Hakekat Manusia Dalam Pendidikan Islam |
Hakikat manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang
memiliki fitrah, akal, kalbu, kemauan serta amanah. Manusia dengan segenap
potensi (kemampuan) kejiwaan naluriah, seperti akal pikiran, kalbu kemauan yang
ditunjang dengan kemampuan jasmaniahnya, manusia akan mampu melaksanakan amanah
Allah dengan sebaik-baiknya sehingga mencapai derajat manusia yang sempurna
(beriman, berilmu dan beramal) manakala manusia memiliki kemaunan serta
kemampuan menggunakan dan mengembangkan segenap kemampuan karunia Allah
tersebut. Dr. Ali Syari’ati dalam buku yang berjudul “Humanisme antara Islam
dan Mazhab Barat menyatakan bahwa, “ manusia adalah makhluk satu-satunya di
alam semesta ini yang memiliki Ruh Ilahi dan bertanggung jawab atas amanat
Allah, serta berkewajiban berakhlak dengan akhlak Allah”[1].
Salah satu upaya dalam rangka memberdayakan manusia yang berkualitas bajik,
terampil serta berkepribadian dan berakhlak luhur adalah dengan melalui
pendidikan. Dengan demikian manusia sebagai makhluk yang memiliki fitrah, akal,
kalbu, kemauan serta amanah.
1.1. Fitrah
Fitrah adalah kejadian asal atau pembawaan asli yang ada pada
diri manusia beserta sifat dan potensinya. Menurut Dr. M. Quraish Shihab dalam
buku yang berjudul “Wawasan Al Quran” menyatakan bahwa, “kata fitrah terambil
dari akar kata fathr yang berarti belahan atau kejadian, fitrah manusia adalah
kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya”[2].Lebih
lanjut Dr. M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, ”manusia berjalan dengan kakinya
adalah fitrah jasadiyahnya, berfikir untuk menarik kesimpulan melalui
premis-premis adalah fitrah akhliahnya, senang dan gembira juga adalah
fitrahnya”[3].
Menurut Dr. Syahminan Zaini dalam buku yang berjudul “Ciri Khas Manusia”
menyatakan bahwa, “fitrah adalah potensi-potensi tertentu yang ada pada diri
manusia yang dibawanya semenjak lahir”[4].
Fitrah adalah apa yang ada pada diri manusia sejak dijadikannya/diciptakannya
oleh Allah SWT yang berkaitan dengan aspek jasmani dan rohani serta
kemampuan-kemampuan yang ada pada kedua aspek tersebut.
Manusia secara fitrah sebagai makhluk ciptaan Allah yang
dianegerahi kemampuan akal pikiran. Akal pikiran merupakan potensi sentral
manusia. Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung dalam buku yang berjudul “Manusia
dan Pendidikan” menyatakan bahwa, “akal dalam pandangan Islam adalah substansi
rohaniyah yang dengannya ruh berfikir dan membedakan yang baik dari yang
bathil."[5].
Menurut Abdul Fattah Jalal sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir bahwa, “kata ‘Aqala dalam Al Quran kebanyakan dalam
bentuk fi’il (kata kerja); hanya sedikit dalam bentuk ism (kata benda)”[6].
Lebih lanjut Abdul Fattah Jalal mengatakan bahwa, “kata ‘aqal menghasilkan ‘aqaluhu,
ta’qilana, na’qilu, ya’qiluha dan
ya’qiluna dimuat dalam Al Quran di 49
tempat. Kata albab, jamak kata lubbun yang berari akal terdapat di 16
tempat dalam Al Quran”[7].
Akal
merupakan aspek manusia yang terpenting yang digunakan untuk berfikir,
menimbang dan membedakan perkara yang baik dari yang buruk.
Al Quran menekankan pentingnya penggunaan akal fikiran. Dalam
QS. Al Anfal ayat 22 disebutkan :
Artinya
: “Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang
pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa.[8]
Manusia dengan mempergunakan akalnya akan
mampu memahami dan mengamalkan wahyu Allah serta mengamati gejala-gejala alam,
bertanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak.
Manusia secara fitrah memiliki kalbu. Menurut Dr. Ahmad
Tafsir bahwa, “kalbu inilah yang merupakan potensi manusia yang mampu beriman
secara sungguh-sungguh”[9].
Dalam QS. Al Hujurat ayat 14 disebutkan :
Artinya
: “Orang-orang arab badui itu berkata, “kami telah beriman”. Katakan kepada
mereka, “kamu belum beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk”, karena iman
itu belum masuk ke dalam hatimu”[10].
Kekuatan kalbu lebih jauh daripada
kekuatan akal. Bahkan kalbu dapat mengetahui objek secara tidak terbatas. Dr.
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa, “kalbu memang menampung hal-hal yang
didasari oleh pemiliknya”[11].
