Apa yang Tak Bisa Membuatmu Bersedih, Ia Juga Tak Bisa Membuatmu Bahagia


Cerpen Sungging Raga

Sumber : Suara Merdeka (17/02/2019)
Demikianlah kenyataannya, perpisahan paling menyakitkan bukanlah perpisahan yang dinaungi kabut gelap patah hati atau pertengkaran begitu dahsyat, melainkan perpisahan karena cinta yang terlalu sempurna sehingga gagal menciptakan kesedihan. Perpisahan semacam ini sering kali muncul dari arah tidak diduga; ia sunyi tapi menggetarkan. Serupa gempa yang menjalar di perut-perut bumi, serupa badai yang bersembunyi di bilik-bilik awan, serupa tsunami yang membangunkan ikan-ikan di lautan.
Seperti yang akan kukisahkan berikut ini.

***

Sore itu, hujan baru saja menyelesaikan bagian penutup dari ramalan cuaca. Jalanan basah sore hari dengan lampu-lampu mulai menyala. Aku dan kekasihku, Nalea, duduk di depan sebuah minimarket, memandangi kemacetan yang rutin, seperti memandangi dunia yang makin berat memikul beban kebahagiaan seluruh manusia.

“Jadi kita memang harus berpisah,” kata Nalea.

“Tapi kenapa? Apa aku pernah melukaimu?”

“Justru sebaliknya. Kau tidak pernah membuatku bersedih. Dan apa yang tidak bisa membuatku bersedih, ia juga tidak bisa membuatku bahagia.”

“Omong kosong. Buktinya kita selalu bahagia selama ini.”

“Tidak, aku merasa kebahagiaan ini cuma kabut ilusi. Dan kita hanya menunggu kabut itu reda, sampai akhirnya kita sadar kebahagiaan yang sesungguhnya tidak pernah ada.”

Begitulah. Nalea lebih percaya pada apa yang masih ada dalam pikirannya daripada apa terjadi selama ini di depan mata. Padahal jauh sebelum ini, cinta kami terintis dari kebahagiaan-kebahagiaan kecil, terbangun dengan fondasi pertemuan yang sentimental. Nalea mahasiswi jurusan filsafat, sedangkan aku bekerja di sebuah perusahaan tambang, yang jika kupaparkan pastilah para pembaca yakin: karierku sangat menjanjikan masa depan. Wajahku juga cukup  tampan, sehingga jika dilihat dari sisi mana pun, sudah seharusnya aku menjadi lelaki idaman Miss Universe. Namun aku jatuh hati pada Nalea, mahasiswi dari Gunungkidul, yang beruntung bisa kuliah, sementara teman-temannya langsung dipaksa menikah.

Perkenalanku dengan Nalea berawal saat aku menonton pertunjukan teater. Nalea hanya figuran dalam sebuah lakon cerita, tapi kemudian ia menjadi tokoh utama dalam hatiku yang ditumbuhi bunga-bunga.

Sehabis pementasan, aku berkenalan dengannya, bertukar nomor ponsel, bertukar pandangan, melanjutkan pertemuan di kafe-kafe minimalis, hingga akhirnya bertukar perasaan. Seperti itulah cinta kami bersemi. Dan seharusnya Nalea bergembira ketika kuberi tahu aku bekerja di perusahaan besar yang bisa menjanjikannya uang untuk ikut arisan berlian dengan ibu-ibu kompleks. Namun akhirnya, ketika Nalea memasuki semester tiga dan pikirannya makin tak bisa dicerna, hubungan kami kandas seperti kisah drama Korea.

“Teori macam apa itu, sesuatu yang tidak bisa membuat bersedih, tidak bisa membuat bahagia?”

“Memang begitulah, untuk kebahagiaan yang sempurna, ia juga harus memberikan kesedihan. Tapi aku tak pernah merasa sedih bersamamu. Jadi kita harus berpisah.”

Tekad Nalea sudah kukuh. Maka sore itu, sebuah perpisahan aneh pun tak terhindarkan.

***

Meski kejadian itu sudah berlalu tiga tahun lalu, kenangan tetaplah seperti panah yang mengincar ingatan. Aku begitu kesulitan melupakan Nalea, setiap lipatan tahun dan bulan seperti sayatan kehilangan. Barulah pada suatu musim semi yang hangat di Carrow Road, ketika berlibur di Inggris, aku bertemu seorang wanita yang sukses menyaingi posisi Nalea. Namanya Manisha. Sebenarnya ia gadis dari Indonesia, yang beruntung bisa kuliah ke luar negeri, sementara teman-temannya harus menikah sebelum lulus S-2.

“Maukah kau menunggu aku lulus S-2?”

“Aku bahkan akan menunggumu andai kau ada di surga, sementara aku di neraka.”

Manisha gadis yang setidaknya mampu mengalihkan setengah isi kepalaku dari Nalea. Pernah ada pepatah, jika kita melepaskan sesuatu, akan mendapat ganti sesuatu yang lebih baik. Apakah Manisha adalah pengganti yang lebih baik dari Nalea?

Namun karena cukup lama juga menunggu ia lulus S-2, aku diam-diam tetap mengikuti kabar Nalea. Kudengar, saat ini Nalea makin menderita karena menjalin hubungan dengan seorang lelaki pengangguran yang kerjanya hanya menulis cerita pendek. Karena penasaran, aku mencari tahu siapakah lelaki itu.

