Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ERICH FROMM, MANUSIA KESEPIAN, ADA DUALISME : INSTING KEBINATANGAN & KEMANUSIAAN

Sumber : exploringyourmind (dot) com

BAB I
PENDAHULUAN

 A.    LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk yang kompleks, kekompleksitasan manusia itu tiada taranya di muka bumi ini. Manusia lebih rumit dari makhluk apapun yang bisa dijumpai dan jauh lebih rumit dari mesin apapun yang bisa dibuat. Manusia juga sulit dipahami karena keunikannya. Dengan keunikannya, manusia adalah makhluk tersendiri dan berbeda dengan makhluk apapun. Juga dengan sesamanya. Tetapi, bagaimanapun sulitnya atau apapun hambatannya, manusia ternyata tidak pernah berhenti berusaha menemukan jawaban yang dicarinya itu. Dan barang kali sudah menjadi ciri atau sifat manusia juga untuk selalu mencari tahu dan tidak pernah puas dengan pengetahuan-pengetahuan yang diperolehnya, termasuk pengetahuan tentang dirinya sendiri dan sesamanya.
Sekian banyak upaya yang telah diarahkan untuk  memahami manusia. Tetapi tidak semua upaya tersebut membawa hasil, namun upaya pemahaman  tentang manusia tetap memiliki arti penting dan tetap harus dilaksanakan. Bisa dikatakan bahwa kualitas hidup manusia, tergantung kepada peningkatan pemahaman kita tentang manusia. Dan psikologi, baik secara terpisah maupun sama-sama dengan ilmu-ilmu lain, sangat berperan  secara mendalam dalam penganganan masalah kemanusiaan ini.


B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaiman sejarah singkat Erich Fromm?
2.      Bagaimana Teori kepribadian menurut Erich Fromm?
3.      Bagaimana Kondisi Eksistensi Manusia?




BAB II
PEMBAHASAN

A.       Sejarah singkat Erich Fromm
Erich Fromm lahir di Frankfurt, Jerman pada tanggal 23 Maret 1900. Ia belajar psikologi dan sosiologi di University Heidelberg, Frankfurt, dan Munich. Setelah memperoleh gelar Ph.D dari Heidelberg tahun 1922, ia belajar psikoanalisis di Munich dan pada Institut psikoanalisis Berlin yang terkenal waktu itu. Tahun 1933 ia pindah ke Amerika Serikat dan mengajar di Institut psikoanalisis Chicago dan melakukan praktik privat di New York City. Ia pernah mengajar pada sejumlah universitas dan institut di negara ini dan di Meksiko. Terakhir, Fromm tinggal di Swiss dan meninggal di Muralto, Swiss pada tanggal 18 Maret 1980.
Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, terutama oleh karyanya yang pertama, The economic philosophical manuscripts yang ditulis pada tahun 1944. Tema dasar ulisan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi karena ia dipisahkan dri alam dan orang-orang lain. Kedaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia.[1]


