ini perempuan lemah dan tidak stabil, sehingga membatasi ruang gerak perempuan
untuk terlibat dalam pelbagai bidang: politik, ekonomi, kemiliteran, maupun
eksplorasi ruang angkasa.
Akibat citra fisik yang dimiliki, perempuan dicitrakan sebagai
makhluk yang tidak sempurna (the second class), makhluk yang tidak
penting (subordinate), sehingga selalu dipinggirkan (maginalization),
dieksploitasi, dan mereka diposisikan hanya mengurusi masalah domestik dan
rumah tangga (domestication/ housewivezation), seperti masalah dapur,
kasur dan sumur, meski dalam mengurusi masalah domestik sekalipun, kaum
perempuan tetap tidak memiliki kedaulatan penuh karena dikendalikan oleh kaum
laki-laki, sehingga seringkali menghadapi tindakan kekerasan secara fisik,
seksual, ekonomi, dan pelecehan.
Feminitas dan maskulinitas seringkali dipandang sebagai citra yang
bersifat internal dan menetap, padahal sebenarnya merupakan produk budaya yang
dinamis dan berkembang. Oleh karena dicitrakan oleh lingkungan dan budaya yang
dinamis dan berkembang. Terdapat beberapa bias dalam psikologi perempuan dapat
dikemukakan.
Pertama, psikologis perempuan dipandang dependen, berwatak
mengasuh, dan merawat. Pandangan tersebut mengandung bias karena sulit
dibuktikan kebenarannya, sebab dalam realitas kehidupan cukup banyak laki-laki
yang berwatak pengasuh, dan cukup banyak perempuan yang mandiri.
Kedua, psikologis perempuan selalu mengalah, menyetujui,
menyesuaikan diri, dan menyenangkan orang lain. Perempuan dipandang sebagai
makhluk lemah dan laki-laki dipandang agresif.
Dengan demikian perempuan yang dicitrakan lemah dan pasif,
sedangkan laki-laki aktif dan agresif merupakan citra bias gender, karena
dikonstruksi oleh lingkungan dan budaya masyarakat (nurture), bukan
merupakan citra yang terberi (given) dari kodrat (nature).
Ketiga, psikologis perempuan itu emosional dan mudah menangis. Ada
laporan bahwa perempuan lebih mudah menangis ketika masa menstruasi. Para ahli
menjelaskan, mungkin saja sistem hormonal berpengaruh terhadap perbedaan
mengekspresikan emosi perempuan dengan menangis. Perbedaan tersebut
mencerminkan perbedaan dalam ekspresi eksternal emosi, bukan perbedaan level
emosi antara perempuan dan laki-laki.
Keempat, psikologis perempuan yang penakut dan sensitif. Perempuan
lebih baik dalam menginterpretasikan emosi yang ditampilkan seseorang di foto
dan lebih baik dalam mengekspresikan emosi, sehingga mereka sendiri dapat
diintepretasikan oleh orang lain dengan mudah. Temuan ini menunjukkan perempuan
lebih peka terhadap emosinya sendiri maupun emosi orang lain.
Kelima, psikologis perempuan yang lemah dan tidak berprestasi.
Minimnya jumlah perempuan yang ahli di bidang sains, politik, dan ekonomi
dipandang citra perempuan yang lemah disebabkan ketidakmampuannya dalam
mengejar prestasi seperti yang dicapai laki-laki. Padahal menurut Maccoby &
Jacklin (1974), perempuan tidak berprestasi disebabkan ada rasa ketakutan akan
sukses (fear of succes) bukan tidak mampu berprestasi. Pendapat tersebut
diperkuat oleh studi Maslow yang menemukan, perempuan yang memiliki keyakinan
kuat bahwa dirinya berharga, cenderung memiliki sifat mandiri, asertif, dan
sukses.
Keenam, psikologis perempuan yang mudah terpengaruh dan mudah
dibujuk untuk mengubah keyakinannya. Menurut Maccoby & Jacklin (1974),
perempuan lebih bersedia menyesuaikan diri daripada laki-laki berdasarkan
pertimbangan konsekuensi yang diasumsikannya.
Ketujuh, psikologis perempuan lebih sensitif terhadap perilaku non
verbal. Berdasarkan observasi, perempuan memiliki kemampuan dalam
mengekspresikan dan memahami pesan-pesan non verbal. Perempuan lebih mampu
memahami perangai wajah atau gerak orang lain dan lebih mampu mengekspresikan
pesan-pesan nonverbal secara tepat, khususnya ekspresi wajah, seperti tatapan
mata, senyuman, tarikan garis alis, tarikan bibir, kerutan kening, maupun
pandangan yang kosong, bersahabat, gembira, sedih, kaget, benci, atau marah
kepada orang lain. Menurut Hall & Hallberstadt (1986), perempuan lebih
banyak tersenyum dan melakukan tatapan mata dibanding laki-laki.
Kedelapan, psikologis perempuan lebih ekspresif. Perempuan lebih
lekat dan mampu melakukan relasi interpersonal daripada laki-laki.
Pandangan bias terhadap perempuan dan laki-laki sering dikaitkan
dengan kepatutan peran yang dimainkan oleh kedua makhluk tersebut. Pekerjaan
perempuan pantas sebagai perawat, sekretaris, guru TK, bendahara, mengurusi
konsumsi yang cenderung memanifestasikan terjadi hubungan keakraban dan kasih
sayang, sedangkan pekerjaan laki-laki pantas untuk melakukan perburuan, pencari
nafkah utama, atau manajer yang cenderung menuntut kualitas bebas, mandiri dan
percaya diri. Peran-peran tersebut dinormalkan sesuai dengan ekspektasi
masyarakat. Ekspektasi ini mengakibatkan perempuan maupun laki-laki
menyesuaikan diri dengan berbagai pembatasan peran gender. Peran gender juga
berkaitan dengan keyakinan dan sikap mengenai berbagai kemampuan aktivitas,
aspirasi dari setiap individu yang ikut mewarnai tampilan peran. Pengaruh dari
peran gender yang dilekatkan oleh masyarakat pada perempuan maupun laki-laki,
mengakibatkan timbulnya citra spesifik yang dianggap menetap pada masing-masing
jenis kelamin.
Tags
Psikologi