Oleh karena itu Islam amat mengistemewakan kalbu. Kalbu dapat menembus alam
ghaib, bahkan menembus Allah, merasakan Allah dengan iman.
Manusia
dilengkapi Allah dengan perasaan dan keimanan atau kehendak. Manusia dengan
kehendaknya bebas dalam memilih perbuatannya. Menurut Muhammad Abduh
sebagaimana dikutip Dr. Arbiyah Lubis menyatakan bahwa, “akal dan kebebasan
memilih adalah natur manusia … “[12].
Lebih lanjut Muhammad Abduh menyatakan bahwa, “kebebasan yang dimaksud bukanlah
kebebasan tanpa batas atau kebebasan yang bersifat absolut.”[13].
Menurut Prof. H. Muhammad Daud Ali dalam buku yang berjudul “Pendidikan Agama
Islam” menyatakan bahwa, “dengan kemauan atau kehendaknya yang bebas (free
will) manusia dapat memilih jalan yang akan ditempuhnya”[14].
Manusia memiliki kemauan yang bebas dalam menentukan pilihannya. Namun dengan
pilihan tersebut manusia wajib mempertanggungjawabkannya kelak di akhirat, pada
hari perhitungan mengenai baik buruknya perbuatan manusia di dunia.
Manusia dengan
kemauan dan kebebasannya sebagaimana tersebut di atas, manusia dibebani amanah
oleh Allah SWT yaitu tanggung jawab memiliki dan memelihara nilai-nilai
keutamaan. Manusia sebagai khalifah (pemegang kekuasan Allah) di bumi bertugas
memakmurkan bumi dan segala isinya. Memakmurkan bumi artinya mensejahterakan
kehidupan di dunia ini. Menurut prof. Dr. Omar Muhammad Al-Toumy Al Syaibani
dalam buku yang berjudul “Falsafah Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “manusia
dilantik menjadi khalifah di bumi untuk memakmurkannya. Untuk itu dibebankan kepada manusia amanah
Attaklif “[15].
Dalam QS. Al-Ahzab ayat 72 disebutkan ;
Artinya : “Sesungguhnya kami telah
menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikulnya dan mereka takut akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat
itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[16].
Menurut Prof Aisyah Abdurrahman
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Daud Ali bahwa, “perkataan amanah dalam ayat
di atas lebih tepat kalau diartikan ujian yang mengiringi suatu tugas
kemerdekaan berkehendak dan bertenggung jawab mengenai pilihannya.[17].
Oleh karena itu manusia wajib bekerja, beramal sholih (berbuat baik yang
bermanfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungan hidupnya) serta menjaga
keseimbangan alam dan bumi yang didiaminya, sesuai dengan tuntutan yang
diberikan Allah melalui agama.
Fitrah manusia
dengan segenap potensinya sebagaimana disebutkan dalam uraian di atas pada
dasarnya baik dan sempurna, namun masih merupakan potensi yang mengandung
berbagai kemungkinan, kemungkinan untuk menerima kebaikan atau keburukan.
Dengan kata lain fitrah tersebut belum berarti apa-apa bagi kehidupan manusia
sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan. Manusia berkewajiban
mengembangkan dan menggunakan potensi positifnya dalam kehidupan.
Salah satu
upaya dalam rangka mengaktualisasikan dan memberdayakan fitrah dan potensi
manusia yaitu dengan melalui pendidikan dan pengajaran. Menurut Drs. K.
Sukardji dalam buku yang berjudul “Ilmu Pendidikan dan Pengajaran Agama” menyatakan
bahwa, “jiwa fitrah anak (manusia) harus dikembangkan melalui pendidikan dan
pengajaran dengan sebaik-baiknya”[18]. Menurut Prof. H.M. Arifin, M.Ed. dalam buku
yang berjudul “Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat” menyatakan
bahwa, “untuk mengaktualisasikan dan memfungsikan potensi manusia diperlukan
ikhtiar kependidikan yang sistematis berencana berdasarkan pendekatan dan
wawasan yang interdisipliner”[19].
Fitrah dan potensi manusia dengan melalui pendidikan yang sistematis dan
terarah akan berpengaruh pada perkembangan dan proses realisasi diri manusia,
yaitu manusia yang berkualitas bajik (beriman, berilmu dan beramal) sejalan
dengan ketetapan Allah SWT.
1.2. Makhluk
Sempurna
Seperti telah
diuraikan di atas, fitrah manusia meliputi segenap aspek jasmani dan rohani
serta kemampuan-kemampuan yang ada pada kedua aspek tersebut. Manusia secara
fisik mempunyai bentuk yang lebih baik, lebih indah, lebih sempurna. Dalam QS.
