Hari Ini, Kau Mati


Cerpen Dicky Qulyubi Aji
Sumber : Suara Merdeka Edisi Minggu (27/01/2019)

“Hari ini, kau mati!”

Kau pura-pura tak mendengar suaraku. Kau berlagak cuek. Kau merasa hanya berhalusinasi. Jadi kau berpikiran aneh-aneh. Mungkin karena efek kurang tidur. Kau agak kehilangan fokus. Aku mengamati kerutan di bawah matamu. Tampak sangat hitam. Wajahmu kusut, serupa pakaian yang belum diseterika. Kau menarik napas panjang. Lalu meraih secangkir kopi dari atas meja, menyeruput perlahan. Sejenak kau bersandar ke kursi. Matamu menatap jendela. Di luar gerimis.

“Hari ini, kau mati!”

Aku berbisik kembali ke telingamu. Bulubulu di tanganmu berdiri. Aku yakin tubuhmu meremang. Kau menepuk-nepuk kedua belah pipi dengan telapak tangan. Seakan menyadarkan diri dari lamunan. Telepon di atas meja berdering, mengagetkan. Kau mengusap layar benda pipih berwarna hitam itu. Pesan Whatsapp nyaris memenuhi separuh layar ponselmu. Kau mendengus kesal. Setelah kauperiksa, pesan itu dari para mahasiswa yang minta bimbingan. Kau malas membalas. Ketakutanmu malah berubah menjadi kejengkelan.

Sudah beberapa hari kau lupa menelepon istrimu. Kali terakhir kau menghubungi dia dua hari lalu. Dia meminta dibelikan lumpia. Kau ingin menolak, dengan alasan belum gajian. Kau ingin mengelak, dengan berkata pada musim hujan jarang yang berjualan lumpia. Namun pikiran-pikiran buruk semacam itu kautepis jauh-jauh. Kau tak ingin mengecewakan istrimu. Kau menjadi sedemikian rindu padanya. Perlahan kau membuka galeri di dalam memori ponselmu. Kau pandangi satu per satu potret istrimu sepenuh cinta.

“Sebentar lagi aku akan pulang, Sayang,” gumammu.

Bak gayung bersambut, telepon di genggamanmu bergetar. Kau mendapati potret istrimu berkedip-kedip di layar. Secepat kilat jari-jarimu mengusap tombol hijau.

“Pulanglah, aku sakit,” ucap seseorang di seberang sana. Terdengar parau.

“Sakit apa?”

“Tubuhku dingin sekali.”

“Nanti malam, selepas kerja, aku pulang.”

Panik. Gurat-gurat kekhawatiran tergambar jelas di wajahmu. Kau tampak pucat. Kau buru-buru mengemasi berkas-berkas. Lalu meninggalkan ruang kerjamu.

“Bapak, hari ini ada waktu bimbingan?” tanya seorang gadis.

Kau menengok ke belakang. Kau geram. Gigimu bergemeletuk. Di matamu seperti ada kilatan cahaya kemerah-merahan. Kau menggebrak meja di ruang jurusan. Gadis di dekatmu tersentak. Matanya membelalak. Dia menundukkan kepala.

“Aku sibuk!” bentakmu tepat ke telinganya. Kau bergegas, berlalu meninggalkan gadis itu. Kau menerabas hujan deras.

Gadis itu bergeming. Dia menyeringai. Dengan sorot mata tajam, penuh amarah, penuh kebencian, dia terus memandangimu hingga kau hilang tersamarkan rinai hujan.

***

Sabtu malam, kau tampak buru-buru. Kau memasukkan berkas-berkas ke dalam tas. Sejenak kau memastikan tak ada barang yang akan hendak kau bawa yang tertinggal. Besok pagi rapat jurusan. Kau mendapat tugas merekap data kelulusan mahasiswa. Kau agak anyel, kesal. Malam ini seharusnya kau pulang ke rumah, menemani istrimu yang sakit. Mendadak Sekretaris Jurusan menelepon, menagih tugas. Kau meminta izin dari Sekretaris Jurusan untuk tak mengikuti rapat, tapi dengan syarat kauselesaikan tugas-tugas yang diberikan dan kauserahkan kepadanya malam itu juga. Sungguh sial, motormu rewel. Kau lupa mengganti oli. Mesin kendaraanmu rusak parah. Kautitipkan motormu ke bengkel untuh dibenahi.

