PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Manusia
adalah makhluk yang kompleks, kekompleksitasan manusia itu tiada taranya di
muka bumi ini. Manusia lebih rumit dari makhluk
apapun yang bisa dijumpai dan jauh lebih rumit dari mesin apapun yang bisa
dibuat. Manusia juga sulit dipahami karena keunikannya. Dengan keunikannya,
manusia adalah makhluk tersendiri dan berbeda dengan makhluk apapun. Juga
dengan sesamanya. Tetapi, bagaimanapun sulitnya atau apapun hambatannya,
manusia ternyata tidak pernah berhenti berusaha menemukan jawaban yang
dicarinya itu. Dan barang kali sudah menjadi ciri atau sifat manusia juga untuk
selalu mencari tahu dan tidak pernah puas dengan pengetahuan-pengetahuan yang
diperolehnya, termasuk pengetahuan tentang dirinya sendiri dan sesamanya.
Sekian
banyak upaya yang telah diarahkan untuk memahami manusia. Tetapi tidak
semua upaya tersebut membawa hasil, namun upaya pemahaman tentang manusia
tetap memiliki arti penting dan tetap harus dilaksanakan. Bisa dikatakan bahwa
kualitas hidup manusia, tergantung kepada peningkatan pemahaman kita tentang
manusia. Dan psikologi, baik secara terpisah maupun sama-sama dengan ilmu-ilmu
lain, sangat berperan secara mendalam dalam penganganan masalah
kemanusiaan ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaiman
sejarah singkat Erich Fromm?
2. Bagaimana
Teori kepribadian menurut Erich Fromm?
3. Bagaimana
Kondisi Eksistensi Manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah singkat Erich Fromm
Erich Fromm lahir di Frankfurt, Jerman pada tanggal 23 Maret 1900.
Ia belajar psikologi dan sosiologi di University Heidelberg, Frankfurt, dan
Munich. Setelah memperoleh gelar Ph.D dari Heidelberg tahun
1922, ia belajar psikoanalisis di Munich dan pada Institut
psikoanalisis Berlin yang terkenal waktu itu. Tahun 1933 ia
pindah ke Amerika Serikat dan mengajar di Institut psikoanalisis Chicago dan
melakukan praktik privat di New York City. Ia pernah mengajar pada
sejumlah universitas dan institut di negara ini dan di Meksiko. Terakhir, Fromm
tinggal di Swiss dan meninggal di Muralto, Swiss pada tanggal 18 Maret 1980.
Fromm sangat dipengaruhi oleh
tulisan-tulisan Karl Marx, terutama oleh karyanya yang pertama, The
economic philosophical manuscripts yang ditulis pada tahun 1944. Tema
dasar ulisan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi karena ia
dipisahkan dri alam dan orang-orang lain. Kedaan isolasi ini tidak ditemukan
dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia.[1]
Sebelum mengulas tentang teori
kepribadian dari Fromm, beberapa pengalaman mempengaruhi pandangan Fromm,
antara lain pada umur 12 tahun ia menyaksikan seorang wanita cantik dan
berbakat, sahabat keluarganya, bunuh diri. Fromm sangat terguncang karena
kejadian itu. Tidak ada seorang yang memahami mengapa wanita tersebut memilih
bunuh diri. Ia juga mengalami sebagai anak dari orangtua yang neurotis. Ia
hidup dalam satu rumah tangga yang penuh ketegangan. Ayahnya seringkali murung,
cemas, dan muram. Ibunya mudah menderita depresi hebat. Tampak bahwa Fromm
tidak dikelilingi pribadi-pribadi yang sehat. Karena itu, masa kanak-kanaknya
merupakan suatu laboratorium yang hidup bagi observasi terhadap tingkah laku
neurotis. Peristiwa ketiga adalah pada umur 14 tahun Fromm melihat
irrasionalitas melanda tanah airnya, Jerman, tepatnya ketika pecah perang dunia
pertama. Dia menyaksikan bahwa orang Jerman terperosok ke dalam suatu fanatisme
sempit dan histeris dan tergila-gila. Teman-teman dan kenalan-kenalannya
terpengaruh. Seorang guru yang sangat ia kagumi menjadi seorang fanatik yang
haus darah. Banyak saudara dan teman-temannya yang meninggal di parit-parit
perlindungan. Ia heran mengapa orang yang baik dan bijaksana tiba-tiba menjadi
gila. Dari pengalaman-pengalaman yang membingungkan ini, Fromm mengembangkan
keinginan untuk memahami kodrat dan sumber tingkah laku irasional. Dia menduga
hal itu adalah pengaruh dari kekuatan sosio-ekonomis, politis, dan historis
secara besar-besaran yang mempengaruhi kodrat kepribadian manusia.
