ORIENTASI PEDIDIKAN MASIH MENGEDEPANKAN ASPEK INTELEKTUAL DARIPADA MORALITAS

SEKAPUR SIRIH

Rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt biqouli Alhamdulillah, penyusunan tugas Kapita Selekta Pendidikan bisa penulis selesaikan.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan para pengikutnya.
Ada kegelisahan sebenarnya ketika penulis mencoba mengurai pertanyaan apa manfaat sekolah? Selama ini output lulusan dari SD, SMP dan SMA seolah kurang begitu terasa jelas. Kemampuan apa yang didapat ketika lulus SD, SMP dan SMA? Walau pasti ada manfaatnya, namun dimana kemanfaatan itu? Bahkan yang kadang cukup menggelitik adalah ketika terjun di masyarakat, banyak yang dipelajari di sekolah kurang memberikan arti.
Dan dalam tulisan ini, penulis mencoba membidik tentang aspek intelektual yang dalam sistem pendidikan saat ini seolah begitu ditonjolkan. Predikat pintar dan tidak, sering dilihat dari segi perolehan nilai mata pelajaran, padahal setiap orang mempunyai sisi kecerdasannya masing-masing. Atau kalau boleh berkata, “Produk Tuhan tidak pernah ada yang gagal”. Semua orang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dosen Kapita Selakta Pendidikan, Bapak H. Ahmad Zuhdi, M.Ag yang telah memberikan tugas ini sehingga penulis berkesempatan untuk sedikit menelaah mengenai permasalahan pendidikan yang ada saat ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini, sehingga saran dan kritik membangun sangat penulis butuhkan guna mendapat pemahaman yang utuh dan perbaikan dimasa yang akan datang.


BAB I
PENDAHULUAN

Sejumlah masalah yang dihadapi oleh lembaga pendidikan masih sangat kompleks, diantaranya belum maksimalnya mutu pada semua jenjang pendidikan. Peningkatan kualitas lembaga pendidikan merupakan suatu yang mutlak harus dilakukan karena merupakan sistem dari pendidikan nasional. Peningkatan mutu lembaga pendidikan ini bertujuan untuk memberi jaminan kepada masyarakat, yakni suatu jaminan bahwa penyelenggaraan pendidikan itu sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi atau diharapkan masyarakat.
Sebagaimana dalam judul makalah ini mengenai orientasi Pendidikan yang Masih Mengedepankan Aspek Intelektual Daripada Moralitas, sejenak saya hadirkan sebuah data mengenai masalah yang ada di Indonesia[1] :
Kondisi moral/akhlak generasi muda yang rusak/hancur. Hal ini ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja (generasi muda), peredaran narkoba di kalangan remaja, tawuran pelajar, peredaran foto dan vidio perno pada kalangan pelajar. Data hasil survey mengenai seks bebas di kalangan remaja Indonesia menunjukan 63 % remaja Indonesia melakukan seks bebas. (www.wardah.or.id/wis/index2/php?option=com_content&do_pdf...). Menurut direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M Mmasri Muadz, data itu merupakan hasil survei oleh sebuah lembaga survei yang mengambil sample di 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2008. Sedangkan remaja korban narkoba di Indonesia ada 1,1 juta orang atau 3,9 % dari total jumlah korban (http:/hizbut-thrir.or.id/2009/12/01/jabar-masih-darurat-hivaids-dan-seks-bebas/.). Berdasarkan data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP dan SMA, yang terlibat tawuran mencapai 0,08 persen atau sekitar 1.318 siswa dari total 1.647.835 siswa di DKI Jakarta. Bahkan, 26 siswa diantaranya meninggal dunia.
Fenomena nyata yang tergambar dalam data diatas menunjukan bahwa bangsa ini benar-benar mengalami degradasi moral. Pertanyaannya adalah apa sebenarnya hakekat pendidikan di Indonesia? Benarkan selama ini pendidikan di Indonesia hanya mengedepankan aspek intelektual daripada moralitas? Bagaiamana usaha agar keduanya seimbang?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakekat Pendidikan
“Pendidikan itu tak akan pernah usang”[2]. Pesan ini dapat dimaknai, bahwa pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional yang matang. Sebagai mahluk Tuhan yang diberi kelebihan berupa akal pikiran, manusia dituntut untutk membuktikan kualitasnya dalam dunia nyata. Terlebih ketika manusia diberi mandat untuk menjadi khalifatullah fil ardhi (Khalifah Allah di Bumi) maka mau tidak mau ia harus mempunyai mempunyai kecakapan-kecakapan yang telah disebutkan diatas. Disinilah pendidikan memainkan peran yang dominan dan strategis.
Menurut Hoogeveld yang dikutip oleh Drs. Drs. H. Syamsuddin Asyrofi, MM. bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membantu seseorang supaya ia cakap dalam menyelesaikan tugas hidupnya. Senada dengan tujuan diatas, Zulfikri Anas menjelaskan bahwa secara psikologis, pendidikan merupakan proses menuju kematangan emosional, intelektual dan sosial sesuai dengan tingkat kedewasaan seseorang. Kemampuan tersebut terlihat dari cara berpikir dan berperilakudalam menentukan sikap yang tepat ketika mengambil keputusan sebelum melakukan sesuatu. [3]
Dari pendapat diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hakekat dari pendidikan adalah membekali seorang pembelajar dengan kamampuan dan kecakapan guna menghadapi kehidupan nyata. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 : “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman daan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggungjawab”.