B.       Teori Kepribadian Erich Fromm
Sebelum mengulas tentang teori kepribadian dari Fromm, beberapa pengalaman mempengaruhi pandangan Fromm, antara lain pada umur 12 tahun ia menyaksikan seorang wanita cantik dan berbakat, sahabat keluarganya, bunuh diri. Fromm sangat terguncang karena kejadian itu. Tidak ada seorang yang memahami mengapa wanita tersebut memilih bunuh diri. Ia juga mengalami sebagai anak dari orangtua yang neurotis. Ia hidup dalam satu rumah tangga yang penuh ketegangan. Ayahnya seringkali murung, cemas, dan muram. Ibunya mudah menderita depresi hebat. Tampak bahwa Fromm tidak dikelilingi pribadi-pribadi yang sehat. Karena itu, masa kanak-kanaknya merupakan suatu laboratorium yang hidup bagi observasi terhadap tingkah laku neurotis. Peristiwa ketiga adalah pada umur 14 tahun Fromm melihat irrasionalitas melanda tanah airnya, Jerman, tepatnya ketika pecah perang dunia pertama. Dia menyaksikan bahwa orang Jerman terperosok ke dalam suatu fanatisme sempit dan histeris dan tergila-gila. Teman-teman dan kenalan-kenalannya terpengaruh. Seorang guru yang sangat ia kagumi menjadi seorang fanatik yang haus darah. Banyak saudara dan teman-temannya yang meninggal di parit-parit perlindungan. Ia heran mengapa orang yang baik dan bijaksana tiba-tiba menjadi gila. Dari pengalaman-pengalaman yang membingungkan ini, Fromm mengembangkan keinginan untuk memahami kodrat dan sumber tingkah laku irasional. Dia menduga hal itu adalah pengaruh dari kekuatan sosio-ekonomis, politis, dan historis secara besar-besaran yang mempengaruhi kodrat kepribadian manusia.
Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan Karl Marx, terutama oleh karyanya yang pertama, The Economic and Philosophical Manuscripts yang ditulis pada tahun 1944. Fromm membandingkan ide-ide Freud dan Marx, menyelidiki kontradiksi-kontradiksinya dan melakukan percobaan yang sintesis. Fromm memandang Marx sebagai pemikir yang lebih ulung daripada Freud dan menggunakan psikoanalisa, terutama untuk mengisi celah-celah pemikiran Marx. Pada tahun 1959, Fromm menulis analisis yang sangat kritis bahkan polemis tentang kepribadian Freud dan pengaruhnya, sebaliknya berbeda sekali dengan kata-kata pujian yang diberikan kepada Marx pada tahun 1961. Meskipun Fromm dapat disebut sebagai seorang teoritikus kepribadian Marxian, ia sendiri lebih suka disebut humanis dialetik. Tulisan-tulisan Fromm dipengaruhi oleh pengetahuannya yang luas tentang sejarah, sosiologi, kesusastraan, dan filsafat.
Tema dasar dari dasar semua tulisan Fromm adalah individu yang merasa kesepian dan terisolir karena ia dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Dalam bukunya Escape from Freedom (1941), ia mengembangkan tesis bahwa manusia menjadi semakin bebas dari abad ke abad, maka mereka juga makin merasa kesepian (being lonely). Jadi, kebebasan menjadi keadaan yang negatif dari mana manusia melarikan diri. Dan jawaban dari kebebasan yang pertama adalah semangat cinta dan kerjasama yang menghasilkan manusia yang mengembangkan masyarakat yang lebih baik, yang kedua adalah manusia merasa aman dengan tunduk pada penguasa yang kemudian dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Dalam buku-buku Fromm berikutnya (1947, 1955, 1964), dikatakan bahwa setiap masyarakat yang telah diciptakan manusia, entah itu berupa feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, dan komunisme, semuanya menunjukkan usaha manusia untuk memecahkan kontradiksi dasar manusia. Kontradiksi yang dimaksud adalah seorang pribadi merupakan bagian tetapi sekaligus terpisah dari alam, merupakan binatang sekaligus manusia. Sebagai binatang, orang memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik tertentu yang harus dipuaskan. Sebagai manusia, orang memiliki kesadaran diri, pikiran dan daya khayal. Pengalaman-pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, perasaan kasihan, sikap-sikap perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, bisa terluka, transendensi, dan kebebasan, nilai-nilai serta norma-norma.[2]
Fromm membagi sistem struktur masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter sosialnya:
1. Masyarakat-masyarakat pecinta kehidupan. Karakter sosial masyarakat ini penuh cita-cita, menjaga kelangsungan dan perkembangan kehidupan dalam segala bentuknya. Dalam sistem masyarakat seperti ini, kedestruktifan dan kekejaman sangat jarang terjadi, tidak didapati hukuman fisik yang merusak. Upaya kerja sama dalam struktur sosial masyarakat seperti ini banyak dijumpai.
2. Masyarakat non-destruktif-agresif. Masyarakat ini memiliki unsur dasar tidak destruktif, meski bukan hal yang utama, masyarakat ini memandang keagresipan dan kedestruktifan adalah hal biasa. Persaingan, hierarki merupakan hal yang lazim ditemui. Masyarakat ini tidak memiliki kelemah-lembutan, dan saling percaya.
3. Masyarakat destruktif. Karakter sosialnya adalah destruktif, agresif, kebrutalan, dendam, pengkhianatan dan penuh dengan permusuhan. Biasanya pada masyarakat seperti ini sangat sering terhadi persaingan, mengutamakan kekayaan, yang jika bukan dalam bentuk materi berupa mengunggulkan simbol.
Fromm juga menyebutkan dan menjelaskan lima tipe karakter sosial yang ditemukan dalam masyarakat dewasa ini, yakni:

