OLEH : Dr. H Arifin Shidiq M. Pd.I (dekan FITK UNSIQ)
Bedasarkan data statistiktentang
pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2010, menyebutkan bahwa “jumlah usia anak,
remaja dan menjelang dewasa hanya 25% dari total penduduk Indonesia”, tetapi
saya meyakini bahwa jumlah 25% tersebut 99% bagian yang sangat enentukan
bangsa.
Ungkapan tersebut menunjukan
bahwa besarnya pebgaruh generasi muda terhadap maju-mundurnya seuah bangsa.
Untuk itu kualitas generasi bangsa sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah
bangsa. Manakala generasi mudanya “bobrok”, maka “bobrok” pula bangsa tesebut.
Manakala generasi mudanya “latah”, maka “latah” pula bangsa tersebut.
Sebaliknya manakala generasi mudanya jujur, tekun, sopan, cinta damai, kerja
keras dan tanggungjawab, maka dipastikan akan baik pula bangsa tersebut. Ada
ungkapa Sayidina Ali Karomallahu Wajhah “Subbanu alyaumi rijal alghaddi, pemuda
hari ini adalh pemimipin masa depan.
Tokoh pendidikan dari Cartland
Unversity, yaitu Prof. Thomas Lockona mengungkapkan bahwa ada “tanda-tanda
zaman” yang harus diwaspadai karna konon kalau tanda-tanda itu sudah ada atau
muncul pada sebuah bangsa, maka akan tiba kehancuran bangsa tersebut.
Tanda-tanda yang dikemukakan oleh Prof. Thoas Lockona antara lain
1. Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja
2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk
3. Pengaruh peer-goup yang kuat dalam tindakan kekerasan
4. Meningkatnya perilaku yang erusak diri, seperti narkoba. Free seks dan alkohol
5. Semakin kaburnya moral baik dan buruk
6. Penurunan tos kerja
7. Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
8. Rendahnya tangungjawab individu dan warga negara
9. Ketidakjujuran yang begitu membudaya
10. Rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama
Maraknya kenakalan, tawuran dan
kriminalitas yang dilakukan leh remaja akhir-akhit ini bisa jadi merupakan
“tanda-tanda zaman” seperti yang dikemukakan oleh Prof. Thomas Lockona. Mulai
dari penyalahgunaan narkoba (drug’s) pergaulan bebas, tawyran abtar peajar dan
mahasiswa, dst merupakan bagian contoh kecil yang masuk dalam indikator
“tanda-anda zaman” itu. Jika benar adanya demikian, rela0kah kita bila bangsa
ini menuju jurang kehancuran. Penulis yakin kita semua tidak ada yang mau
bangsa-nya hancur, kecuali mereka ang telah mati hatinya.
Pada dasarnya seluruh manusia itu
dilahirkan dalam keadan fitrah (suci, membawa potensi bawaan yang positif).
Tidak ada manusia yang lahir dipersiapkan mejadi teroris. Perampok, preman,
pembunuh, koruptor, atau penjahat-penjahat lainya. Begtu pula dengan generasi
muda bangsa, baik atau buruknya akhlak mereka sangat tergantug pada bagaimana
didididk dan di besarkan dalam lingkunganya. Baik itu lingkungan keluarga,
sekolah, komunitas, hingga lingkungan sosial masyarakat.
Penulis melihat terjadinya
dekadensi moral pada generasi muda saat ini adalah merupakan cerminan moral
dari para generasi tua-nya, tentu disamping dari efek globalisasi yang tidak
bisa dipungkiri. Mengapa cerminan dari generasi tua? Sebab berdasar teori
sosiologi setia generasi muda akan meniru (bercermin) dari apa yang dilakukan
oleh generasi tua-nya. Manakala moral generasi tua-nya rusak, maka rusak pula
moral generasi muda-nya seperti yang terjadi sekarang ini. Maka itu sebelum
menyalahkan generasi muda, menurut hemat penulis lebih bijak bila para generasi
tua pun mau intropeksi diri.
Penulis melihat selam ini kita
hanya sibuk menyalahkan generasi muda
yang mulai “bobrok” moralnya,tanpa mlihat dan menghayati faktor-faktor yang
menyebabkanya secara lebih bijak.
Sebenarnya jika kita mau melihat lebih bijak, krisis moral yang meanda generasi
muda kita saat ini, tidak bisa dilepaskan dari krisis “ketauladanan” di negeri
ini. Penuis melihat Indonesia sekarang ini benar-benar sedang mengalami krisis
“katauladanan” yang bisa jadi inilah hulu dari aliran deras krisis multidimensi
yang melanda bangsa akhir-akhir ini.