B.     Potret Pendidikan di Indonesia Saat Ini
Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa, karenannya kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak terlepas dari kemajuan yang di mulai dari pendidikannya, karena pendidikan merupakan pondasi sebuah negara, masa depan negara dapat dilihat dari keberhasilan pendidikan dalam negara itu sendiri, jika pendidikan sebuah negara itu gagal, maka hampir dapat dipastikan negara tersebut sedikit demi sedikit akan mengalami kemunduran.[4]
Pada bulan April mendatang siswa yang duduk di bangku SLTA akan mengahadapi UN. Begitupun dengan yang duduk di tingkat SLTP juga akan menghadapi UN pada bulan Mei selang 2 mingggu dari UN SLTA. Disini kita bisa melihat fenomena ketika menghadapi UN atau ujian lainnya, tentu semua siswa akan menyiapkan sesuatunya dengan sebaik-baiknya. Dari mulai pemahaman materi hingga ke hal yang bersifat teknis seperti peralatan yang dibutuhkan di kala ujian. Ini merupakan hal yang sudah menjadi rutinitas saat menjelang ujian. Dan yang tidak kalah juga, SKS (sistem kebut semalam) menjadi jurus andalan demi menghadapi UN atua ujian lainnya.
Namun, ada hal yang miris ketika kita berbicara tentang ujian di bangku sekolah, khususnya di Indonesia. Seperti yang kita tahu, masih banyak angka kecurangan dalam setiap pelaksanaan ujian di Indonesia. Yang paling terlihat adalah di saat Ujian Nasional (UN). Selain banyak kecurangan yang dilakukan siswa dan pihak sekolah, angka ketidaklulusan pun masih relatif tinggi.
Dengan orientasi pendidikan yang terjadi saat ini di Indonesaia yang masih berkutat pada nilai-nilai yang berwujud numerik dan akademik saja. Sungguh sebenarnya hal ini telah bersikap munafik bagi tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang sejatinya memiliki harapan agar bisa memtransformasi manusia dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang tidak mempunyai keterampilan menjadi punya keterampilan, dari yang tidak tau menjadi tahu dan seterusnya.
Sebagaimana kata Gus Dur yang dimuat di salah satu edisi Majalah Gatra yang dikutip oleh Rohani[5] bahwa pendidikan di Indonesia masih terjebak pada penguasaan materi semata, dan belum beranjak pada pembentukan karakter (akhlaqul karimah) yang kuat. Akibatnya, banyak orang pandai, hebat dan profesional, namun tidak berkarakter dan culas.
Kondisi dunia pendidikan di Indonesia telah banyak menghasilkan profesor, doktor, ininyur, MA (Magister of Art) dan sebagainya, yang hebat dan profesional tetapi tidak berdasarkan kepada akhlaqul karimah sehingga pendidikan kita dalam situasi “tidak membahagiakan” dan compang-camping. Seharusnya, pendidikan mendasarkan diri kepada anak didik sehingga hasilnya kelak akan bermanfaat untuk mendukung upaya membangun kehidupan demokrasi di Indonesia.
Pendidikan merupakan pilar tegaknya bangsa; Melalui pendidikanlah bangsa akan tegak mampu menjaga martabat. Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab 2 Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bila mengacu pada fungsi pendidikan di atas, maka implementasi pendidikan di negeri ini masih sangat jauh dari predikat baik. Bisa kita lihat masih banyak siswa yang setiap harinya belajar hanya untuk mengejar nilai-nilai dari gurunya. Begitu pun dengan pihak sekolah termasuk guru, hampir sebagian besar hanya memikirkan bagaimana sekolahnya bisa menjadi yang terbaik dalam hal prestasi nilai-nilai yang bersifat numeric saja. Sangat jarang stakeholder pendidikan yang memikirkan nilai-nilai lain seperti moral, etika dan spiritualitas siswa. Bahkan di bangku perkuliahanpun juga begitu, ada sebagian mahasiswa yang datang hanya karena absen dengan harapan tidak mendapat nilai C.
Padahal kalau dicermati secara mendalam tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UU di atas adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa sehingga pendidikan harus memberikan pencerahan yang memadai bahwa pendidikan harus berdampak pada watak manusia/bangsa Indonesia.[6]
Ironisnya pelajaran yang mereka pelajari sewaktu masih dibangku sekolah seolah asing dan tidak sejalan dengan alur kehidupan realitas keseharian mereka; mereka terasing dengan kehidupan realitas yang sangat kontras dengan pelajaran yang atau pernah mereka pelajari di sekolah-sekolah. Padahal sejatinya sekolah adalah masa-masa persiapan untuk menghadapi hidup di dunia nyata[7]. Oleh karenanya, segala sesuatu yang dipelajari di seolah haruslah sesuatu yang akan dialami dalam dunia nyata, yakni bukan masa kini, melainkan masa depan.
Keterasingan mereka antara apa yang dipelajari di sekolah dengan realitas kehidupan akhirnya membuat mereka mencari aktifitas yang dapat membantu mereka keluar dari rasa keterasingan tersebut, yaitu dengan penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan pergaulan bebas.
 Fenomena ini harus kita ubah bersama-sama. Tak ada yang mustahil selama kita bersungguh-sungguh. Mari kita kembalikan konsep dan implementasi pendidikan di Indonesia sesuai tujuan dan fungsi yang sebagaimana mestinya. Jangan sampai hal ini dibiarkan berlarut-larut yang pada dasarnya akan merusak citra dan kualitas bangsa ini ke depannya. Semua harus berperan untuk menyelesaikan masalah ini. Dari mulai pemerintah yang membuat konsep dan kurikulum pendidikan yang baik, pihak sekolah yang mengejewantahkan konsep pemerintah sesuai fungsinya, hingga siswa yang senantiasa memperbaiki orientasinya tentang pendidikan dan sikapnya terkait pelaksanaannya.

