Sumber : Suara Merdeka Edisi Minggu (20/01/2019) |
Cerpen Anas
S Malo
Akhirnya anjing itu tewas, karena kelaparan dan luka-luka yang
diderita. Malang sekali. Padahal, dia juga makhluk Tuhan. Dan, kalaupun tewas,
dia belum tentu masuk surga.
Bila dini hari, apa yang dilakukan kebanyakan orang? Membungkus
tubuh dengan selimut? Atau menghangatkan tubuh dengan pelukan?
Tidak untukku. Aku berteduh di emperan toko kelontong yang masih
tertutup dengan tirai bergaris hitam merah. Angin bersiur gigil bulan Januari
awal. Lengang terhampar di sepanjang jalan Paris. Lampu jalan bercahaya
kekuningkuningan, sedangkan lampu merah terus menyala di sela-sela waktu tanpa
henti, meski tak ada kendaraan berhenti. Lengang, selengang hati ditinggal kekasih.
Aku menunggu gerimis berhenti. Beberapa menit berselang, gerimis
berubah menjadi hujan deras. Ketukan atap bersuara nyaring tanpa jeda. Menimbulkan
pikiran jauh melayang-layang mencari sesuatu pada masa lalu —menemukan kenangan
yang tidak perlu dicari. Sebelum pergi malam tadi, aku sudah punya firasat akan
terjebak hujan. Dan, itu terjadi. Dari keseringan itu, aku tidak begitu asing
dengan yang saat ini aku alami. Tersedia seonggok kursi panjang di teras toko. Aku
duduk. Sambil menunggu hujan reda.
Aku melihat beberapa poster dan bendera partai dipasang di
sepanjang jalan. “Jadikan tahun politik damai dan sejuk.” Itulah beberapa di
area jalan bertulis seperti itu. Suara ayam jantan sesekali berkokok dari jauh,
berasal dari perkampungan. Terjebak hujan tidak menjadi masalah bagiku, tetapi
terjebak dalam lingkaran politik yang hanya mengobral janji-janji dan
narasinarasi yang negatif untuk rakyat, untuk apa dilakukan? Gumamku dalam
kepungan gemuruh hujan.
Aku selalu bertanya-tanya, mengapa pada saat ini, bangsa ini tidak
ada lagi figur sesosok Soekarno yang begitu heroik membangkitkan semangat
rakyat untuk tidak pesimistis. Pula dengan Mohamad Yamin yang menyusuri Nusantara
sampai bagian terdalam. Sebelum 6.000 tahun lalu, zaman Nusantara purbakala, sudah
memuja matahari yang dilambangkan sebagai warna merah dan memuja bulan sebagai perwujudan
lambang putih. Atau, Tan Malaka yang berkobar-kobar, “Ingatlah, dari dalam
kubur, suara saya akan lebih keras daripada atas bumi.” Itulah yang aku pahami
lewat buku bacaanku awal-awal semester.
Hujan hendak berhenti. Sementara di sebelah kiri jalan ke arah
barat, aku melihat sesuatu berjalan. Makin lama kian dekat. Namun aku
tercengang oleh anjing buduk berjalan pincang. Badannya sangat kurus. Matanya
terpejam sebelah. Kulitnya yang banyak bopeng oleh luka tampak belum kering
sepenuhnya. Warna bulu cokelat kombinasi merah yang basah akibat air hujan itu
begitu menyedihkan.
Anjing itu tertatih-tatih melewati toko-toko dan
bangunan-bangunan. Delina hampir satu jam menunggu hujan reda. Aku menatap. Ia
menatapku mengiba, seraya menggonggong pelan. Pelan sekali. Seperti mengatakan
ia makhluk paling menderita yang diciptakan Tuhan di muka bumi ini. Aku
menduga, itu pasti ulah warga kampung yang tidak suka anjing. Aku benar-benar
tidak suka pada engan warga kampung yang sok suci. Padahal, anjing juga makhluk
Tuhan yang berhak dihargai.
Aku mengikuti langkah anjing itu. Sebenarnya aku tidak bermaksud
membuntuti anjing itu. Lama-kelamaan aku kasihan melihat langkah anjing itu
yang terhuyung-huyung. Tampak berat. Hujan sepenuhnya reda. Memasuki waktu
fajar, aku tiba di sebuah gang kecil kumuh dan kotor dan masuk ke sebuah lorong
kecil, gelap tetapi ada tepias cahaya lampu yang bisa menembus. Aku tertarik
pada engan anjing itu, sampai aku rela mengikuti anjing penuh bopeng luka itu.
Di sebuah tempat yang gelap, kotor, dan bau, aku mendapati empat ekor anak
anjing baru berumur tiga hari atau empat hari di dalam kardus.