At-Tiin ayat 4 ditegaskan :
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya “ (QS. At-Tiin : 4)[20]
Menurut Zuhairini dalam buku yang
berjudul “Filsafat Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “kesempurnaan bentuk
fisik tersebut, masih dilengkapi oleh Allah dengan ditiupkan kepadanya ruhnya,
sehingga manusia mempunyai derajat yang mulia, lebih mulia dari malaikat”[21].
Karunia Allah yang begitu besar yang diberikan kepada manusia tersebut
merupakan bukti bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna, memiliki
derajat paling tinggi bahkan melebihi derajat malaikat.
Manusia secara
kodrati bukanlah malaikat atau setan. Malaikat adalah makhluk yang senantiasa
taat kepada semua perintah Allah, sedangkan setan adalah makhluk yang
senantiasa mengingkari perintah Allah. Menurut Dr. Chairil Anwar dalam buku yang
berjudul “Islam dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI” menyatakan bahwa, “manusia
adalah makhluk ideal yang posisinya berada diantara kedua ekstrim malaikat dan
setan”[22].
Oleh karena itu manusia bisa memiliki sikap patuh dan taat terhadap perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun sebaliknya manusia bisa pula mengingkari
perintah Allah dan mengerjakan larangan-Nya.
Manusia
sebagai makhluk yang memiliki kesempurnaan bentuk jasmani dan rohani, manusia
berkewajiban patuh dan taat terhadap semua perintah Allah SWT serta menjauhi
semua larangan-Nya. Realisasi kepatuhan dan ketaatan manusia tersebut
diwujudkan oleh allah dalam suatu tugas kekhalifahan. Sebagai khalifah, manusia
adalah pelaksana dari kekuasaan dan kehendak (kodrat dan irodat) Allah SWT.
Manusia harus meniru contoh yang diberikan para Nabi dan Rasul Allah, karena
mereka adalah manusia sempurna (insan kamil). Menurut Prof. Dr. Ace
Partadiredja dalam buku yang berjudul “Al Quran, Mu’jizat, Karomat, Maunat dan
Hukum Evolusi Spiritual” menyatakan bahwa, “manusia yang berakhlaq sempurna,
seperti contohnya para Nabi, adalah yang dapat mempersatukan kehendaknya dengan
kehendak Allah “[23].
Manusia sebagai hamba Allah SWT berkewajiban merealisasi fungsi kekhalifahan
dengan meniru contoh akhlaq para Nabi dan Rasul sehingga manusia berfungsi
kreatif, mengembangkan diri dan memelihara diri dari kehancuran. Dalam keyakian
umat Islam para Nabi dan Rasulullah adalah contoh cara hidup manusia. Dengan
demikian hidup dan kehidupan manusia berkembang dan mengarah kepada
kesempurnaan, tidak hanya sempurna akhlaknya, tetapi juga sempurna
ketuhanannya, sempurna penguasaannya atas dunia benda, termasuk badannya
sendiri yang juga benda.
Konsekwensi
dari kesempurnaan manusia dalam merealisasikan fungsi kekhalifahan yang sesuai
dengan amanat Allah SWT, maka sangat diperlukan adanya pendidikan serta ilmu
pengetahuan yang akan menunjang kesuksesannya. Dengan pandangan yang terpadu,
sebagai khalifah (kuasa atau wakil) Allah SWT di muka bumi, manusia tidak boleh
berbuat kerusakan yang mencerminkan kemungkaran atau bertentangan dengan
kehendak Allah SWT. Menurut Drs. H. Abudin Nata, M.A. dalam buku yang berjudul
“Filsafat Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “konsep Al Quran tentang
kekhalifahan dan ibadah erat kaitannya dengan pendidikan “[24].
Pendidikan, pengajaran, ketrampilan serta pendukung lainnya sangat penting bagi
manusia agar dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dan beribadah dengan baik.
1.3. Makhluk
Yang Dapat Dididik
Ada perbedaan
yang khas antara manusia dengan binatang. Binatang adalah makhluk yang tidak
dianugerahi akal pikiran, sedangkan manusia adalah makhluk yang dianugerahi
akal pikiran. Manusia, karena memiliki akal pikiran, maka dalam pendidikan
manusia dijuluki “Animal Educandum”, artinya manusia adalah makhluk yang dapat
dididik. Menurut prof. Dr. H. Sunarto dalam buku yang berjudul “Perkembangan
Peserta Didik” menerangkan bahwa, “manusia adalah makhluk yang dapat dididik
atau “homo educandum”[25].
Menurut Achmadi dalam buku yang berjudul “Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan”,
menyatakan bahwa, “manusia adalah binatang yang mendidik dan dididik (animal
educandum)”[26].
Manusia merupakan makhluk yang memiliki akal pikiran, dan dengan melalui akal
itu pula manusia dapat dididik. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa manusia
merupakan makhluk yang dapat dididik.