Setelah bertanya dan mendapat informasi dari beberapa teman Nalea, aku pun bertemu lelaki itu di warung burjo. Seorang lelaki kurus, dengan rambut kusut dan aroma badan pahit. Terbayang bagiku mengapa Nalea menderita bersamanya. Barangkali ia serbakekurangan dan bahkan tak bisa meminta pertolongan kepada Tuhan karena dia anggap Tuhan telah mati. Aku tidak langsung menyapa lelaki itu, tapi kuperhatikan gelagatnya ketika ia mengambil gorengan lima tapi mengaku tiga kepada pemilik warung.

Saat keluar dari warung, segera kutepuk pundaknya. “Jadi kamu Salem, kekasih Nalea sekarang?”

“Benar, Bung.” Ia terdiam sesaat. “Oh, pasti Bung satu dari sekian masa lalu Nalea. Tak apa Bung, hidup toh hanya tentang perpindahan masa lalu ke masa sekarang, sebelum kita menjadi masa lalu bagi orang-orang pada masa depan.”

Aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Sepertinya dunia orang ini sangat jauh dari pikiranku.

“Kira-kira, ada perlu apa, Bung?” tanyanya.

“Tidak ada. Saya hanya titip uang buat Nalea.”

Kuserahkan amplop berisi uang. Ia langsung meraih. “Wah, terima kasih, Bung. Sungguh, cinta itu bersifat membebaskan. Kekasih saya juga kekasih Anda. Dunia ini penuh kasih, jadi kita bebas mengasihi siapa yang juga ingin dikasihi orang lain. Karena setiap kekasih adalah bagian dari kasih semesta alam. Sudah sepantasnya ia tidak disekat oleh apa pun. Meskipun  Nalea telah memilih saya, ia juga milik Anda, juga berhak Anda bantu. Uang ini pastilah simbol akan cinta kasih yang tak terikat lagi dengan aturan yang bersifat mengekang. Ini akan jadi eksplorasi saat orang-orang mendefinisikan cinta sebagai sesuatu yang memaksa dan menuntut. Nalea pasti akan mengingat bukti kasih Anda.”

“Orang sinting,” pikirku. Namun aku rutin bertemu dia seminggu sekali untuk menitipkan uang kepada Nalea. Dan setiap kali menerima uang, ia selalu bicara cinta kasih, kebebasan, dan hal-hal tidak jelas lain.

Ya. Seseorang boleh bersikap ideologis, berpikiran filosofis, tapi ia tetap butuh uang untuk makan.

Sementara itu, pada belahan diriku yang lain, hubunganku dengan Manisha seperti laju kereta Shinkansen, mulus tanpa hambatan. Kebahagiaan kami terlampau lancar. Bahkan ketika orang tua Manisha mengetahui jabatanku di perusahaan tambang, mereka hampir pingsan karena bahagia. Tanggal pernikahan pun segera dipilih tanpa perlu membaca weton. Namun ketika semua sudah direncanakan, ketika kami telah duduk di pelaminan, pada hari pernikahan yang ditunggu-tunggu, tiba-tiba Manisha begitu murung; raut wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya.

“Ada apa?” tanyaku.

“Apa kau benar mencintaiku?” ia bertanya balik. Dan matanya basah, ada riasan yang luntur di wajahnya. “Aku tahu, selama ini aku seperti bayang-bayang orang lain di pikiranmu.”

Ia menangis. Barangkali ia mengetahui apa yang kulakukan selama ini, mengetahui aku masih peduli terhadap seseorang pada masa lalu. Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah karena telah membuatnya bersedih....

Hah? Membuatnya bersedih?

Tunggu. Kalau aku bisa membuat Manisha bersedih, bukankah itu artinya...? Seperti ada sensasi aneh yang menjalar begitu cepat. Aku pun memegang kedua pundak Manesha. “Ha-ha! Lihat kau menangis! Aku bisa membuatmu bersedih. Ha-ha.”

“Apa maksudmu?” Manisha tampak bingung.

“Ah, apa kamu tidak tahu? Sesuatu yang bisa membuatmu bersedih, juga bisa membuatmu  bahagia! Berarti aku juga bisa membuatmu bahagia. Sekarang kau tidak perlu khawatir lagi! Haha.” Aku terus tertawa seperti kehilangan kewarasan.

Manisha seperti tidak paham. Orang-orang memandangku heran. Namun biarlah. Aku lantas memeluk Manisha begitu erat, lebih erat dari sepasang pohon yang menggigil karena cuaca.

***

Pembaca Budiman, demikianlah kenyataannya. Cinta yang paling sempurna adalah cinta yang bisa menciptakan kesedihan dan air mata. Jadi, jika pasangan Anda membuat Anda bersedih, jangan terburu-buru meninggalkannya. Barangkali itu tanda, ia juga bisa membuat Anda bahagia.

Yah.... barangkali saja. (28)


- Sungging Raga menulis cerpen sejak 2009, buku kumpulan cerpen terbarunya Apeirophobia (2018). Saat ini dia tinggal di Tangerang, Banten.

Sumber : Suara Merdeka Edisi Minggu, 17 Februari 2019

Post a Comment

Previous Post Next Post