1.      Tipe Reseptif (mengharapkan dukungan dari pihak luar)
2.      Tipe Eksploitasi (memaksa orang lain untuk mengikuti keinginannya)
3.      Tipe Penimbunan (suka mengumpulkan dan menimbun barang suatu materi)
4.      Tipe Pemasaran (suka menawarkan dan menjual barang)
5.      Tipe Produktif (karakter yang kreatif dan selalu berusaha untuk menggunakan barang-barang untuk suatu kemajuan)
Persoalan hubungan seseorang dengan masyarakat merupakan keprihatinan besar Fromm. Menurut Fromm ada validitas proposisi-proposisi berikut:
1.        Manusia mempunyai kodrat esensial bawaan,
2.        Masyarakat diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kodrat esensial ini,
3.        Tidak satu pun bentuk masyarakat yang pernah diciptakan berhasil memenuhi   kebutuhan-kebutuhan dasar eksistensi manusia, dan
4.        Eksistensi manusia adalah mungkin menciptakan masyarakat semacam itu.
Kemudian Fromm mengemukakan tentang masyarakat yang seharusnya yaitu dimana manusia berhubungan satu sama lain dengan penuh cinta, dimana ia berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan solidaritas, suatu masyarakat yang memberinya kemungkinan untuk mengatasi kodratnya dengan menciptakannya bukan dengan membinasakannya, dimana setiap orang mencapai pengertian tentang diri dengan mengalami dirinya sebagai subjek dari kemampuan-kemampuannya bukan dengan konformitas, dimana terdapat suatu sistem orientasi dan devosi tanpa orang perlu mengubah kenyataan dan memuja berhala. Bahkan Fromm mebgusulkan suatu nama untuk masyarakat yang sempurna tersebut yaitu Sosialisme Komunitarian Humanistik. Dalam masyarakat semacam itu, setiap orang akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi manusiawi sepenuhnya. [3]