Manusia
sebagai makhluk yang dapat dididik, maka manusia perlu dididik. Manusia sejak
kelahirannya telah memiliki potensi dasar yang universal. Buku yang berjudul
“Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan” oleh TIM Dosen FIP-IKIP Malang menyebutkan
bahwa :
“Sejak kelahirannya manusia telah memilki potensi dasar yang
universal, berupa : kemampuan untuk membedakan antara baik dan buruk (moral
identity); kemampuan dan kesadaran untuk memperkembangkan diri sendiri sesuai
dengan pembawaan dan cita-citanya (individual identity); kemampuan untuk
berhubungan dan kerjasama dengan orang lain (social identity) dan adanya
ciri-ciri khas yang mampu membedakan dirinya dengan orang lain (individual
differences)”[27]
Manusia dengan segenap potensi dasar
tersebut akan tumbuh menjadi manusia dewasa manakala dikembangkan melalui
proses pendidikan.
Proses
pendidikan anak manusia berawal dari pergaulan, pergaulan dengan orang lain
pada umumnya dan pergaulan dengan kedua orang tuanya pada khususnya dalam
lingkungan budaya yang mengelilinginya. Menurut Dr. Singgih D. Gunarsa dalam
buku yang berjudul “Psikologi Perkembangan” menyatakan bahwa, “anak membutuhkan
orang lain dalam perkembangannya. Dan orang lain yang paling utama dan pertama
bertanggung jawab adalah orang tua sendiri”[28].
Begitu pula cinta-kasih orang tua dan ketergantungan serta kepercayaan anak
kepada mereka pada usia-usia muda merupakan dasar kokoh yang memungkinkan
timbulnya pergaulan yang mendidik. Menurut penyelidikan-penyelidikan para ahli
sebagaimana dikutip Dr. Singgih menyimpulkan bahwa, “sekalipun bayi belum dapat
dididik, dalam arti belum dapat menangkap pengertian-pengertian, akan tetapi si
bayi seolah-olah menyadari perlakuan-perlakuan mana yang penuh kasih sayang dan
perkakuan-perlakuan mana yang tidak disertai kasih sayang”[29].
Keterbatasan dan kelemahan anak manusia dikuatkan oleh kepercayaan dan sikap
pasrah kepada kewibawaan orang tua dan nilai-nilai moral yang dijunjungnya
dalam tanggung jawab diri sendiri. Anak tidak akan menjadi “manusia” dalam arti
yang sesungguhnya (kehilangan hakikat kemanusiaanya) tanpa adanya pergaulan
yang mendidik yaitu orang lain, terutama orang tuanya sendiri, lingkungan atau
masyarakat serta curahan kasih sayang yang perlu diberikan kepada anak tersebut.
Pendidikan
merupakan upaya yang paling strategis dalam rangka mencerdaskan manusia.
Manusia individu, warga masyarakat dan warga negara yang lengkap dan utuh harus
dipersiapkan sejak anak masih kecil dengan upaya pendidikan. Melalui pendidikan
manusia mampu menjadi sumber daya yang berkualitas sehingga dapat menjadi aset
bangsa yang tertinggi. Dalam Undang-undang RI No. 2 Tahun 1989 tantang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan bahwa, “pendidikan adalah usaha sadar untuk
mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau
latihan bagi perananannya di masa mendatang”[30].
Agar dapat berperan di masa mendatang dengan baik, kegiatan pendidikan sangat
penting.
Ajaran
Islam bersifat universal dan berpijak pada landasan kesamaan yang dimiliki oleh
manusia. Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dan berperan sebagai
khalifah Allah di bumi, maka manusia diberi hak oleh Allah untuk memperoleh
pendidikan dan ilmu pengetahuan. Menurut prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H.
dalam buku yang berjudul “Al Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia” menyatakan
bahwa, “Islam bukan hanya menganggap belajar sebagai hak tetapi adalah pula
sebagai kewajiban”[31].
Dengan demikian ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam Islam mempunyai kedudukan
yang tinggi. Setiap manusia berhak dan berkewajiban untuk memperoleh
pendidikan, sehingga manusia dapat berperan dalam kehidupannya dan beribadah
kepada Allah SWT dengan baik.
Islam
memandang bahwa keutamaan makhluk manusia yang lebih dari makhluk lainnya
terletak pada kemampuan akal kecerdasannya. Menurut Prof. H.M. Arifin, M.Ed
dalam buku yang berjudul “Ilmu Pendidikan Islam” menyatakan bahwa, “… tidak
kurang dari 300 kali Tuhan menyebutkan motivasi berfikir dalam kitab suci Al
Qur’an”[32].
Manusia diperintah oleh Allah SWT agar senantiasa memfungsikan akal pikirannya
untuk menganalisa tanda-tanda kekuasaan-Nya yang nampak dalam alam semesta
ciptaan-Nya yaitu dengan melalui proses belajar.