Fromm sangat dipengaruhi oleh
tulisan Karl Marx, terutama oleh karyanya yang pertama, The Economic
and Philosophical Manuscripts yang ditulis pada tahun 1944. Fromm
membandingkan ide-ide Freud dan Marx, menyelidiki kontradiksi-kontradiksinya
dan melakukan percobaan yang sintesis. Fromm memandang Marx sebagai pemikir
yang lebih ulung daripada Freud dan menggunakan psikoanalisa, terutama untuk
mengisi celah-celah pemikiran Marx. Pada tahun 1959, Fromm menulis analisis
yang sangat kritis bahkan polemis tentang kepribadian Freud dan pengaruhnya,
sebaliknya berbeda sekali dengan kata-kata pujian yang diberikan kepada Marx pada
tahun 1961. Meskipun Fromm dapat disebut sebagai seorang teoritikus kepribadian
Marxian, ia sendiri lebih suka disebut humanis dialetik. Tulisan-tulisan Fromm
dipengaruhi oleh pengetahuannya yang luas tentang sejarah, sosiologi,
kesusastraan, dan filsafat.
Tema dasar dari dasar semua tulisan
Fromm adalah individu yang merasa kesepian dan terisolir karena ia dipisahkan
dari alam dan orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua
spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Dalam bukunya Escape from
Freedom (1941), ia mengembangkan tesis bahwa manusia menjadi semakin bebas dari
abad ke abad, maka mereka juga makin merasa kesepian (being lonely). Jadi,
kebebasan menjadi keadaan yang negatif dari mana manusia melarikan diri. Dan
jawaban dari kebebasan yang pertama adalah semangat cinta dan kerjasama yang
menghasilkan manusia yang mengembangkan masyarakat yang lebih baik, yang kedua
adalah manusia merasa aman dengan tunduk pada penguasa yang kemudian dapat
menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Dalam buku-buku Fromm berikutnya
(1947, 1955, 1964), dikatakan bahwa setiap masyarakat yang telah diciptakan
manusia, entah itu berupa feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, dan
komunisme, semuanya menunjukkan usaha manusia untuk memecahkan kontradiksi
dasar manusia. Kontradiksi yang dimaksud adalah seorang pribadi merupakan
bagian tetapi sekaligus terpisah dari alam, merupakan binatang sekaligus
manusia. Sebagai binatang, orang memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik tertentu
yang harus dipuaskan. Sebagai manusia, orang memiliki kesadaran diri, pikiran
dan daya khayal. Pengalaman-pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah
lembut, cinta, perasaan kasihan, sikap-sikap perhatian, tanggung jawab, identitas,
intergritas, bisa terluka, transendensi, dan kebebasan, nilai-nilai serta
norma-norma.[2]
Fromm membagi sistem struktur
masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter sosialnya:
1. Masyarakat-masyarakat pecinta kehidupan. Karakter
sosial masyarakat ini penuh cita-cita, menjaga kelangsungan dan perkembangan
kehidupan dalam segala bentuknya. Dalam sistem masyarakat seperti ini,
kedestruktifan dan kekejaman sangat jarang terjadi, tidak didapati hukuman
fisik yang merusak. Upaya kerja sama dalam struktur sosial masyarakat seperti
ini banyak dijumpai.