C.           Kondisi Eksistensi Manusia
1.    Dilema Eksistensi
Mengikuti filsafat dualism, semua gerak di dunia dilatarbelakangi oleh pertentangan dua kelompok ekstrim, tesa dan antitesa. Pertentangan itu akan menimbulkan sintesa, yang pada dasarnya dapat dipandang sebagai teas baru yang akan memunculkan antitesa yang lain. Itulah dinamika yang tidak pernah berhenti bergerak.
Menurut Fromm, hakekat manusia juga bersifat dualistik. Paling tidak ada empat dualistik di dalam diri manusia:
a.       Manusia sebagai binatang dan sebagai manusia
Manusia sebagai binatang memiliki banyak kebutuhan fisiologik yang harus   dipuaskan, seperti kebutuhan makan, minum, dan kebutuhan seksual. Manusia sebagai manusia memiliki kebutuhan kesadaran diri, berfikir, dan berimajinasi. Kebutuhan manusia itu terwujud dalam pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, sedih, transendensi, kebebasan, nilai, dan norma.
b.      Hidup dan mati
Kesadaran diri dan fikiran manusia telah mengetahui bahwa dia akan mati, tetapi manusia berusaha mengingkarinya dengan meyakini adanya kehidupan sesudah mati, dan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan fakta bahwa kehidupan akan berakhir dengan kematian.
c.       Ketidaksempurnaan dan kesempurnaan
Manusia mampu mengkonsepkan realisasi-diri yang sempurna, tetapi karena hidup itu pendek kesempurnaan tidak dapat dicapai. Ada orang berusaha memecahkan dikotomi ini melalui mengisi rentang sejarah hidupnya dengan prestasi di bidang kemanusiaan, dan ada pula yang meyakini dalil kelanjutan perkembangannya sesudah mati.
d.      Kesendirian dan kebersamaan
Manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang terpisah, dan pada saat yang sama juga menyadari kalau kebahagiaannya tergantung kepada kebersamaan dengan orang lain. Dilema ini tidak pernah terselesaikan, namun orang harus berusaha menjembatani dualism ini, agar tidak menjadi gila. Dualisme-dualisme itu, aspek binatang dan manusia, kehidupan dan kematian, ketidaksempurnaan dan kesempurnaan, kesendirian dan kebersamaan, merupakan kondisi dasar eksistensi manusia. Pemahaman tentang jiwa manusia harus berdasarkan analisis tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi-kondisi eksistensi manusia.
Kondisi yang dibawa dari lahir antara tesa-antitesa eksistensi manusia, disebut dilema eksistensi. Di satu sisi manusia berjuang untuk bebas, menguasai lingkungan dengan hakekat kemanusiaannya, di sisi lain kebebasan itu memperbudak manusia dengan memisahkan hakekat kebinatangan dari akar-akar alaminya. Dinamika kehidupan bergerak tanpa henti seolah-olah manusia bakal hidup abadi, setiap orang tanpa sadar mengingkari kematian yang baka dan berusaha bertahan di dunia yang fana. Mereka menciptakan cita-cita ideal yang tidak pernah dapat dicapai, mengejar kesempurnaan sebagai kompensasi perasaan ketidaksempurnaan. Anak yang berjuang untuk memperoleh otonomi diri mungkin menjadi dalam kesendirian yang membuatnya merasa tidak berdaya dan kesepian; masyarakat yang berjuang untuk merdeka mungkin merasa lebih terancam oleh isolasi dari bangsa lain. Dengan kata lain, kemandirian dan kebebasan yang diinginkan malahan menjadi beban. Ada dua cara menghindari dilema eksistensi yaitu:
1. Menerima otoritas dari luar dan tunduk kepada penguasa dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Manusia menjadi budak (dari penguasa negara) untuk mendapatkan perlindungan/rasa aman.
2. Orang bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja sama, menciptakan ikatan dan tanggung jawab bersama dari masyarakat yang lebih baik.
e.       Kebutuhan manusia
Umumnya kata “kebutuhan” diartikan sebagai kebutuhan fisik, yang oleh Fromm dipandang sebagai kebutuhan aspek kebinatangan dari manusia, yakni kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas dari rasa sakit. Kebutuhan manusia dalam arti kebutuhan sesuai dengan eksistensinya sebagai manusia, menurut Fromm meliputi dua kelompok kebutuhan; pertama kebutuhan untuk menjadi bagian dari sesuatu dan menjadi otonom, yang terdiri dari kebutuhan Relatedness, Rootedness, Transcendence, Unity, dan Identity. Kedua, kebutuhan memahami dunia, mempunyai tujuan dan memanfaatkan sifat unik manusia, yang terdiri dari kebutuhan Frame of orientation, frame of devotion, Excitation-stimulation, dan Effectiveness.[4]
          