Islam
memerintahkan umatnya, laki-laki maupun perempuan untuk belajar. Manusia sesuai
dengan harkat kemanusiaannya sebagai makhluk Homo Educandum, dalam arti manusia
sebagai makhluk yang dapat dididik. Karena itu proses belajar bersifat
manusiawi. Menurut Zuhairini dalam buku yang berjudul “Filsafat Pendidikan
Islam” menyatakan bahwa, “manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dapat
dipahami dari firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 31 dan QS. Al-Alaq ayat 1-5
:
Artinya : “Dan Tuhan mengajarkan kepada
Adam nama-nama segalanya” (QS. Al-Baqarah : 31)
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, yang menciptakan
manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Tuhanmu yang amat mulia. Yang
mengajarkan manusia dengan pena. Yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang
tidak diketahuinya” (QS. Al-Alaq : 1-5)[1].
Manusia, laki-laki maupun perempuan
diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, yang dimulai dengan belajar
baca-tulis dan diteruskan dengan belajar berbagai macam ilmu pengetahan.
Membaca
dan menulis sebagaimana pintah Allah dalam Al Qur’an surat Al-Alaq ayat 1-5 di
atas, merupakan proses manusia untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan derajat
yang tinggi. Manusia setelah dapat membaca dan menulis, manusia akan dapat
mengetahui hal-hal yang belum diketahuinya, yaitu mengetahui segala sesuatu
yang terhampar di alam semesta dan yang berada di balik alam semesta. Manusia
setelah dapat mengetahui segala hal tersebut, barulah manusia dapat beriman
melalui kesadarannya, sehingga mencapai derajat yang tinggi. Prof. H.M. Arifin,
M.Ed menyatakan bahwa, “dengan melalui proses “membaca” dan “menulis” dan
“mengetahui”, kemudian beriman, manusia baru dapat menduduki tingkat atau
derajat tinggi. Sebagaimana dinyatakan Allah dalam QS. Al Mujadalah ayat 11 :
Artinya : “ Allah akan meninggikan
orang-orang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
dengan beberapa derajat”. (QS. Al Mujadalah : 11)[34].
Kemampuan membaca dan menulis merupakan
hal terpenting bagi manusia guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Manusia dengan
ilmu pengetahuan akan mendapat kedudukan atau derajat yang tinggi manakala
disertai dengan dzikir kepada Allah SWT.
Rasulullah
Muhammad SAW sebagai uswatun khasanah bagi umat islam juga memerintahkan kepada
umatnya agar senantiasa menuntut ilmu. Beliau telah menyamakan wanita dan pria
dalam hal-hal yang bersifat kerohanian serta kewajiban-kewajiban keagamaan
tanpa perbedaan dalam bidang ilmu pengetahuan. Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : “Dari Anas bin Malik berkata,
“Rasulullah SAW bersabda : menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap orang
Islam (laki-laki maupun perempuan)” (HR. Ibnu Majjah).
Ilmu adalah sesuatu yang sangat dihargai
dalam Islam, mencari dan mempelajarinya merupakan kewajiban atas muslim dan
muslimah. Perintah menuntut ilmu kepada manusia merupakan salah satu bukti
bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat dididik.
2. Pendidikan
Islam
Pendidikan Islam pada dasarnya merupakan proses tanpa akhir
sejalan dengan konsensus universal yang ditetapkan oleh Allah SWT. Sebagai
proses yang berlangsung terus menerus, pendidikan Islam berusaha untuk selalu
mengembangkan serta membimbing fitrah serta segenap potensi yang dimiliki
manusia. Fitrah dan potensi manusia yang dibimbing dan dikembangkan meliputi
aspek jasmani maupun rohaninya. Bimbingan dan pengembangan tersebut bertujuan
agar manusia mampu berperan dan mengabdi kepada Allah SWT, mengingat manusia
berfungsi sebagai ‘abid dan khalifatullah fil ardl. Oleh karena itu,
pendidikan Islam pada hakekatnya mengarahkan dan mengembangkan manusia untuk
bertaqwa kepada Allah SWT.
2.1. Pendidikan Islam
Sebagai Pengembangan Fitrah.
Pendidikan Islam merupakan jalan
yang tepat dalam rangka mengembangkan fitrah manusia, karena Islam sesungguhnya
sesuai dengan fitrah manusia. Fitrah sebagaimana telah diuraikan pada awal Bab
II ini adalah sifat-sifat asli atau asal kejadian sesuatu. Menurut Al Ghazali
sebagaimana yang dikutip oleh Drs. Zainuddin bahwa, “kata fitrah berasal dari
kata “fathara” (menciptakan) sepadan
dengan kata khalaqa. Jadi fitrah
berarti ciptaan atau sifat dasar yang telah ada pada saat diciptakannya, atau
asal kejadiannya”[36].
Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang ada pada manusia sejak
dijadikannya atau diciptakannya.