2. Masyarakat non-destruktif-agresif. Masyarakat ini
memiliki unsur dasar tidak destruktif, meski bukan hal yang utama, masyarakat
ini memandang keagresipan dan kedestruktifan adalah hal biasa. Persaingan,
hierarki merupakan hal yang lazim ditemui. Masyarakat ini tidak memiliki
kelemah-lembutan, dan saling percaya.
3. Masyarakat destruktif. Karakter sosialnya adalah
destruktif, agresif, kebrutalan, dendam, pengkhianatan dan penuh dengan
permusuhan. Biasanya pada masyarakat seperti ini sangat sering terhadi
persaingan, mengutamakan kekayaan, yang jika bukan dalam bentuk materi berupa
mengunggulkan simbol.
Fromm juga menyebutkan dan
menjelaskan lima tipe karakter sosial yang ditemukan dalam masyarakat dewasa
ini, yakni:
1.
Tipe Reseptif (mengharapkan dukungan dari pihak luar)
2.
Tipe Eksploitasi (memaksa orang lain untuk mengikuti
keinginannya)
3.
Tipe Penimbunan (suka mengumpulkan dan menimbun barang
suatu materi)
4.
Tipe Pemasaran (suka menawarkan dan menjual barang)
5.
Tipe Produktif (karakter yang kreatif dan selalu
berusaha untuk menggunakan barang-barang untuk suatu kemajuan)
Persoalan hubungan seseorang dengan
masyarakat merupakan keprihatinan besar Fromm. Menurut Fromm ada validitas
proposisi-proposisi berikut:
1.
Manusia mempunyai kodrat esensial bawaan,
2.
Masyarakat diciptakan oleh manusia untuk memenuhi
kodrat esensial ini,
3.
Tidak satu pun bentuk masyarakat yang pernah
diciptakan berhasil memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasar eksistensi manusia, dan
4.
Eksistensi manusia adalah mungkin menciptakan
masyarakat semacam itu.
Kemudian Fromm mengemukakan tentang
masyarakat yang seharusnya yaitu dimana manusia berhubungan satu sama lain
dengan penuh cinta, dimana ia berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan
solidaritas, suatu masyarakat yang memberinya kemungkinan untuk mengatasi
kodratnya dengan menciptakannya bukan dengan membinasakannya, dimana setiap
orang mencapai pengertian tentang diri dengan mengalami dirinya sebagai subjek
dari kemampuan-kemampuannya bukan dengan konformitas, dimana terdapat suatu
sistem orientasi dan devosi tanpa orang perlu mengubah kenyataan dan memuja
berhala. Bahkan Fromm mebgusulkan suatu nama untuk masyarakat yang sempurna
tersebut yaitu Sosialisme Komunitarian Humanistik. Dalam masyarakat semacam
itu, setiap orang akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi manusiawi
sepenuhnya. [3]
1.
Dilema Eksistensi
Mengikuti filsafat dualism, semua
gerak di dunia dilatarbelakangi oleh pertentangan dua kelompok ekstrim, tesa
dan antitesa. Pertentangan itu akan menimbulkan sintesa, yang pada dasarnya
dapat dipandang sebagai teas baru yang akan memunculkan antitesa yang lain.
Itulah dinamika yang tidak pernah berhenti bergerak.
Menurut Fromm, hakekat manusia juga
bersifat dualistik. Paling tidak ada empat dualistik di dalam diri manusia:
a.
Manusia sebagai binatang dan sebagai manusia
Manusia sebagai binatang memiliki
banyak kebutuhan fisiologik yang harus dipuaskan,
seperti kebutuhan makan, minum, dan kebutuhan seksual. Manusia sebagai manusia
memiliki kebutuhan kesadaran diri, berfikir, dan berimajinasi. Kebutuhan
manusia itu terwujud dalam pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah
lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas,
sedih, transendensi, kebebasan, nilai, dan norma.
b.
Hidup dan mati
Kesadaran diri dan fikiran manusia
telah mengetahui bahwa dia akan mati, tetapi manusia berusaha mengingkarinya
dengan meyakini adanya kehidupan sesudah mati, dan usaha-usaha yang tidak
sesuai dengan fakta bahwa kehidupan akan berakhir dengan kematian.
c.