f.       Mekanisme Melarikan Diri Dari Kebebasan
Masyarakat kapitalis kontemporer menempatkan orang sebagai korban dari pekerjaan mereka sendiri. Konflik antara kecenderungan mandiri dengan ketidakberjayaan dapat merusak kesehatan mental. Menurut Fromm, ciri orang normal atau yang mentalnya sehat adalah orang yang mampu bekerja produktif sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya, sekaligus mampu berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang penuh cinta. Menurut Fromm, normalitas adalah keadaan optimal dari pertumbuhan (kemandirian) dan kebahagiaan (kebersamaan) dari individu. Pada dasarnya ada dua cara untuk memperoleh makna dan kebersamaan dalam kehidupan diantaranya:
1. Mencapai kebebasan positif yakni berusaha menyatu dengan orang lain, tanpa mengorbankan kebebasan dan integritas pribadi. Ini adalah pendekatan optimistik dan altruistik, yang menghubungkan diri dengan orang lain melalui kerja dan cinta, melalui ekspresi perasaan dan kemampuan intelektual yang tulus dan terbuka. Oleh Fromm disebut pendekatan humanistik, yang membuat orang tidak merasa kesepian dan tertekan, karena semua menjadi saudara dari yang lain.
2. Memperoleh rasa aman dengan meninggalkan kebebasan dan menyerahkan bulat-bulat individualitas dan intehritas diri kepada sesuatu (bisa orang atau lembaga) yang dapat memberi rasa aman. Solusi semacam ini dapat menghilangkan kecemasan karena kesendirian dan ketidakberdayaan, namun menjadi negatif karena tidak mengizinkan orang mengekspresikan diri, dan mengembangkan diri. Cara memperoleh rasa aman dengan berlindung di bawah kekuatan lain disebut Fromm mekanisme pelarian. Mekanisme pelarian sepanjang dipakai sekali waktu, adalah dorongan yang normal pada semua orang, baik individual maupun kolektif. Ada tiga mekanisme pelarian yang terpenting, yakni:
a)    Otoritarianisme (authoritarianism)
Kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian diri dan menggabungkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya, untuk memperoleh kekuatan yang dirasakan tidak dimilikinya. Kebutuhan untuk menggabung dengan partner yang memiliki kekuatan bisa merupakan masokisme dan sadisme. Masokisme merupakan hasil dari perasaan dasar tidak beraya, lemah, inferior yang dibawa, sehingga kekuatan itu tertuju atau menindas dirinya. Masokisme merupakan bentuk tersembunyi dari perjuangan memperoleh cinta dan kesetiaan, tetapi tidak memberi sumbangan positif kekemandirian. Sedangkan sadisme dipakai untuk meredakan kecemasan dasar melalui penyatuan diri dengan orang lain atau institusi. Sadisme juga merupakan bentuk neurotik yang lebih parah dan lebih berbahaya (karena mengacam orang lain) dibanding masokisme.
b)   Perusakan (destruktiveness)
Destruktif berakar pada perasaan kesepian, isolasi, dan tak berdaya. Destruktif mencari kekuatan tidak melalui membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha membalas/merusak kekuatan orang lain, individu, bahkan negara dapat memakai strstegi destruktif , merusak orang atau obyek, dalam rangka memperoleh perasaan kuat yang hilang.
c)    Penyesuaian (conformity)
Bentuk pelarian dari perasaan kesepian dari isolasi berupa penyerahan individualitas dan menjadi apa saja seperti yang diinginkan kekuatan dari luar. Orang menjadi robot, mereaksi sesuatu persis seperti yang direncanakan dan mekanis menuruti kemauan orang lain.[5]