Fitrah manusia perlu dididik.
Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : “dari Abi Hurairah, sesungguhnya
ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda : tidaklah seorang anak itu dilahirkan
kecuali dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani, atau Majusi. (HR. Muslim)
Al
Ghazali berpendapat bahwa, “fitrah pada dasarnya baik dan sempurna, fitrah
memiliki kemungkinan dan kesediaan untuk menerima kebaikan atau keburukan.
Dengan kata lain fitrah adalah merupakan dasar-dasar kemampuan untuk menerima
pendidikan dan pengajaran”[38].
Fitrah manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik dan berbuat buruk.
Fitrah tersebut harus dididik agar sejalan dengan ketetetapan Allah SWT.
Pendidikan Islam sebagai
pengembangan fitrah manusia dijelaskan oleh Dr. Munir Mursyi. Menurutnya :
Artinya : “Pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah
manusia karena sesungguhnya Islam itu adalah agama fitrah dan segala
perintahnya dan larangan serta kepatuhan dapat mengantarkan mengetahui fitrah
ini”.
Pendidikan Islam sebagai pendidikan
fitrah, karena Islam selaras dengan fitrah manusia.
Pendidikan Islam sebagai usaha
pengembangan fitrah manusia juga sebutkan Achmadi. Menurut Achmadi, pendidikan
Islam adalah, “segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia
serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya
sesuai dengan norma Islam”[40].
Fitrah manusia melalui pendidikan Islam akan dapat teraktualisasi dengan baik,
sehingga manusia mencapai kesempurnaan sesuai dengan norma-norma Islam.
2.2. Pendidikan
Islam Sebagai Pengembangan Potensi.
Manusia lahir di dunia membawa sejumlah potensi atau
kemampuan. Agar potensi manusia dapat berkembang, maka perlu adanya pendidikan.
Pendidikan merupakan suatu proses untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi tersebut, dalam arti berusaha untuk menampakkan
(mengaktualisasikannya). Menurut Drs. Djasadi dalam buku “Ilmu Pendidikan
Islam” menyebutkan bahwa, “bimbingan adalah usaha memberikan tuntunan atau
pertolongan kepada anak secara sadar yang diberikan oleh orang dewasa dengan
penuh tanggung jawab”[41].
Pengembangan potensi manusia diupayakan melalui proses pendidikan atau
bimbingan.
Allah SWT telah memberikan kepada manusia kemampuan untuk
belajar dan berpengetahuan serta kemampuan-kemampuan yang lain. Menurut
Abdurrahman An-Nahlawi dalam buku yang berjudul “prinsip-prinsip dan Metode
Pendidikan Islam menyatakan bahwa :
“perataan
kemampuan belajar itu adalah pendengaran dan hati. Pendengaran bertugas
memelihara ilmu pengetahuan yang telah ditemukan oleh orang lain. Pengetahuan
bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menambahkan hasil penelitian dan
pengkajian kepadanya. Sedangkan hati bertugas membersihkan ilmu pengetahuan
dari segala noda dan kotorannya, kemudian mengambil beberapa kesimpulan
darinya”[42]
Manusia
berkewajiban mengembangkan segenap potensi tersebut, sehingga dapat berfungsi
sesuai dengan ketetapan Allah SWT. Salah satu upaya untuk memfungsikan segenap
potensi manusia yaitu melalui pendidikan Islam.
Pendidikan Islam merupakan upaya
membimbing potensi manusia, secara jasmani maupun rohani agar teraktualisasi
dengan baik. Menurut Ahmad D. Marimba dalam buku “Filsafat Pendidikan Islam”,
“Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum
Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam”[43].
Manusia laki-laki maupun perempuan memiliki potensi baik jasmani (materiil)
maupun rohani (akal dan jiwa). Potensi ini harus dikembangkan, dibina dan
dibimbing agar dapat mencapai pribadi yang utama. Menurut Dr. M. Quraish
Shihab, bahwa, “pembinaan akalnya akan menghasilkan ilmu, pembinaan jiwanya
menghasilkan kesucian dan etika sedangkan pembinaan jasmaninya akan
menghasilkan ketrampilan”[44].
Pembinaan ketiga potensi manusia tersebut, terciptalah makhluk dwi dimensi
dalam satu keseimbangan dunia dan akhirat, berilmu, beriman dan beramal.
Konsep Dr. M. Quraish Shihab di atas
sejalan dengan konsep Mustafa Al Maraghi yang menyebutkan bahwa pendidikan
Islam dengan Tarbiyah mempunyai dua bagian. Al Maraghi menafsirkan :
Artinya
: “Tarbiyah khalqiyah yaitu pembinaan dan pengembangan jasad, jiwa dan akal
dengan berbagai petunjuk dan tarbiyah diniyah tahdzibiyah yaitu pembinaan jiwa
dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa”
Pendidikan dalam rangka memberdayakan
potensi manusia, diharapkan dapat mencetak manusia yang berkepribadian muslim
yaitu manusia yang memiliki nilai-nilai Islam sebagaimana yang tertuang dalam
Al Qur’an.
