Cerpen
Sapta Arif Nur Wahyudin
Sumber : Suara Merdeka Edisi Minggu (10/02/2019 |
Bagaimanapun dia sudah menganggap lelaki tua tak itu dikenal sebagai orang tuanya. Bukan tanpa alasan Rose memiliki perasaan itu. Dia, lelaki tua buta itu, satu-satunya manusia hidup di dunia ini yang masih mau, benar-benar mau, mendengar segala keluh-kesah Rose. Berbeda dari puluhan lelaki yang menjadi teman tidurnya setiap malam, yang sekadar mau mendengar keluhkesah Rose, lalu menjadi lebih perhatian, tentu dengan imbalan servis plus-plus dari perempuan itu.
Lelaki itu berbeda.
Lelaki tua buta itu sangat berbeda. Dia pendengar yang baik, penasihat ulung, dan
mampu melihat takdir seseorang. Seperti soal kematian.
Rose
terkadang heran jika berbicara dengan lelaki tua itu. Dia percaya lelaki tua
itu mampu melihat takdir seseorang. Keheranan Rose bukan tanpa alasan. Dia memercayai
penglihatan takdir seorang lelaki tua buta, yang bermata putih, seputih susu. Namun
dari sanalah Rose sering kali menemukan hal-hal ajaib. Seperti awan selembut
kapas berwarna merah muda, puluhan laron berwarna biru mengelilingi keremangan
lampu jalan, kilat cahaya oranye di tubuh kunangkunang. Baginya, mata seputih susu
itu mata yang ajaib, mata yang mampu menerjemahkan sedih menjadi bahagia.
Rose
tidak pernah kesulitan menemukan lelaki tua itu. Ketika dia pulang kerja,
lelaki tua itu pasti duduk di sebuah bangku panjang taman kota. Rose dan
temantemannya terbiasa mangkal tidak jauh dari sana. Di jembatan, tak jauh dari
taman, di bawah keremangan lampu jalan, Rose dan beberapa teman berjejer di
sepanjang trotoar jalan, menjajakan diri.
Selanjutnya,
jika mendapatkan pelanggan, mereka tak perlu repotrepot mencari hotel. Di
belakang taman kota itu berjejer beberapa hotel mewah. Kalaupun pelanggan agak
pelit, Rose dan teman-teman akan membawa ke losmen di seberang sungai yang
terbelah jembatan.
Semua
mengenal dia; lelaki tua buta itu penjual koran. Sebelum pagi lahir, tongkat
kayu akan menuntun lelaki tua itu ke perempatan Kedai Starcoffe. Itulah kafe mewah
yang jadi andalan orang kantoran untuk obral obrolan perihal kepedihan
kehidupan. Lalu jika malam telah berangkat kerja, lelaki tua itu akan duduk di
salah satu bangku taman kota sambil memainkan harmonika, kemudian bersenandung
bersama malam.
“Kematian
itu begitu unik, Nak. Dia berbau manis seperti cokelat. Namun ada sedikit anyir
di pangkal. Sangat nikmat disertai sedikit bumbu kepedihan.”
“Ha-ha-ha...
Memang ada ya cokelat rasa anyir darah, Kek?”
“Lalu
warnanya....”
“Putih
kelam, mendekati abuabu kan, Kek?”
“Iya!
Benar, Nak. Memiliki ekor di pangkal yang terhubung dengan tubuh jasmaninya.”
Sudah
berulang kali lelaki tua itu bercerita soal warna kematian. Putih kelam
mendekati abu-abu dan memiliki ekor di pangkal yang terhubung dengan tubuh
jasmaninya. Seperti itulah lelaki tua itu mengilustrasikan kematian, sambil
meraba-raba pegangan tongkat kayunya yang berbentuk kepala naga. Mata putihnya
akan berkeliling setiap kali dia berbicara. Ke kiri, kanan, kiri, dan kanan.
“Lihatlah,
Nak.... Di lampu jalan dekat jembatan itu, sekumpulan laron berwarna biru. Sangat
indah. Mereka selalu datang dalam kelahiran yang bahagia, meski Tuhan
memberikan hidup hanya sekejap. Lihatlah..., betapa hidup harus dirayakan
dengan sukacita. Kesedihan hanyalah debu yang sangat kecil di samudra kehidupan
manusia. Berbahagialah, Nak, kau masih diberi hidup.”
“Mana
ada laron berwarna biru, Kek?” Rose tersenyum dan seketika air matanya malam
itu berhenti.
Lelaki
tua itu memiliki sepasang mata putih yang indah, sangat murni, tak ada noda
sama sekali.