g.      Kebencian dan Otorianisme
Seperti banyak ilmuan sosial, erich fromm berjuang untuk memahami mengapa ada banyak orang jerman yang bersedia menerima totalitarianisme Nazi. Fromm menekankan iklim sosial seperti halnya sejarah pribadi individual sebagai sumber kemarahan dan kebencian. Fromm berteori bahwa individu merasa lebih sendiri dan terisolasi seiring dengan kemajuan peradapan dan seiring dengan meningkatnya kebebasan individual yang diperoleh orang-orang. Dalam rangka meniadakan perasaan kesepian dan alienasi, ia berteori, beberapa orang meninggalkan kebebasannya, melepaskan individualitas dan prinsip-prinsipnya agar dapat menjadi bagian kelompok, berapapun harganya.[6]
Meskipun demikian, sebagai seorang psikonalis, fromm menambahkan pentingnya relasi pada awal kehidupan. Ia menerima berbagai mekanisme yang berlangsung didalam individu yang menyerupai kecenderungan neurotik sebagaiman di definisikan Horney. Orang yang memiliki tipe kepribadian autoritarien sering kali gemar bertindak kejam untuk mendesakkan kekuasaannya terhadap orang lain, menganiyaya mereka, dan merampas milik mereka. Menurut fromm, karakteristik kepribadian ini diakibatkan oleh suatu relasi tertentu yang negatif dengan orang tuanya. Dengan demikian, fromm mengadukan determinan biologis dari kebencian. Ia menerima bahwa kita memiliki sebuah warisan biologis yang menghasilkan kapasitas untuk melakukan kekerasan; dan ia menerima bahwa kanalisasi secara tidak tepat dari dorongan-dorongan ketika kanak-kanak dapat menciptakan berbagai masalah sepanjang hidup, namun ia meletakkan kesalahan terbesar pada kegagalan menemukan makna didalam sebuah masyarakat yang kosong. Dengan demikian ia menggabungkan elemen-elemen dari pandangan eksistensial dan humanistik dalam memandang kebencian.[7]
h.      Pendekatan Humanistik Mengenai Kebencian
Dalam mengkaji kebencian, para psikolog humanistik memiliki suatu sudut pandang yang hampir berlawanan dengan pendekatan biologis. Bertentengan dengan para etologis, para teoris humanistik menekankan berbagai hal yang membedakan manusia dari hewan. Mereka menggaris bawahi pentingnya moralitas, keadilan, komitment, yang melibatkan pemikiran yang kompleks dan kesadaran diri. Kontras dengan para psikoanalis dan neoanalis, para psikolog humanistik lebih banyak berfokus pada individu-individu yang mateng dan mencapai aktualisasi diri dibandingkan berfokus pada individu yang penuh kebencian yang banyak sekali jumlahnya. Meraka lebih melihat aspek-aspek yang mengarah pada sisi positif, daripada apa yang keliru dalam pengasuhan. Meskipun demikian, penjelasan humanistik mengenai kebencian individu dapat diturunkan dari teori-teorinya.
Psikologi humanistik Carl Roger berkeyakinan bahwa emosi negatif berasal dari kurangnya penghargaan positif dari kehidupan individu, khususnya yang diberikan oleh orang tua masa kanak-kanak. Roger berfokus pada kebutuhan individual untuk memperoleh pengghargaan tanpa syarat, penerimaan, cinta dari orang lain, khususnya dari ibu. Orang tua yang mengajukan syarat dalam memberikan penghargaan positif terhadap anaknya (misalnya seorang ibu yang secara dingin menarik cintannya setaip kali anaknya bertindak salah) cenderung akan memiliki anak yang cemas. Ketika tumbuh, anak-anak seperti itu takut merealisaikan potensinnya secara penuh; mereka terancam oleh pengalaman yang menantang konsep dirinya. Seiring dengan meningkatnya perkembangan (inkongruensi) antara persepsi seseorang mengenai dirinya dan pengalaman sebenarnya, maka tendensi untuk mendistorsikan realitas menjadi semakin besar, bahkan mungkin menjadi psikotik. Sebagai contoh, seorang yang berharap menjadi seorang pemimpinyang bersahat, disukai, dan dihormati, namun harus menyengkal atau mendistorsikan reaksi-reaksi negatifnya dari kawan sebaya karena pengalaman itu menumbuhkan rasa takut dan tidak aman, tidak akan menjadi individu yang  percaya diri, berfungsi sepenuhnya, dan bertumbuh.[8] Sebaliknya, orang semacam itu mungkin akan terstagnasi, kejam, dan antisosial meskipun demikian, rogers (1961) demikian optimis, ia percaya bahwa semua orang tidak peduli bagaimanapun juga lingkungannya dapat melepeskan tendensi internal ke arah pertumbuhan yang positif.
Abraham maslow (1968) juga memperlihatkan bahwa berbagai ketakutan dan keraguan kita mengenai diri kita sendiri berakar dari ketidak matangan dan kebencian. Ia berfokus pada berbagai kebutuhan akan keamanan yang tidak terpenuhi sebagai penyebab terjadinya orang dewasa yang neurotik. Seperti rogers, maslow bersikeras berpendapat bahwa kejahatan dan kebencian bukanlah sisi mendasar dari kepribadian seseorang melainkan merupakan akibat dari pengalaman devisiensi lingkungan. Dalam sebuah dunia dimana tidak terdapat kekerasan anak, kemiskinan, perceraian, dan diskriminasi, insiden dan anak-anak yang berkembang menjadi orang dewasa yamg membenci mungkin juga berkurang secara drastis. Meskipun demikian, tidak seperti rogers, maslow tidak mendesakan ide mengenai penerimaan tidak bersyarat dari orang lain. Ia hanya berpendapat bahwa anak-anak (dan orang dewasa) membutuhkan struktur dan regulasi seperti hanya cinta dan rasa aman. Selanjutnya maslow, dalam memikirkan kebengisan hitler, tidak sependapat dengan pandangan optimis dari rogers bahwa seseorang dapat bertobat.[9]