Ketidaksempurnaan dan kesempurnaan
Manusia mampu mengkonsepkan
realisasi-diri yang sempurna, tetapi karena hidup itu pendek kesempurnaan tidak
dapat dicapai. Ada orang berusaha memecahkan dikotomi ini melalui mengisi
rentang sejarah hidupnya dengan prestasi di bidang kemanusiaan, dan ada pula
yang meyakini dalil kelanjutan perkembangannya sesudah mati.
d.
Kesendirian dan kebersamaan
Manusia adalah pribadi yang mandiri,
sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa menerima kesendirian. Manusia menyadari
diri sebagai individu yang terpisah, dan pada saat yang sama juga menyadari
kalau kebahagiaannya tergantung kepada kebersamaan dengan orang lain. Dilema
ini tidak pernah terselesaikan, namun orang harus berusaha menjembatani dualism
ini, agar tidak menjadi gila. Dualisme-dualisme itu, aspek binatang dan
manusia, kehidupan dan kematian, ketidaksempurnaan dan kesempurnaan,
kesendirian dan kebersamaan, merupakan kondisi dasar eksistensi manusia.
Pemahaman tentang jiwa manusia harus berdasarkan analisis tentang
kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi-kondisi eksistensi
manusia.
Kondisi yang dibawa dari lahir
antara tesa-antitesa eksistensi manusia, disebut dilema eksistensi. Di satu
sisi manusia berjuang untuk bebas, menguasai lingkungan dengan hakekat
kemanusiaannya, di sisi lain kebebasan itu memperbudak manusia dengan
memisahkan hakekat kebinatangan dari akar-akar alaminya. Dinamika kehidupan
bergerak tanpa henti seolah-olah manusia bakal hidup abadi, setiap orang tanpa
sadar mengingkari kematian yang baka dan berusaha bertahan di dunia yang fana.
Mereka menciptakan cita-cita ideal yang tidak pernah dapat dicapai, mengejar
kesempurnaan sebagai kompensasi perasaan ketidaksempurnaan. Anak yang berjuang
untuk memperoleh otonomi diri mungkin menjadi dalam kesendirian yang membuatnya
merasa tidak berdaya dan kesepian; masyarakat yang berjuang untuk merdeka
mungkin merasa lebih terancam oleh isolasi dari bangsa lain. Dengan kata lain,
kemandirian dan kebebasan yang diinginkan malahan menjadi beban. Ada dua cara
menghindari dilema eksistensi yaitu:
1.
Menerima otoritas dari luar dan tunduk kepada penguasa
dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Manusia menjadi budak (dari penguasa
negara) untuk mendapatkan perlindungan/rasa aman.
2.
Orang bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta
dan kerja sama, menciptakan ikatan dan tanggung jawab bersama dari masyarakat
yang lebih baik.
e.
Kebutuhan manusia
Umumnya kata “kebutuhan” diartikan
sebagai kebutuhan fisik, yang oleh Fromm dipandang sebagai kebutuhan aspek
kebinatangan dari manusia, yakni kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas dari
rasa sakit. Kebutuhan manusia dalam arti kebutuhan sesuai dengan eksistensinya
sebagai manusia, menurut Fromm meliputi dua kelompok kebutuhan; pertama
kebutuhan untuk menjadi bagian dari sesuatu dan menjadi otonom, yang terdiri
dari kebutuhan Relatedness, Rootedness, Transcendence, Unity, dan Identity.
Kedua, kebutuhan memahami dunia, mempunyai tujuan dan memanfaatkan sifat unik
manusia, yang terdiri dari kebutuhan Frame of orientation, frame of devotion,
Excitation-stimulation, dan Effectiveness.[4]
f.
