Kali Pertama Aku Menangis

Cerpen Dicky Qulyubi Aji
Sumber : Suara Merdeka 
Jam yang aku genggam menunjukkan pukul 23.45. Lelaki itu masih berdiam diri. Tubuhnya seperti membatu di kursi ruang tunggu. Dia duduk sendirian dengan kedua tangan menopang dagu. Wajahnya kuyu. Sorot matanya sendu. Sesekali bibirnya bergemetar seakan sedang mendremimilkan sesuatu.

Tak lama berselang, dia menangkupkan kedua tangan. Membiarkan gelap menyungkup wajahnya. Aku menerka, barangkali kini benaknya riuh dipenuhi pertanyaan yang menuntut jawaban.

Sepertinya aroma obat bercampur bau cat yang sepenuhnya belum kering di dinding membuat kepalanya menjadi lebih pening. Satu per satu keringat dingin bermunculan di kening.

Kedua mataku lekat menatap lelaki itu dari jauh. Sejurus kemudian aku berjalan bersijingkat mendekati dia. Aku berharap kedatanganku tak mengusik atau menambah keruh benaknya. Aku duduk tepat di sampingnya. Dia sama sekali takmenyadari kehadiranku. Dia masih tertunduk lesu. Dia seolah tenggelam dalam kekalutan yang pelan-pelan membunuh kesadaran.

Beberapa menit berlalu. Aku dan dia sama-sama membisu. Kesunyian terasa begitu pekat. Namun sayup-sayup suara jeritan melengking dari salah satu kamar. Lelaki itu tiba-tiba menggeleng-geleng, seakan sedang mengembalikan kesadaran. Aku agak bingung. Secepat kilat dia melesat dari kursi. Setengah berlari dia menuju arah sumber suara. Namun langkahnya tertahan di depan kamar nomor 005. Kedua tangannya memegangi gagang pintu. Bola matanya menatap tajam kaca buram persegi panjang. Mencoba menilisik lebih jauh apa yang sedang terjadi di dalam sana. Terselip rasa penasaran yang mengganjal dalam dada.

Lelaki itu kini terpaku di depan pintu sembari menggigiti kuku. Kegelisahan mungkin sedang engoyak benaknya. Tanpa permisi aku diam-diam masuk menerobos pintu; lelaki itu seperti menjaga ketat. Sejenak aku mengedarkan pandangan. Dari balik tirai warna hijau, aku melihat seorang perempuan terbaring di ranjang. Kedua kakinya mengangkang. Tangan kanannya menggegam seprai yang lecek. Tangan kirinya mencengkeram erat gorden di belakang kepala. Urat-urat di lehernya menegang. Napasnya tersengal-sengal.

Mataku tersita oleh papan pipih yang menggapit secarik kertas. Aku mengamati dengan saksama. Nama, usia, dan tanggal lahir tercetak di papan itu, sama persis dengan yang tertulis di daun gugur yang beberapa menit lalu kupungut. Aku merogoh saku. Jam dalam genggamanku menunjukkan pukul 23.55. Kurang dari lima menit lagi.

“Sedikit lagi, Bu,” ucap seorang perempuan. Aku melihat dia beberapa kali memberikan arahan. Dia sebegitu bersemangat. Juga cermat. Dia bak pemandu musik dalam sebuah orkestra. Dia tahu bagaimana membawa musik dalam irama pelan atau tempo kencang. Terkadang dia menyingkap sedikit kain yang menutupi kedua kaki perempuan yang terbaring di ranjang. Lalu melongokkan kepala ke dalam, ke balik kain itu, seperti sedang memastikan sesuatu.

Perlahan aku mendekati mereka. Aku berdiri di sebelah kiri ranjang. Perempuan yang terbaring itu masih terus berteriak lantang. Berkaliulang dia menarik napas panjang, lalu mengembuskan disertai jeritan. Peluh memandikan wajahnya. Tampak mengilat tertempa cahaya. Tiba-tiba perempuan itu menoleh kepadaku. Bola matanya menghunjam mataku. Aku tersentak. Apakah dia melihatku?