Aku makin iba pada anjing dan empat ekor anaknya itu. Aku baru
mengerti, anjing itu induk yang mencari makan untuk mengisi air susu yang akan
diberikan ke empat ekor anaknya yang mungil sekaligus terancam kelaparan.
Anjing itu berusaha melompat ke atas kardus bekas penyedap rasa makanan. Pelan.
Ia melihatku. Kaki depan kanan anjing itu patah di pergelangan telapak kaki,
sehingga ia harus melompat dengan ketiga kaki.
Dalam gelap, aku melihat, suara napas ringkih. Berat. Beberapa
cuitan kelelawar terdengar, terbang ke sana- kemari. Terdengar suara menggema
dari benda jatuh. Jantungku menggedor. Ada yang menyentuh mata kakiku, menggelitik.
Spontan, aku meronta, geli. Setelah aku lihat ternyata dari pencahayaan yang
buruk, seekor tikus mengendus mata kaki. Aku merasa, tempat ini benar-benar menyedihkan.
“Untuk apa kau datang ke tempat ini?” Suara itu tiba-tiba datang
dari kegelapan ruang. Suara itu begitu lirih dan menyeramkan. Aku makin takut.
Aku meraba-raba tembok dan tidak ingin mencari sumber suara itu.
“Siapa kau?” tanyaku, berusaha melawan rasa takut.
Sesosok wanita muncul dari kegelapan. Berjalan perlahan,
menghampiriku dengan bantuan tongkat. Wajahnya tidak jelas, karena gelap. Ketukan
tongkatnya terdengar jelas.
“Siapa kau?” tanyaku lagi.
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, wahai pemuas lelaki hidung
belang?”
“Aku hanya mengikuti anjing itu karena kasihan padanya. Dan,
akhirnya anjing itu membawa aku ke tempat ini. Apakah anjing itu peliharaanmu?”
Malam berangsur-unsur memudar. Beberapa ayam jantan berkokok.
Suara ceracau burung-burung menyambut pagi. Suara wanita itu lenyap bersama
bayangnya. Delina memanggil-manggil wanita itu. Sinar matahari condong bersinar
dari arah timur, merah kekuning-kuningan. Delina mendekat ke arah anjing itu.
Induk anjing mendekap anak-anaknya.
Anjing-anjing itu tampak gelisah. Menggelendot ke selangkangan,
menyusur bagian tubuh, mencari puting induk. Cahaya pagi menembus sela-sela
genting bocor. Di tempat ini hanya ada cericitan tikus dan kelelawar, serta lengusan
anak-anak anjing. Tak lebih dari itu. Perihal ada wanita tua yang lenyap
ditelan gelap tadi, aku masih menyimpan rasa janggal. Dari mana asal wanita
yang tidak tampak wajahnya itu? Dan, dari mana ia masuk ke ruangan ini?
Induk anjing itu tak bergerak sama sekali. Aku
menggoyang-goyangkan tubuhnya, tetapi tak ada gerakan. Tubuhnya dingin. Aku
curiga. Memang benar, apa yang aku takutkan benar terjadi. Anjing itu tewas,
mendekap anak-anaknya. Inilah keadaan yang menyedihkan bagi empat ekor anak
anjing itu. Aku iba. Aku ingin merawatnya, membawa pulang ke rumah sebagai hewan
peliharaan.
Di tempat itu, ada beberapa ruangan. Aku berjalan bergegas keluar
dari tempat itu. Namun aku menaruh perasaan penasaran terhadap salah satu
ruangan yang begitu menarik perasaanku. Ya, ruangan misterius itu. Ruang yang
penuh sarang laba. Ruang kedap udara.
Aku masuk ke dalamnya, membawa kardus berisi empat bayi anjing.
Sementara bangkai sang induk, aku biarkan di lantai. Aku meletakkan kardus itu.
Ada sebuah peti jenazah. Aku melihat dari ke jauhan. Aku mengendap seperti
mengintai target buruan. Ada banyak alat laboratorium. Tabung reaksi,
elenmeyer, gelas ukur tampak membeku. Buiret dan fortex juga. Beberapa larutan NaCLdan
buffer terletak di atas meja. Aku terus menyusuri, menuju peti jenazah itu. Penasaran.
Perlahan aku membuka tutup peti itu. Agak berat. Aku terkejut, ketika mataku
mendapati perempuan tua itu ada di dalamnya. Pucat pasi. Sembujung, tangan
tertelungkup, mata terpejam.(28)
-
Anas S Malo, lahir Bojonegoro,
belajar di Universitas Nahdhlatul Ulama Yogyakarta. Sekarang aktif di Lesehan
Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Karyanya tersiar di berbagai media.
Sumber
: Suara Merdeka Edisi Minggu, 20 Januari 2019
Tags
Cerpen