Mekanisme Melarikan Diri Dari Kebebasan
Masyarakat kapitalis kontemporer menempatkan orang
sebagai korban dari pekerjaan mereka sendiri. Konflik antara kecenderungan mandiri
dengan ketidakberjayaan dapat merusak kesehatan mental. Menurut Fromm, ciri
orang normal atau yang mentalnya sehat adalah orang yang mampu bekerja
produktif sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya, sekaligus mampu
berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang penuh cinta. Menurut Fromm,
normalitas adalah keadaan optimal dari pertumbuhan (kemandirian) dan
kebahagiaan (kebersamaan) dari individu. Pada dasarnya ada dua cara untuk
memperoleh makna dan kebersamaan dalam kehidupan diantaranya:
1. Mencapai kebebasan positif yakni
berusaha menyatu dengan orang lain, tanpa mengorbankan kebebasan dan integritas
pribadi. Ini adalah pendekatan optimistik dan altruistik, yang menghubungkan
diri dengan orang lain melalui kerja dan cinta, melalui ekspresi perasaan dan
kemampuan intelektual yang tulus dan terbuka. Oleh Fromm disebut pendekatan
humanistik, yang membuat orang tidak merasa kesepian dan tertekan, karena semua
menjadi saudara dari yang lain.
2. Memperoleh rasa aman dengan
meninggalkan kebebasan dan menyerahkan bulat-bulat individualitas dan
intehritas diri kepada sesuatu (bisa orang atau lembaga) yang dapat memberi
rasa aman. Solusi semacam ini dapat menghilangkan kecemasan karena kesendirian
dan ketidakberdayaan, namun menjadi negatif karena tidak mengizinkan orang
mengekspresikan diri, dan mengembangkan diri. Cara memperoleh rasa aman dengan
berlindung di bawah kekuatan lain disebut Fromm mekanisme pelarian. Mekanisme
pelarian sepanjang dipakai sekali waktu, adalah dorongan yang normal pada semua
orang, baik individual maupun kolektif. Ada tiga mekanisme pelarian yang
terpenting, yakni:
a)
Otoritarianisme (authoritarianism)
Kecenderungan untuk menyerahkan
kemandirian diri dan menggabungkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar
dirinya, untuk memperoleh kekuatan yang dirasakan tidak dimilikinya. Kebutuhan
untuk menggabung dengan partner yang memiliki kekuatan bisa merupakan masokisme
dan sadisme. Masokisme merupakan hasil dari perasaan dasar tidak beraya, lemah,
inferior yang dibawa, sehingga kekuatan itu tertuju atau menindas dirinya.
Masokisme merupakan bentuk tersembunyi dari perjuangan memperoleh cinta dan
kesetiaan, tetapi tidak memberi sumbangan positif kekemandirian. Sedangkan
sadisme dipakai untuk meredakan kecemasan dasar melalui penyatuan diri dengan
orang lain atau institusi. Sadisme juga merupakan bentuk neurotik yang lebih
parah dan lebih berbahaya (karena mengacam orang lain) dibanding masokisme.
b)
Perusakan (destruktiveness)
Destruktif berakar pada perasaan
kesepian, isolasi, dan tak berdaya. Destruktif mencari kekuatan tidak melalui
membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha membalas/merusak
kekuatan orang lain, individu, bahkan negara dapat memakai strstegi destruktif
, merusak orang atau obyek, dalam rangka memperoleh perasaan kuat yang hilang.
c)
Penyesuaian (conformity)
Bentuk pelarian dari perasaan
kesepian dari isolasi berupa penyerahan individualitas dan menjadi apa saja
seperti yang diinginkan kekuatan dari luar. Orang menjadi robot, mereaksi
sesuatu persis seperti yang direncanakan dan mekanis menuruti kemauan orang
lain.[5]
g.