“Wa-ha-ha-haÖ,
kau tak akan paham, Nak. Penglihatanku mampu menangkap warna kehidupan semua
makhluk. Dan warna kehidupanmuÖ.”
“Kuning
cerah dengan kelopak mata ekspresif. Penuh kebohongan pada banyak orang, tetapi
tidak padamu kan, Kek?”
“Iya,
Nak.” Lelaki tua itu tersenyum.
Rose
mengingat betul apa yang pernah dia sampaikan ketika kali pertama mereka
bertemu.
Malam
yang muram mengantar Rose menyusuri trotoar jalan. Hari itu ada yang berbeda.
Dia begitu rindu pada lelaki tua buta itu. Sebelum berangkat kerja, sambil membawa
sekotak makanan, dia berniat mengunjungi lelaki tua itu. Namun bukanlah
sambutan baik yang dia terima. Lelaki tua itu malah menyuruh dia pulang.
“Alangkah
baik kau pulang saja, Nak. Kau tak seharusnya bekerja malam ini,” ucap lelaki
tua itu sebelum Rose duduk di bangku yang ia duduki.
Rose
hanya tersenyum, lalu memberikan sekotak makanan dari rumah, kemudian beranjak
pergi. Namun ketika perempuan itu hendak beranjak pergi, lelaki tua itu menahan
tangannya.
“Pulanglah,
Nak. Aku melihat kematian menggantung di atas kepalamu. Dia berwarna cokelat pekat.”
Lelaki tua itu menggenggam tangan Rose begitu kuat.
“Bukankah
pernah kukatakan, Kek, hidup dan matiku adalah suratan takdir? Ingatkah kau dengan
pesanmu, Kek, hidup harus dirayakan dengan sukacita. Kesedihan hanyalah debu
kecil di samudra kehidupan manusia,” ucap Rose sambil perlahan melepas genggaman
tangan lelaki tua itu.
Matanya
masih berkeliling, ke kiri, kanan, kiri, dan kanan. Ada yang tertahan di bibir
yang membuat Rose tak tega meninggalkannya malam itu. Namun dia harus tetap berangkat
kerja untuk menyambung hidup.
Malam
yang kelam bagi lelaki tua buta itu. Sebuah malam yang tak dia inginkan, juga
bagi Rose. Sebelum malam memuncak, suara sirine polisi berkejaran di telinga. Beberapa
kali terdengar teriakan perempuan. Namun dari sekian teriakan, ada sebuah suara
yang dia hafal, suara yang kerap kali terngiang-ngiang pada malam panjangnya.
Memori
lelaki tua itu merekam jelas: di atas jembatan, di bawah kemerangan lampu
jalan, Rose dan beberapa teman yang mangkal terciduk Satpol PP. Perempuan malang
itu tak sempat melarikan diri. Tubuh indahnya dengan cepat dipaksa masuk ke
atas mobil. Ada beberapa luka legam di wajahnya.
Tanpa
sadar, mata putih lelaki tua itu meneteskan air mata. Tangannya masih tetap
merabaraba ujung tongkat. Dia tak bisa apa-apa. Dia hanyalah loper koran tua
buta dan lemah tak berdaya. Berkali-kali lelaki tua itu berusaha menutup mata
sambil memalingkan muka. Namun tetap, mata seputih susu itu tetap merekam. Ingatannya
tetap melihat dengan gamblang: Rose dan beberapa teman diangkut paksa dari
jalanan. Beberapa di antara mereka menerima tamparan.
***
Malam
ketiga, sejak Rose diangkut paksa, lelaki tua itu masih tetap berada di bangku
taman. Di sebelahnya ada sebungkus makanan. Mata putihnya berkeliling, ke kiri,
kanan, kiri, dan kanan. Sangat sepi. Sesekali ada beberapa pasangan muda-mudi
berlalulalang. Namun hingga malam ketiga, tidak dia temukan kabar dari perempuan
itu.
Pada
satu waktu, pada kesepian dia malam itu, lelaki tua itu menoleh pada seorang
perempuan yang berjalan menunduk melewatinya. “Nak, kemari, mendekatlah. Aku
melihat kebahagiaan menggantung di atas kepalamu,” ucap lelaki tua itu. (28)
Surakarta, 23 Mei
2018
-
Sapta Arif NurWahyudin, aktif di GMB-Indonesia dan baru saja
menjadi juara I Sayembara Sastra Bunga Tunjung Biru kategori cerita pendek.
Sumber : Suara Merdeka
Edisi Minggu, 10 Februari 2019
Tags
Cerpen