Malam itu, hujan sangat deras. Malam itu juga kau pasti tak menyangka akan bertemu denganku. Selepas dari rumah Sekretaris Jurusan, kau dan aku naik bus yang sama dan turun di pemberhentian yang sama pula. Kau sama sekali tak menyadari ada sesuatu atau bayangan yang mengikuti atau membuntutimu. Tiba di depan pintu rumah kontrakanmu, barulah kau berbalik arah dan memandangiku dengan tatapan heran. Kau tergeragap. Guratgurat ketakutan sekilas terlukis di wajahmu. Mungkin baru kali ini kau melihat sesuatu berjubah hitam sepertiku

Selama beberapa detik kau dan aku hanya saling tatap, tanpa bicara, sampai akhirnya kau  bertanya, “Siapa ya?”

“Aku tamumu.”

Kerutan di dahimu tampak sangat jelas. Seolah memberitahuku kau sedang berpikir keras untuk mengingatku.

“Apakah kita pernah bertemu?” tanyamu.

Aku menggeleng.

“Jadi, kau siapa? Sejak kapan mengikutiku?”

“Aku mengikutimu sejak tiga hari lalu.”

“Tiga hari? Mengapa aku baru melihatmu sekarang?” katamu sembari membuka pintu.

“Karena aku baru menampakkan diri sekarang.”

Tanganmu memutar kenop pintu. Bersiap meninggalkanku.

“Sudah waktunya.”

“Waktu untuk apa?” tanyamu dengan nada meninggi.

“Bukankah pagi tadi sudah kubilang, hari ini kau mati.”

Bulir-bulir peluh bermunculan di keningmu, meski hujan dan hawa sangat dingin.

“Kuharap kau puas atas kematianmu.”

Kau diam, bergeming. Namun secepat kilat kau menutup pintu rumah kontrakan. Namun aku tahu, kau belum beranjak pergi. Kau tetap di belakang pintu. Kau menunggu perkataanku.

“Kau tahu, kematian tak seburuk yang kaukira. Bahkan tak sepedih cerita orang. Kau perlu menyambut kematianmu dengan lapang dada dan penuh senyuman.”

“Hanya orang gila yang tersenyum pada kematian,” teriakmu dari dalam. “Pergilah! Aku belum menerimamu sebagai tamuku.”

Aku menggeleng. “Kau terlambat!”

Sebuah peluru berdesing. Bahu kirimu terkoyak. Tangan kananmu menahan darah yang mengalir deras. Peluru kedua berdesing dan bersarang di paha kirimu. Kau ambruk. Kau mengerang kesakitan. Napasmu terengah-engah. Suara tawa menyalak, memecah kesunyian. Kau sangat ketakutan. Matamu jelalatan.

“Si-siapa?” katamu gugup.

Lamat-lamat kau mendengar derap langkah kaki mendekat. Kau berupaya bangkit dari lantai. Kau sempoyongan. Kau menyandarkan tubuhmu ke dinding. Pandangan matamu perlahan mengabur. Kau seperti melihat sekilas bayangan berkelebat. Dan, seketika kau menyadari mulutmu sudah terbekap. Disumpal kain. Kau diseret ke sebuah kursi. Kau melawan. Namun kekuatanmu telah terkuras karena luka yang kau derita. Perlawanan itu sia-sia. Lalu kedua tangan beserta kakimu diikat ke kursi.

Suara tawa menggelegar.

“Hai, Sayang,” kata seseorang setelah membuka penutup kepala. Dia membenahi rambut panjangnya yang acak-acakan. Matamu membulat besar. Kau tampak tak percaya.

“Aku akan menjual jari-jarimu yang mahal ini,” katanya sembari mengelus-elus tanganmu.

Apakah tadi aku bilang kematian tak mengerikan? Aku melihat seseorang itu mengiris satu per satu jarimu. Menggerak-gerakkan belati, seperti seseorang memotong kayu dengan gergaji. Darah bersiciprat. Muncrat ke mana-mana. Kau meringis. Seseorang itu lalu mengeluarkan lima pisau dari dalam saku. Dia undur beberapa langkah, lalu melempar pisau itu satu per satu. Ada yang menancap di matamu, dadamu, selangkanganmu, mulutmu, juga keningmu. Seseorang itu seperti amatiran yang sedang bermain dartboard di dalam kamar.(28)

- Dicky Qulyubi Aji, lahir di Jepara, mahasiswa Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, menulis cerpen dan puisi.

Sumber : Suara Merdeka Edisi Minggu, 27 Januari 2019

Post a Comment

Previous Post Next Post