Gamelan Wekasan

Kandaga Padalangan Galuh, 1897 M
KINI tinggal dirinya yang berada di ruang penyimpanan gamelan yang teduh dan lembab itu. Rekan-rekan panayagan telah pulang ke rumahnya masing-masing. Ki Dalang Sepuh, ayahnya, telah lebih dulu beradu nyenyak di peraduannya.
Batinnya tak henti berbicara sendiri. Ia ingat betul peristiwa dua tahun silam, waktu ia masih menjalani masamasa pendidikan keagamaan di Madinah. Saat itu, dari Tanah Air datanglah sepucuk surat padanya. Surat yang ditulis sendiri oleh kakeknya, isinya adalah penjelasan kakeknya tentang kondisi hubungan pribumi dengan bangsa Walanda yang semakin meruncing. Dengan sangat lugas kakeknyaberkata dalam surat itu, bagaimana bangsa asing itu kini telah berani melunjak; berani melarang dan mencekal pagelaran wayang.
Rasa kaget bercampur marah memenuhi dadanya. Bagaimana tidak, semua rakyat Tatar Sunda tentu akan merasa tertekan, dan marah oleh perlakuan ini; apalagi bagi dirinya yang adalah pewaris, trah langsung Kasepuhan Kandaga Padalangan Galuh.
Lama ia berpikir keras, apa yang hendak diperbuatnya jika ia pulang kampung. Melawan pada pemerintah kolonial? Tentu sulit. Sebab meskipun rakyat memang berdiri mendukung di belakangnya, namun kemarahan mereka tersumbat oleh rasa takut pada moncong laras bedil kompeni.
Kebanyakan.
Akhirnya ia putuskan juga untuk segera pulang kampung, tepat dua minggu setelah ujian kelulusannya di Madinah. Tentu ia lulus dengan predikat yang sangat bagus. Oleh guru-guru dan kawannya, ia dijuluki sebagai ‘’Al-Marjan minaNuswantara’’, ‘’Ad-d’iatun minaNuswantara’’ (yang cemerlang dari jazirah Nusantara). Kata gurunya, kecerdasan dan sosoknya mengingatkannya pada para pelajar-pelajar dari jazirah Nusantara yang datang dua abad sebelumnya. Dan ia pun menghabiskan masa belajarnya di Madinah dengan banyak sekali aktivitas. Selain mengaji, dia juga melakukan kegiatan budaya; ia mengajarkan musik Sunda pada orang-orang Arab, sementara mereka yang diajarkan berbalik mengajarinya musik Arab, dan di antara semuanya, qonun adalah waditra Arab yang paling disukainya. Sebuah kegiatan ekstra yang tentunya tidak mudah; sebab selalu diiringi picingan mata sebagian kecil gurunya yang memiliki pendirian bahwa kesenian itu haram.
***
SETELAH hampir delapan bulan mengarungi keluasan samudera, melintasi selat-selat, dan melewati belasan pelabuhan, kini kakinya telah menjejak menapak di Pelabuhan Cirebon. Dia telah sampai ke Tanah Air. Ia menghela napas dalam seraya menatap tanahyang dia pijak. Cukup lama dia melakukan itu, sampai kemudian tibalah sebuah rombongan panyawah yang diutus ayahnya untuk menjemputnya.
Perjalanan dari Cirebon ke Tatar Galuh memakan waktu dua hari satu malam dengan berkendaraan kuda tunggangan. Sepanjang perjalanan, ia menemukan betapa banyaknya hal yang berubah di tanah Nusantara ini; di sana-sini berdiri pabrik, baik itu pabrik gula, pabrik batu bara, pabrik pengolahan bahan rempah, dan sebagainya. Dia juga melihat banyak sekali jalan baru dibangun, sebuah kegiatan yang memakan tumbal ratusan bahkan konon ribuan nyawa para pekerjanya, demikian seorang panyawah menjelaskan. Di kaki Gunung Ciremai, kini dia melihat bangunan dan benteng milik pemerintah kolonial semakin banyak berdiri. Hanya selama tujuh tahun kutinggalkan, betapa banyaknya perubahan yang terjadi, batinnya.
Tiba di Tatar Galuh, ia tidak hanya menghirup udara segar dan hawa pilemburan yang dia rindukan, tetapi juga aroma kesedihan; kakeknya meninggal dunia tiga bulan sebelumnya, saat ia masih dalam perjalanan pulang, tepat saat dia melintasi Selat India. Hari-hari berikutnya dia isi dengan menikmati kenangan indah masa lalunya di kampung halaman.
Panineunangan di lembur pangancikan diri. Di sela-sela itu tentu ia langsung disibukkan oleh berbagai riungan sawala dengan kalangan pinisepuh. Sebagai pewaris, teureuh utama Kadatuan dan Kandaga Padalangan Galuh, dialah yang kini disodorkan tanggung jawab untuk menghadapi permasalahan yang kini bercokol. Rama Purwadjati, ayahandanya yang sudah sepuh, meskipun tersembunyi, telah menganggap anak lelaki sematawayangnya itu pantas untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi; pertama, perampasan senjata/pakarang milik rakyat oleh pemerintah militer kolonial, dan kedua adalah pencekalan/pelarangan pagelaran pewayangan.