BAB III
PENUTUP





Kesimpulan

Tema dasar dari dasar semua tulisan Fromm adalah individu yang merasa kesepian dan terisolir karena ia dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia.
Fromm membagi sistem struktur masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter sosialnya:
  1. Masyarakat-masyarakat pecinta kehidupan.
  2. Masyarakat non-destruktif-agresif.
  3. Masyarakat destruktif.
Kebutuhan diartikan sebagai kebutuhan fisik, yang oleh Fromm dipandang sebagai kebutuhan aspek kebinatangan dari manusia, yakni kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas dari rasa sakit.
Fromm berteori bahwa individu merasa lebih sendiri dan terisolasi seiring dengan kemajuan peradapan dan seiring dengan meningkatnya kebebasan individual yang diperoleh orang-orang. Dalam rangka meniadakan perasaan kesepian dan alienasi, ia berteori, beberapa orang meninggalkan kebebasannya, melepaskan individualitas dan prinsip-prinsipnya agar dapat menjadi bagian kelompok, berapapun harganya.
Dalam mengkaji kebencian, para psikolog humanistik memiliki suatu sudut pandang yang hampir berlawanan dengan pendekatan biologis. Bertentengan dengan para etologis, para teoris humanistik menekankan berbagai hal yang membedakan manusia dari hewan. Mereka menggaris bawahi pentingnya moralitas, keadilan, komitment, yang melibatkan pemikiran yang kompleks dan kesadaran diri.

  
DAFTAR PUSTAKA

http: //belajarpsikologi.com/teori-pengembangan-kepribadian.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian, Jakarta: C.V. Rajawali, 1983.
Friedman, Howard S., Miriam W.Schustaca, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern Jilid 3, Jakarta : Erlangga, 2006.
Friedman, Howard S., Miriam W.Schustaca, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern Jilid 2, Jakarta : Erlangga, 2006.



[1] http: //belajarpsikologi.com/teori-pengembangan-kepribadian.
[2] Sumadi, Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Jakarta: C.V. Rajawali, 1983, hlm. 209

[3] Ibid. Hlm. 210-211
[4] Howard S.Friedman, Miriam W.Schustaca, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern, Jakarta : Erlangga, 2006, hlm. 340
[5] Ibid. Hlm. 241
[6] Howard S. Friedman,KepribadianTeori Klasik dan Riset Modern Jilid 2,Jakarta:Erlangga,2006,hlm.130
[7] Ibid.hlm.131                                                   
[8] Ibid.hlm.131-132
[9] Ibid. Hlm. 133