Kedua pasang mata kami beradu. Seolah waktu membeku. Jarum jam baru saja bergeser dari pukul 23.59 menuju pukul dua belas tepat tengah malam. Dari pancaran sepasang mata perempuan itu aku menangkap kepiluan mendalam. Sepasang matanya seolah mengiba, meminta dikasihani.

“Tunggulah sebentar lagi. Aku mohon.”

Entah kenapa aku merasakan kenyerian teramat sangat. Tubuhku seperti tersayat sesuatu yang tak terlihat. Kali pertama keanehan macam ini terjadi. Sebelumnya, aku tak pernah sedikit pun merasa canggung. Aku selalu terbiasa dengan berbagai macam situasi, terkeculi malam ini. Dan, entah, aku sedemikian kasihan bila harus segera merenggut sesuatu yang berharga, yang mungkin sebentar lagi dia rasakan. Barangkali sesuatu itu telah lama dia nantikan, dia harapkan, dan dia idam-idamkan.

Aku mengangguk pelan. Aku menangkap kelegaan keluar bersama embusan napasnya. Tak terasa air mengalir perlahan dari pelupuk mataku.Lalu menderas, membasahi pipiku. Aku segera menyeka air dari pelupuk mata dengan telunjuk jariku agar tak banyak lagi yang tumpah. Apakah aku sedang menangis? Apakah aku sedang bersedih?

Suara tangis pecah di ruangan. Tangis itu seperti penawar rasa sakit perempuan yang terkulai lemas di atas ranjang. Napasnya sedikit demi sedikit kembali beraturan. Sejak tadi aku hanya mematung. Kedua mataku tak henti-henti mengalirkan air mata.

“Selamat! Ibu melahirkan bayi laki-laki,” kata perempuan yang membantu melahirkan seraya menyerahkan bayi itu ke pelukan perempuan di atas ranjang.

Samar-samar aku mendengar derap kaki mendekat. Langkah itu seperti bersicepat dengan degup jantungya. Lelaki datang dengan wajah semringah. Dia menghambur mendekati perempuan di atas ranjang. Dia membelai rambut perempuan itu sepenuh kasih.

“Selamat, Sayang. Kau resmi jadi ibu,” bisik lirih lelaki itu. Lalu, perlahan dia mengumandangkan azan ke telinga kanan sang bayi.

Aku menunduk, mendengarkan dengan khusyuk. Perempuan itu mencium kening bayi, lalu memeluk erat.

Setelah selesai, aku kembali mengamati jam yang kugenggam. Waktu menunjukkan pukul 00.05. Ini telah melewati batas ketentuan. Aku telah melakukan satu kesalahan. Tak pernah sekali pun aku melanggar ketetapan yang telah digariskan. Ah, maafkanlah aku.

Aku merapatkan diri lebih dekat pada perempuan itu. Sekilas aku menangkap sebaris senyum terlukis di belah bibirnya. Aku membalas dengan senyuman pula. Perlahan aku menangkupkan kedua kelopak mata. Aku membayangkan sedang menarik seutas benang yang rantas dalam gumpalan tepung. Aku menarik dengan segenap kehati-hatian. Aku berharap tak ada yang tertinggal atau benang itu terputus.

Setelah membuka mata, aku melihat seberkas cahaya keluar dari tubuh perempuan itu. Cahaya itu menjelma menjadi kupu-kupu dengan kepakan sayap begitu menyilaukan. Dia terbang mengitari aku. Aku mengangkat telunjuk jari, lalu kupu-kupu itu hinggap di atasnya.

“Terima kasih telah memberiku sedikit waktu untuk mencium dan memeluk bayiku.”

Kupu-kupu itu kembali terbang. Lalu merupa menjadi serpihan cahaya seperti kunangkunang. Perlahan memudar, lalu hilang. Aku bergegas meninggalkan ruangan, yang menyisakan tangis kehilangan. (28)

- Dicky Qulyubi Aji, kelahiran Jepara, mahasiswa Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Sumber : Suara Merdeka Edisi Minggu,10 Maret 2019

Post a Comment

Previous Post Next Post