2.3. Pendidikan
Islam Sebagai Pengembangan Ketaqwaan Kepada Allah SWT.
Manusia diciptakan Allah SWT untuk mengemban misi sebagai
‘abid dan khalifah-Nya. Manusia sebagai khalifah Allah SWT bertugas membangun
dan mengolah bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam dengan sebaik-baiknya.
Menurut Dr. M. Quraish Shihab tugas khalifah adalah “memakmurkan dan membangun
bumi ini sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah SWT”[46].
Manusia dengan melaksanakan amanat Allah sebagai khalifah-Nya berarti manusia
telah memanifestasikan ketaqwaan kepada-Nya. Agar manusia dapat bertaqwa kepada
Allah, maka manusia perlu dididik. Mustahil manusia dapat bertaqwa apabila
tidak terdidik. Pendidikan Islam merupakan syarat manusia untuk dapat bertaqwa
kepada Allah SWT.
Pendidikan Islam sebagai pengembangan ketaqwaan kepada Allah
SWT, disebutkan DR. Muhammad, S.A. Ibrahimy (Bangladesh) sebagaimana dikutip
oleh Prof. H.M. Arifin, M.Ed., menyatakan bahwa,”Islamic education in true sense
of the term is system of education which enables a man to lead his life
according to the islamic ideology, so that he may easily mould his life in
accordance with tenets of Islam"[47].
Artinya :”Secara istilah pendidikan Islam
dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang
memungkinkan seseorang untuk dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan
cita-cita Islam, sehingga ia dengan mudah dapat membentuk hidupnya sesuai
dengan ajaran-ajaran Islam”
Menurut
Dr. M. Quraish Shihab bahwa, “tujuan pendidikan Al Qur’an (Islam) adalah dalam
rangka mengarahkan ketaqwaan kepada Allah SWT”[48].
Pendidikan Islam mempunyai tujuan tertinggi, yaitu agar
manusia mampu berperan sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, sesuai dengan
tujuan penciptaan manusia itu sendiri. Prinsip-prinsip Islam menjadi dasar
pendidikan Islam dan menjadi pedoman seluruh aspek kehidupan manusia, meliputi
aspek jasmani maupun rohani.
3. Kerangka
berfikir “Hakikat Manusia dalam Pendidikan Islam”
Manusia diciptakan oleh Allah SWT
untuk menjadi khalifah-Nya. Manusia sebagai khalifah bertugas memakmurkan atau
membangun bumi sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh Allah. Atas dasar
tugas kekhalifahan yang dibebankan kepada manusia tersebut, manusia perlu
mendapatkan pendidikan.
Manusia, laki-laki maupun perempuan
adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang dilengkapi dengan potensi-potensi.
Potensi manusia meliputi segenap aspek jasmani (materi) maupun rohani (akal dan
jiwa). Karunia Allah SWT yang diberikan kepada manusia tersebut wajib disyukuri,
yaitu dengan jalan memelihara, menggunakan, membina, mengembangkan serta
memberdayakan dengan baik. Upaya tersebut wajib adanya, dengan maksud agar
potensi tersebut dapat tersktualisasi
dengan aktif dan konstruktif sesuai dengan yang ditetapkan Allah SWT.
Memberdayakan manusia sebagai salah
satu mensyukuri nikmat Allah SWT tersebut, bukan berarti manusia tidak berdaya.
Justru karena manusia berdaya, maka manusia wajib diberdayakan. Sesuatu yang
tidak berdaya mustahil dapat diberdayakan.
Salah satu upaya dalam
memberdayakan manusia yaitu dengan pendidikan Islam. Melalui ikhtiar
kependidikan Islam yang sistematis berencana berdasarkan wawasan yang interdisipliner, manusia diharapkan
dapat menjadi sosok pribadi yang berkualitas bajik dan menyandang derajat mulia
melebihi makhluk-makhuk lainnya. Mengingat peran dan fungsi manusia sebagai
hamba dan khalifah Allah SWT di bumi, melalui pendidikan Islam pula diharapkan
manusia dapat mencapai tujuan hidupnya memperoleh keridlaan Allah SWT di dunia
ini, sebagai bekal memperoleh keridlaan Allah di akhirat nanti.
[1] Dr. Ali Syari’ati, Humanisme
antara Islam dan Mazhab barat, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1992, halaman 47.
[2] Dr. M. Quraish Shihab a), Wawasan Al Qur’an, Mizan, Bandung, 1998,
halaman 284.
[3] Ibid, halaman 285.
