Sumber :
baladjokowi.id
Sanad
keilmuan Kiai Ma’ruf bersambung dengan jalur para ulama Nusantara yang
mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Pertama-tama, Ma’ruf belajar kepada ayahnya,
Kiai Muhammad Amin, yang terkenal sebagai ahli fiqih. Kiai Amin belajar di
Makkah selama 15 tahun, antara lain mengambil sanad keilmuan dari Sayyid Alawi Al-Maliki
di Makkah. Kiai Amin menjadi guru banyak kiai di seputar Banten, mengajarkan kitab
Al-Mahalli, Tuhfah, Al-Muhadz-dzab, dan
lain-lain.
Lalu Ma’ruf
belajar kepada kakeknya dari Ibu, Kiai Muhammad Ramli, yang mengambil sanad
keilmuannya di Makkah, antara lain, dari Syekh Mahfuzh At-Tarmasi, ulama asal
Tremas Pacitan yang menjadi guru para ulama NU. Kiai Ramli memberinya ijazah
doa-doa yang diamalkan Ma’ruf sampai sekarang.
Lalu ia
belajar sebentar di Perguruan Islam Citangkil, Cilegon, sebelum melanjutkan penjelajahan
ilmunya ke Tebuireng, Jombang. Sepulang dari Tebuireng, Ma’ruf yang masih haus
ilmu. Ia belajar secara tabarrukan di tiga pesantren, yaitu di Caringin (Labuan
Pandeglang), Petir (Serang), dan Pelamunan (Serang).
Setelah
bermukim di Jakarta, ia melanjutkan pencarian ilmunya kepada Kiai Ahmad Mi’an
dan Kiai Usman Perak di Masjid Al-Fudlola, sebuah masjid yang bersejarah di Tanjung
Priok. Ia juga mengambil sanad keilmuan dari Habib Ali bin Husein Al-Attas yang
dikenal sebagai Habib Ali Bungur.
Dengan
kajian berbagai kitab yang komprehensif itu, Ma’ruf memiliki bekal yang matang dalam
mengembangkan dirinya sebagai ulama. Perkembangan keilmuannya bahkan diakui
oleh ayahnya sendiri.
“Kalau ada
ajaran bahwa seorang ayah boleh sungkem pada anaknya, maka saya akan menjadi orang
pertama yang akan sungkem pada Ma’ruf,” ujar Kiai Amin.
Sumber : Lip
Yahya - KH Ma’ruf Amin - Santri Kelana Ulama Paripurna. Editor: Sukron Hadi - Sarah
Santi
Tags
KH. Ma'ruf Amin