Kebencian dan Otorianisme
Seperti
banyak ilmuan sosial, erich fromm berjuang untuk memahami mengapa ada banyak
orang jerman yang bersedia menerima totalitarianisme Nazi. Fromm menekankan
iklim sosial seperti halnya sejarah pribadi individual sebagai sumber kemarahan
dan kebencian. Fromm berteori bahwa individu merasa lebih sendiri dan
terisolasi seiring dengan kemajuan peradapan dan seiring dengan meningkatnya
kebebasan individual yang diperoleh orang-orang. Dalam rangka meniadakan
perasaan kesepian dan alienasi, ia berteori, beberapa orang meninggalkan
kebebasannya, melepaskan individualitas dan prinsip-prinsipnya agar dapat
menjadi bagian kelompok, berapapun harganya.[6]
Meskipun
demikian, sebagai seorang psikonalis, fromm menambahkan pentingnya relasi pada
awal kehidupan. Ia menerima berbagai mekanisme yang berlangsung didalam
individu yang menyerupai kecenderungan neurotik sebagaiman di definisikan
Horney. Orang yang memiliki tipe kepribadian autoritarien sering kali gemar
bertindak kejam untuk mendesakkan kekuasaannya terhadap orang lain, menganiyaya
mereka, dan merampas milik mereka. Menurut fromm, karakteristik kepribadian ini
diakibatkan oleh suatu relasi tertentu yang negatif dengan orang tuanya. Dengan
demikian, fromm mengadukan determinan biologis dari kebencian. Ia menerima
bahwa kita memiliki sebuah warisan biologis yang menghasilkan kapasitas untuk
melakukan kekerasan; dan ia menerima bahwa kanalisasi secara tidak tepat dari
dorongan-dorongan ketika kanak-kanak dapat menciptakan berbagai masalah
sepanjang hidup, namun ia meletakkan kesalahan terbesar pada kegagalan
menemukan makna didalam sebuah masyarakat yang kosong. Dengan demikian ia
menggabungkan elemen-elemen dari pandangan eksistensial dan humanistik dalam
memandang kebencian.[7]
h.
Pendekatan
Humanistik Mengenai Kebencian
Dalam
mengkaji kebencian, para psikolog humanistik memiliki suatu sudut pandang yang
hampir berlawanan dengan pendekatan biologis. Bertentengan dengan para
etologis, para teoris humanistik menekankan berbagai hal yang membedakan
manusia dari hewan. Mereka menggaris bawahi pentingnya moralitas, keadilan,
komitment, yang melibatkan pemikiran yang kompleks dan kesadaran diri. Kontras
dengan para psikoanalis dan neoanalis, para psikolog humanistik lebih banyak
berfokus pada individu-individu yang mateng dan mencapai aktualisasi diri
dibandingkan berfokus pada individu yang penuh kebencian yang banyak sekali
jumlahnya. Meraka lebih melihat aspek-aspek yang mengarah pada sisi positif,
daripada apa yang keliru dalam pengasuhan. Meskipun demikian, penjelasan
humanistik mengenai kebencian individu dapat diturunkan dari teori-teorinya.
Psikologi
humanistik Carl Roger berkeyakinan bahwa emosi negatif berasal dari kurangnya
penghargaan positif dari kehidupan individu, khususnya yang diberikan oleh
orang tua masa kanak-kanak. Roger berfokus pada kebutuhan individual untuk
memperoleh pengghargaan tanpa syarat, penerimaan, cinta dari orang lain,
khususnya dari ibu. Orang tua yang mengajukan syarat dalam memberikan
penghargaan positif terhadap anaknya (misalnya seorang ibu yang secara dingin
menarik cintannya setaip kali anaknya bertindak salah) cenderung akan memiliki
anak yang cemas. Ketika tumbuh, anak-anak seperti itu takut merealisaikan
potensinnya secara penuh; mereka terancam oleh pengalaman yang menantang konsep
dirinya. Seiring dengan meningkatnya perkembangan (inkongruensi) antara
persepsi seseorang mengenai dirinya dan pengalaman sebenarnya, maka tendensi
untuk mendistorsikan realitas menjadi semakin besar, bahkan mungkin menjadi
psikotik. Sebagai contoh, seorang yang berharap menjadi seorang pemimpinyang
bersahat, disukai, dan dihormati, namun harus menyengkal atau mendistorsikan
reaksi-reaksi negatifnya dari kawan sebaya karena pengalaman itu menumbuhkan
rasa takut dan tidak aman, tidak akan menjadi individu yang percaya diri, berfungsi sepenuhnya, dan
bertumbuh.[8]
Sebaliknya, orang semacam itu mungkin akan terstagnasi, kejam, dan antisosial
meskipun demikian, rogers (1961) demikian optimis, ia percaya bahwa semua orang
tidak peduli bagaimanapun juga lingkungannya dapat melepeskan tendensi internal
ke arah pertumbuhan yang positif.