[4] Drs. Syahminan Zaini, Ir. Kusuma Seta, Ciri khas Manusia, Kalam Mulia, Jakarta, 1986, halaman 37
[5] Prof. Dr. Hasan Langgulung,
Manusia dan Pendidikan, Al Husna Zikra, Jakarta, 1995, halaman 93.
[6] Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994,
halaman 39.
[7] Ibid.
[8] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H.dkk., Al Qur’an dan Terjamahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al
Qur’an, Halaman 263.
[9] Dr. Ahmad Tafsir, Op. Cit, halaman 45.
[10] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H.,dkk.
Op. Cit, halaman 848
[11] Dr. M. Quraish Shihab a), Op. Cit, halaman 289
[12] Dr. Arbiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyah dan Muhammad Abduh suatu studi perbandingan, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1993, halaman 125.
[13] Ibid, halaman 126
[14] Prof. H. Muhammad Daud Ali, S.H., Pendidikan Agama Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,
halaman 18.
[15] Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, halaman
107.
[16] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk. Op. Cit, halaman 680.
[17] Muhammad Daud Ali, Op. Cit, halaman 16.
[18] Drs. K. Sukardji, Ilmu
Pendidikan dan Pengajaran Agama, cv. Indradjaya, Jakarta, 1970, halaman 11.
[19] Prof. H.M. Arifin, M.Ed. a), Pendidikan
Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat, PT Golden Terayon Press, Jakarta,
1988, halaman 6.
[20] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk, Op.Cit, halaman 1076.
[21] Zuhairini dkk, Filsafat
Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, halaman 78.
[22] Dr. Chairil Anwar, Islam dan
Tantangan Abad XXI, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2000, halaman 126.
[23] Prof. Dr. Ace Partadiredja, Al
Qur’an, Mu’jizat, Karomat, Maunat dan Hukum Evolusi Spiritual, PT Dana Bhakti Dana Yasa, Yogyakarta, 1997, halaman 100.
[24] Drs. H. Abudin Nata, M.A., Filsafat
Pendidikan Islam, lagos, Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, halaman 41.
[25] Prof.Dr.Sunarto, Perkembangan
Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, halaman 2.
[26] Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media,
Yogyakarta, 1992, halaman 27.
[27] Drs. B. Suparna, Perkembangan dan Pembaharuan Pendidikan, Dalam Tim
Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar
Dasar-Dasar Kependidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, halaman 192.
[28] Dr. Singgih D. Gunarsa, Psikologi
Perkembangan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1986, halaman 5.
[29] Ibid, halaman 10
[30] Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989, Sistem Pendidikan Nasional, cv Aneka Ilmu, Semarang, 1992, halaman
2.
[31] Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H., Al Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, PT Dana Bhakti Prima Yasa,
Yogyakarta, 1996, halaman 82.
[32] Prof. H.M. Arifin, M.Ed b), Ilmu
Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, halaman 4.
[33] Zuhairini dkk, Op. Cit, halamat 90.
[34] Prof. H.M. Arifin, M.Ed b0, Op. Cit, halaman 5
[35] Al-hafidz Abi Abdilah Muhammad Ibni Yazid Al Qozwini Ibnu Majjah,
Sananu Ibnu Majjah, Al Juz’u al awwal,
Dar Al Fikr, Beirut, Libanon, t-th, halaman 41
[36] Drs. Zainuddin dkk, Seluk-beluk
Pendidikan dari Al Ghazali, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, halaman 64.
[37] Imam Abi Husaini Muslim bin Hajjad, Shahih Muslim Juz IV, Dar Al Kutub Al Islamiyah, Beirut Libanon,
1992, halaman 46.
[38] Drs. Zainuddin dkk, Op. Cit. Halaman 65.
[39] Dr. Munir Mursyi, At-Tarbiyah Al Islamiyah, Ushuluha watathawavuha
fil biladi Al Arabiyah, Alam Kutub, Kairo, 1997, halaman 25.
[40] Achmadi, Op. Cit., halaman 20.
[41] Drs. Djasadi, Ilmu Pendidikan
Islam, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, 1995, halaman 6
[42] Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip
dan Metode Pendidikan Islam, cv Diponegoro, Bandung, 1989, halaman 60.
[43] Drs. Ahmad D. Marimba, Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam, PT Al Ma’arif, Bandung, 1989, halaman 23.
[44] Dr. M. Quraish Shihab b), Membumikan
Al Qur’an, Mizan, Bandung, 1994, halaman 173.
[45] Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al
Maraghi, Al Juz’u al awwal, Dar Al Fikr, Beirut, t.th.
[46] Dr. M. Quraish Shihab b), Op. Cit, halaman 172
[47] Prof. H.M. Arifin, M.Ed c), Kapita
Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Bumi Aksra, Jakarta, 1995, halaman 3.
[48] Dr. M. Quraish Shihab b) Op.Cit, halaman 173.
Tags
Catatan Kuliah