Tidak bia dipungkiri kini
Indonesia khususnya dalam bahasan ini para generasi muda sedang merindukan akan
hadirnya sosok atau seorang tokoh manusia yang mampu menjadi suri tauladan yang
baik bagi mereka. Selama ini memang kita punya banyak okoh-tokoh bangsa yang
besar pengaruhnya terhadap generasi muda, seperti Soekarno, Bunga Hatta, Ki
Hajr Dewantoro, Gus Dur, dst. Namun kini tokoh-tokoh kharismatik ini elah
pergi. Dan sekarang penulis melihat generasi muda Indonesia butuh seorang tokoh
bangsa yang kharismatik di zaman globalisasi ini.
Penulis melihat akibat dari
“krisi ketsuladanan” selama ini, membuat para generasi muda banyak yang merasa
bingung terombang-ambing oleh zaman. Akhirnya, mereka pun mencontoh para
tokoh-tokoh idola, mulai dari artis, pemain sepak bola, pemain bintang film,
tokoh-tokoh superr hero, para penyaynyi, anak band, dan tokoh-tokoh lain yang
mereka kagumi. Memang bagus jika yang dicontoh hal-hal yang positif ari idola
mereka itu, seperti kesuksesan dan keberhasilanya. Namun ironosnya banyak
generasi muda yang meniru penuh hingga mengedentikan diri mereka atas segala
hal yang ada dan dilakukan oleh idolanya itu. Mulai dari gaya berpakainan, gaya
berjalan, gaya bicara dst, lebih ironis lagi yang ditiru adalah hal-hal
sifatnya individualis, hidonis dan konsumeris. Yang dikhawatirkan banyak
kalangan adalah manakla mereka mengidolakan hal yang tidak baik, ini tentu akan
membuat generasi uda tdak baik pula.
Rekomendasi atau solusi
Pada ahirnya krisi moral atau
dekadensi moral generasi muda Indonesia merupakan tanggungjawab kita bersama.
Tidak perlu saling melempar kesalahan, atau bahkan mengvonis seorang. Yang
dibutuhkan saat ini yaitu solusi yang bijak. Solusi bijak yang dibutuhkan
generasi muda Idonesia saat ini, menurut hemat pnulis yaitu “
kersuritauladanan” yang baik dari generasi orang tua serta pemimpin bangs.
Seperti kata pepatah “Guru kencig berdiri, murid kencing berlari”. Maka dari
itu perlu adanya kesadaran dari seluruh komponen dan elemen bangsa untuk
mewujudkan sebuah kultur yang menekankan slah satu-nya pada “kesuritauladanan”
yang baik.
Kesuritauladanan yang baik pada
generasi muda sangat urgen, dan harus segera dibudayakan kembali dalam
masyarakat kita. Mulai dari keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama,tokoh artis
(dunia hiburan), dunia pendidikan, hingga pemimpin bangsa harus aktif andil
bagian dalam hal ini. Jangan ada lagi miss komunikasi dan jurang pemisah antara
generasi muda dan generasi tua seperti yang terjadi sekarang ini. Dan analisa
penulis, nampaknya ada komunikasi yang putus antara generasi muda dan generasi
tua. Penulis merasa ada hubungan yang kurang harmonis diantara keduanya.
Mungkin ini karena masih adanya ego yang besar diantara “kubu muda dan kubu
tua”
Kini kebanyakan generasi muda
enggan bergal dan “srawung” atau belajar dari generasi tua, karena beranggapan
bahwa generasi ua kurang “GAUL”, ribet, cenderung bertele-tele. Dsb. Sedangkan
generasi ta pun sekarang agaknya kurang peduli terhadap tuntutan generasi muda.
Generasi tua justru hanya mengvonis generasi muda, yang sering menimbulkan
masalah sosiak selama ini. Meruntut akar permasalahanya, sebenarnya ini
menunjukan adaya eg o di kedua belah pihak hingga tidak adanya komunikasi
antara mereka. Maka dari itu perlu digalkkan kembali komunikasi yang intens
antara generasi muda dan generasi tua.
Harus diakui generasi muda masih
butuh banyak pembelajaran dari generasi tua pendahulu. Untuk itu generasi tua
sebagai yang lebih berpengalaman harus aktif membimbing, mengarahkan, serta
memberikan pengayaoman kepada generasi muda dan tidak hanya memberikan vonis
ataupun sumpah serapah. Begitu pun geerasi muda jangan mudah menerima budaya
dan informasi yang merusak dan mengombang-ambingkan tingkah dan pola yang
serapah.
Tags
Artikel