Abraham
maslow (1968) juga memperlihatkan bahwa berbagai ketakutan dan keraguan kita
mengenai diri kita sendiri berakar dari ketidak matangan dan kebencian. Ia
berfokus pada berbagai kebutuhan akan keamanan yang tidak terpenuhi sebagai
penyebab terjadinya orang dewasa yang neurotik. Seperti rogers, maslow
bersikeras berpendapat bahwa kejahatan dan kebencian bukanlah sisi mendasar
dari kepribadian seseorang melainkan merupakan akibat dari pengalaman
devisiensi lingkungan. Dalam sebuah dunia dimana tidak terdapat kekerasan anak,
kemiskinan, perceraian, dan diskriminasi, insiden dan anak-anak yang berkembang
menjadi orang dewasa yamg membenci mungkin juga berkurang secara drastis.
Meskipun demikian, tidak seperti rogers, maslow tidak mendesakan ide mengenai
penerimaan tidak bersyarat dari orang lain. Ia hanya berpendapat bahwa
anak-anak (dan orang dewasa) membutuhkan struktur dan regulasi seperti hanya
cinta dan rasa aman. Selanjutnya maslow, dalam memikirkan kebengisan hitler,
tidak sependapat dengan pandangan optimis dari rogers bahwa seseorang dapat
bertobat.[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tema dasar dari dasar semua tulisan Fromm adalah
individu yang merasa kesepian dan terisolir karena ia dipisahkan dari alam dan
orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies
binatang, itu adalah situasi khas manusia.
Fromm
membagi sistem struktur masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter
sosialnya:
- Masyarakat-masyarakat pecinta
kehidupan.
- Masyarakat
non-destruktif-agresif.
- Masyarakat destruktif.
Kebutuhan diartikan sebagai kebutuhan fisik, yang oleh
Fromm dipandang sebagai kebutuhan aspek kebinatangan dari manusia, yakni
kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas dari rasa sakit.
Fromm berteori bahwa individu merasa
lebih sendiri dan terisolasi seiring dengan kemajuan peradapan dan seiring
dengan meningkatnya kebebasan individual yang diperoleh orang-orang. Dalam
rangka meniadakan perasaan kesepian dan alienasi, ia berteori, beberapa orang
meninggalkan kebebasannya, melepaskan individualitas dan prinsip-prinsipnya
agar dapat menjadi bagian kelompok, berapapun harganya.
Dalam mengkaji kebencian, para psikolog
humanistik memiliki suatu sudut pandang yang hampir berlawanan dengan
pendekatan biologis. Bertentengan dengan para etologis, para teoris humanistik
menekankan berbagai hal yang membedakan manusia dari hewan. Mereka menggaris
bawahi pentingnya moralitas, keadilan, komitment, yang melibatkan pemikiran
yang kompleks dan kesadaran diri.
DAFTAR PUSTAKA
http:
//belajarpsikologi.com/teori-pengembangan-kepribadian.
Suryabrata,
Sumadi, Psikologi Kepribadian, Jakarta: C.V. Rajawali, 1983.
Friedman, Howard S.,
Miriam W.Schustaca, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern Jilid 3,
Jakarta : Erlangga, 2006.
Friedman, Howard S.,
Miriam W.Schustaca, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern Jilid 2,
Jakarta : Erlangga, 2006.
[2]
Sumadi, Suryabrata,
Psikologi Kepribadian, Jakarta: C.V. Rajawali, 1983, hlm. 209
[3]
Ibid. Hlm. 210-211
[4]
Howard S.Friedman, Miriam W.Schustaca, Kepribadian Teori Klasik dan Riset
Modern, Jakarta : Erlangga, 2006, hlm. 340
[5]
Ibid. Hlm. 241
[6]
Howard S. Friedman,KepribadianTeori Klasik dan Riset Modern Jilid 2,Jakarta:Erlangga,2006,hlm.130
[7]
Ibid.hlm.131
[8]
Ibid.hlm.131-132
[9]
Ibid. Hlm. 133
Tags
Catatan Kuliah