C.   Pendidikan Karakter atau Pendidikan Budi Pekerti, Sebuah Tawaran untuk Perbaikan Output Pendidikan
Timbulnya ide pendidikan karekter ini, sebenarnya di tandai dengan meluasnya kejahatan dan demoralisasi umat manusia di dunia. Ada beberapa indikator yang digunakan untuk melihat adanya kejahatan dan demoralisasi umat manusia yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan kualitas kehidupan suatu bangsa.
Thomas Lickona menyatakan; sedikitnya ada sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu: meningkatnya kekerasan dikalangan remaja, ketidak-jujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan pigur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindak kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penuruan etos kerja, menurunya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya prilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral. Dari beberapa permasalahan di atas, pendidikan karakter memberikan harapan perbaikan yang terbaik di semua bidang.[8]
Dalam konteks Indonesia, demoralisasi juga mulai tampil kepermukaan, itu ditandai misalnya: seringnya terjadi tawuran di kalangan remaja Indonesia, terutama di kota-kota Besar, yang frekuensinya sudah sangat memprihatinkan, dan telah memakan korban jiwa para remaja yang seharusnya menjadi penerus bangsa. Sementara itu, penggunaan narkoba dan prilaku seks di luar nikah juga telah menjadi trend di kalangan remaja kita.
Dengan kondisi yang demikian, pendidikan karakter atau budi pekerti menjadi sesuatu yang penting. Pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti, menginginkan pembentukan karakter pelajar (character building), yang nantinya mempengaruhi pola pikir dan prilaku. Tepatnya, ini adalah bagian penting upaya mencerdaskan moralitas manusia muda pada masa fermative years-nya. Yang pada akhirnya nanti akan melahirkan individu-individu baru, dan siap bersaing dengan negara lainnya.
Pendidikan moral (budi pekerti) adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues), yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good peoples). Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.
Moral secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman kebiasaan (cultivation) yang menekankan pada mana yang benar dan mana yang salah secara absolut. Sedangkan hal yang di ajarkan kepada siswa didik, adalah mengenalkan pada mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman secara langsung maupun tidak manakala terjadi pelanggaran. Yang tidak kalah penting, pendidikan ini juga menghendaki adanya penghayatan bahwa ilmu yang dipelajari akan diamalkan tanpa pamrih. Sifat ilmu yang tanpa pamrih ini (scientific disinterestedness), merupakan suatu etos ilmiah yang tetap harus dijunjung tinggi sampai saat ini.
Pengalaman ilmu tanpa pamrih ini sama sekali tidak menyangkal bahwa seorang cendekiawan membutuhkan materi untuk hidupnya, tetapi yang ingin di garis bawahi dengan scientific disinterestedness adalah jangan sampai seorang anak nanti  kalau menjadi seorang intelektual hanya bekerja demi sesuap nasi atau kepentingan sesaat, lalu dengan mudah mengorbankan nilai-nilai moral dan kepercayaan masyarakat, dan juga ilmu yang di dapat tidak diabdikan kepada masyarakat.
Bagaimana dengan pendidikan karakter di Indonesia? Di Indonesia di mana agama diajarkan di sekolah-sekolah negeri, kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil di lihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya, seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama: tampaknya pendidikan agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agamanya saja, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan.
Dan juga jika diperhatikan dari model pendidikannya pun; tampaknya terjadi kelemahan, karena metode pedidikan yang disampaikan dikonsentrasikan atau terpusat pada pendekatan otak kiri (kognitif), yaitu mewajibkan anak didik untuk menghapal dan mengetahui konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu, tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai-nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia.
Sesuai dengan kondisi diatas yang belum seimbang antara aspek intelektual dan moral, maka ada beberapa strategi yang agara keduanya tujuan tersebut didapat secara serempak.
1.    Sebutlah Kebajikan-Kebajikan yang Diperlukan untuk Menjadi Seorang Murid yang Baik
2.    Ajarkan pentingnya integritas
3.    Ajarkan bahwa para murid dapat mengambil tanggung jawab untuk pengetahuannya
4.    Kelelola ruang kelas agar mendukung pendidikan Karakter
5.    Struktur diskusi yang menunjukan pentignya karakter
6.    Ajarkan pentingnya kebenaran
Selain lembaga pendidikan, peran orang tua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orang tua pula-lah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orang tua dan keluarga, pendidikan ahklah (karakter) yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter atau akhlak harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.




BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan pada hakekat adalah membekali seorang pembelajar dengan kamampuan dan kecakapan guna menghadapi kehidupan nyata. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 bahwa pendidikan itu bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman daan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggungjawab”.
Namun karena begitu luasnya bidang garapan dalam hal pendidikan serta kompleksnya sesuatu yang mempengaruhinya, maka tak bisa dipungkiri bahwa perkembangan pendidikan saat ini berada dalam situasi yang memprihatinkan. Salah satunya adalah aspek intelektual lebih diprioritaskan daripada moralitas sehingga berbagai kasus mulai dari KKN, tawuran pelajar, pergaulan bebas, dan pemakaian obat-obat terlarang marak terjadi di Indonesia.
Oleh karena itu, pendidikan karakter atau budi pekerti menjadi semacam alternatif solusi agar output lulusan sekolah tidak hanya mempunyai kemampuan kogntif (pikiran) semata, namun kemampuan afektif (sikap) dan psikomotorik (ketrampilan) juga mereka miliki.

DAFTAR PUSTAKA

Kusuma, Dharma dkk, 2012, Pendidikan Karakter, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Ahmad, Nazili Shaleh, 2011, PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT, Terjemahan oleh Drs. H. Syamsuddin Asyrofi, MM. Yogyakarta: Sabda
Anas, Zulfikri, 2013, SEKOLAH UNTUK KEHIDUPAN, Jakarta Selatan: AMP Press
Lickona, Thomas, 2012, PENDIDIKAN KARAKTER, Bantul : Kreasi Wacana (Judul Asli Character Matter yang diterjemahkan oleh Saut Pasaribu)
Rohmad, Ali, 2009, Kapita Selekta Pendidikan, Yogyakarta : Teras
Makalah PENDIDIKAN SEBAGAI PENENTU KUALITAS BANGSA (Sebuah Kajian Politik Pendidikan Nasional) oleh Muhammad Isnaini



[1] Kusuma, Dharma dkk, 2012, Pendidikan Karakter, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Hal 2
[2] Ahmad, Nazili Shaleh, 2011, PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT, Terjemahan oleh Drs. H. Syamsuddin Asyrofi, MM. Yogyakarta: Sabda Media Hal V
[3] Anas, Zulfikri, 2013, SEKOLAH UNTUK KEHIDUPAN, Jakarta Selatan: AMP Press Hal : 216
[4] Ahmad, Nazili Shaleh, 2011, PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT, Terjemahan oleh Drs. H. Syamsuddin Asyrofi, MM. Yogyakarta: Sabda Media Hal V
[5] Rohani, Edi, 2014, GUS DUR & Paradigma Pendidikan Transformatif, Jawa Barat : Herya Media
[6] Kusuma, Dharma dkk, 2012, Pendidikan Karakter, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
[7] Anas, Zulfikri, 2013, SEKOLAH UNTUK KEHIDUPAN, Jakarta Selatan: AMP Press
[8] Lickona, Thomas, 2012, PENDIDIKAN KARAKTER, Bantul : Kreasi Wacana (Judul Asli Character Matter yang diterjemahkan oleh Saut Pasaribu)

Post a Comment

Previous Post Next Post