Menurut keterangan Sang Rama, yang mengeluarkan kebijakan semacam itu adalah Tuan Gopernemen baru yang sudah menjabat di sini selama tiga tahun terakhir. Tuan Gopernemen sebelumnya, justru memiliki watak yang berkebalikan; dia adalah orang asing yang mencintai tradisi dan kebudayaan pribumi. Sebagai seorang terpelajar, dia segera melihat kebijakan pemerintah kolonial itu berhubungan dengan adanya ketidaksetujuan dan perlawanan masyarakat pribumi atas pencaplokan lahan-lahan pertanian serta korupsi para pejabat terkait pembagian hasil dari penggarapan lahan pertanian milik rakyat.
Pernah suatu ketika pamannya yang juga seorang dalang, tetap bersikukuh mengadakan pagelaran wayang golek, sebagai jamuan dan penghormatan atas kedatangan tamu priyayi Mataram. Tetapi di tengah pagelaran, sepasukan kompeni datang dan langsung membubarkan pagelaran begitu saja. Seperti lakon yang tidak sempat tersampaikan, seperti itu pulalah kemarahan yang kini menyumbat para anggahota kandaga padalangan.
Dengan dikawal beberapa pendekar dan panyawah, akhirnya dia berangkat ke kantor Gopernemen kolonial, dengan maksud berdiplomasi, membicarakan perkara ini secara baik-baik. Namun apa yang dia dapat adalah semburan amarah dari suara berat Tuan Gopernemen.
‘’Wayang mah miara mitos, ngajauhkeun inlander tina cara mikir nu logis, nu rasional! Kamu semua harusnya tahu diri!’’ katanya dalam bahasa Belanda bercampur bahasa Sunda kasar garihal. Semua kaget dan tersinggung mendengar jawaban itu. Ki Branjangpati, pendekar kepercayaan kadatuan tampak sekali sudah tidak tahan ingin melayangkan tinju ke muka Tuan Gopernemen, namun dia masih menahan diri, memikirkan keselamatan para panyawah yang berada dalam  ancaman moncong bedil.
Akhirnya dia bersama yang lainnya pulang dengan menahan geram yang makin menjadi. Bukannya mendapat penyelesaian, yang ada adalah masalah yang makin bertambah. Si Tuan Gopernemen memberi waktu lima hari untuk penyerahan pranata pewayangan beserta gamelannya pada pemerintah kolonial. Jika tidak, hukuman yang tidak masuk akal telah menanti.
Keputusan harus segera diambil. Pilihannya cuma dua: menyerah atau melawan membela harga diri. Maka pada malam ketiga diadakan puncak sawala, bersitegang pendapat dari mereka yang ingin melawan langsung dengan mereka yang takut pada moncong bedil pemerintah kolonial. Tanpa dikatakan pun semua tahu betul, melawan berarti harus berani dengan perang terbuka.
‘’Pakarang memang sudah tidak ada. Tetapi sebenarnya kita bisa merakit sebuah meriam untuk menghadapi mereka. Yang kita butuhkan ya bahan logam...,’’ Ki Amungwaja angkat bicara. Dia adalah seorang ahli perang yang pernah belajar teknik pembuatan senjata ke Hindustan. Semua terdiam. Menimbang dan menghitung. Namun sorot mata keempat puun telah menyiratkan sebuah keputusan pasti. Betapapun beratnya itu.
***
MALAM kian bergerak ke titik janari leutik. Angin semakin dingin dan menusuk sepi. Ini adalah malam kelima. Ia menghela napas. Tidak lama lagi bala tentara kolonial akan mendatangi wilayah ini, kampung halamannya sendiri.
Biarlah mereka datang. Akan kita sambut mereka dengan keberanian yang penuh. Lebih baik mati membela harga diri daripada hidup dalam tekanan penghinaan. Kajeun teuing gelut batan budaya urang direbut. Sambil menghela napas panjang, ia membereskan waditra gamelan yang tinggal satu-dua buah saja, karena sebagian besar sudah dilebur untuk diolah dijadikan meriam, dicampurkan dengan benda-benda logam lain yang masih tersisa.
Dalam hening, selarik udara lembut tiba-tiba mengusap wajahnya. Entah dari mana. Lalu seperti semacam bisikan atau gaung lembut dari gong yang sudah tidak ada. Tiba-tiba menyeruak suatu keyakinan dalam dadanya yang bidang dan muda menggelora.
Lalu dengan langkah pelan ia menuju ke pojok ruangan, bersila dan mulai memainkan kacapi indung. Satu per satu petikan jemari mewakili rasa. Jentring ngawujud diri, jentrang ngarupa raga. Dengan pelan dia ngahariring, pupuh durma. Dalam kegelapan malam, sorot matanya hurung, lir ibarat mata maung. (62)
Ciamis, Mei 2014-Yogyakarta, September 2014
Catatan:
— Hurung: bersinar, menyala
— Janari leutik: dalam titi wanci Sunda waktu sekitar pukul tiga dinihari.
— Kajeun teuing gelut batan budaya urang direbut: lebih baik berperang daripada budaya kita direbut.
— maung: harimau
— Panineunangan di lembur pangancikan diri: mengenang di kampung tempat bersemayam diri.
— Pilemburan: perkampungan
— Puun: pemimpin masyarakat adat.
— teureuh: trah, turunan
— waditra: instrumen, alat musik
Ridwan Munawwar Galuhwiraksa lahir di Kuningan, Jabar, dan Bergiat di komunitas Budaya Sakra

Sumber : epaper Suara Merdeka edisi Minggu, 15 Maret 2015

Post a Comment

Previous Post Next Post