Cerpen Sapta Arif NW
1.
Laki-laki
itu masih terdiam. Tampaknya menunggu jawaban. Pesanan sudah datang, secangkir kopi
cappuccino. Lelaki itu mengangkat cangkir, kemudian dia dekatkan ke hidung.
Lalu dia dekatkan ke bibir dan meminum. Kemudian dia letakkan lagi. Kembali dia
menikmati wajah perempuan di depannya. Namun masih saja kaku. Keduanya nampak ragu
untuk memulai pembicaraan.
“Jadi
bagaimana?” lelaki itu nekat membuka kata.
Dan
hasilnya sama saja. Hanya menimbulkan senyum di sudut bibir perempuan di
hadapannya. Suara tetap beku, yang ada
hanya isyarat tubuh yang tak mampu diterjemahkan dalam kata. Tampaknya
perempuan itu tengah asyik dengan dunianya. Berkalikali dia membolak-balik
lembaran kertas yang dipegang.
Laki-laki
itu mengaduk kopinya. Lalu meminumnya. Mengaduk lagi. Dan meminumnya lagi.
Jarinya mengetuk-ngetuk meja. Wajahnya menampakkan kegelisahan. Namun matanya
tetap tertuju pada perempuan di hadapannya. Entah perempuan macam apa yang
sukses menyiratkan kegelisahan dari kedua mata lelaki itu. Perempuan di
hadapannya masih saja membaca lembaran kertas yang diberikan oleh lelaki itu
sepuluh menit lalu.
“Bagaimana?”
lelaki itu memancing pembicaraan lagi.
Perempuan
itu pun menoleh dan hanya tersenyum. Lelaki itu diam kembali. Wajahnya tambah gundah.
Ada sesuatu yang mengganjal bibirnya untuk berbicara, atau sekadar berucap satu
kata. Tangannya mengambil buku dari tas. Lalu menulis kata. Kemudian timbul
kalimat-kalimat. Lalu semua dia coret. Dia sobek dan buang. Menulis lagi.
Mencoret. Menyobek dan membuang. Dia layangkan tatapan ke sisa gerimis hujan
malam ini. Masih saja sepi. Tak ada perubahan berarti. Dingin tetap
mencengkeram kedua anak manusia di meja dua puluh satu itu.
“Bagus!”
Perempuan itu melahirkan kata setelah sekian menit terdiam.
“Apanya?”
Laki-laki itu tanya keheranan.
Perempuan
itu tersenyum sambil mengembalikan lembaran kertas ke lelaki di hadapannya. Aku
pun kembali datang mengantar pesanan ke meja itu.
2.
“Mereka
sedang kasmaran!” teriakan Karman lagi-lagi membuat pelanggan kami menoleh kepadanya.
“Kedai
kita ini memang tidak henti-henti mengukir kenangan ya!” ucapku sambil tertawa.
Waiters-ku
yang satu ini memang sering sekali mencari tahu asal-usul pelanggan di kedai
kami. Terkadang dia sering menghampiri pelanggan sekadar menanyakan alamat
rumah. Tentu saja dengan pembawaannya yang kocak, sehingga tidak mengganggu pelanggan
kami. Bahkan pelanggan kami sering hanyut dalam pembicaraan bersama Karman. Sampai-sampai
ketika Karman tidak masuk kerja, pelangganku pun bertanya-tanya mengenai
lakilaki itu.
Belum
lama aku mengenal Karman ñ setidaknya seusia dengan kedai ini berdiri. Aku merasa
beruntung bisa bertemu orang jujur seperti Karman. Kami dipertemukan karena
Karman menemukan dompetku yang tertinggal di kursi bus. Dengan percaya diri,
dia mendatangi alamat yang tertera di kartu identitasku. Karena kejujurannya
itulah, aku mengajak laki-laki yang belum kutahu asal-usulnya saat itu untuk membuka
usaha. Dan sampai saat ini, kami menjadi bukan sekadar mitra kerja, lebih
tepatnya keluarga.
Karman
yang memang mudah bergaul, akhirnya selalu dekat dengan pelanggan kami. Semua
kejadian unik tentang pelanggan kami, selalu dia bahas denganku. Kemudian dari sekian
pelanggan yang datang malam ini, hanya pelanggan di meja dua puluh satu yang
paling menarik bagi kami.
Perempuan
itu masih terdiam dengan lembaran kertas yang dibaca. Namun laki-laki di
depannya tampak gelisah menunggu sesuatu. Bahkan kopi ini menjadi pesanan
ketiganya malam ini. Berbeda dari malam-malam sebelumnya, dua pelanggan setia
kami itu tampak tegang membunuh waktu.
“Bagus!”
perempuan itu berteriak girang.
Namun
laki-laki di depannya hanya menampakkan raut keheranan. Beberapa kali lelaki
itu berbicara panjang lebar ñ entah tentang apa karena suaranya tidak terdengar
sampai sini. Namun, berkalikali pula perempuan di hadapannya membalas dengan
tersenyum simpul. Tak ada penjelasan yang panjang, bahkan barangkali kepastian pun
tak ada.
Hujan
malam ini tampaknya menambah gelisah laki-laki itu. Namun perempuan di
hadapannya tampak santai menikmati lembaran-lembaran kertas yang dipegang.
Berkali-kali laki-laki itu membuka pembicaraan, tetapi hanya menyisakan
kekakuan di meja dua puluh satu itu.
Laki-laki
itu tampaknya sudah menyerah. Karena dia kembali memesan secangkir kopi cappuccino.
“Perempuan
memang susah, Mas,” tiba-tiba Karman menceletuk pada laki-laki itu.
“Bukan
susah, Mas, melainkan kita yang belum
bisa memahami.” Laki-laki itu hanya tersenyum, lalu kembali ke mejanya.
3.
Menunggu
adalah sesuatu yang membosankan. Ada orang yang mengatakan, menunggu adalah simbol
dari kata menyerah yang tak terungkapkan. Menunggu karena sudah menyerah untuk
berusaha. Menunggu karena menyerah untuk menikmati kegagalan. Ada pula yang
mengatakan, menunggu adalah hal paling egois di dunia. Menunggu karena menanti
orang lain untuk berusaha. Namun menunggu yang kulakukan kali ini bukanlah
sekadar menunggu. Bukanlah menunggu karena aku sudah menyerah atau karena aku egoistik.
Namun perempuan di depanku memaksaku kembali menunggu.
“Jadi
bagaimana?” aku membuka percakapan, meski tampaknya sia-sia.
Perempuan
ini hanya tersenyum menatapku, kemudian melanjutkan membaca cerita pendek yang
tadi kuberikan. Raut wajahnya begitu serius mendalami kertas yang sejak sepuluh
menit lalu dia pegang. Cerita pendek untuk sebuah kisah yang pendek. Bukan sekadar
kisah. Lebih tepatnya kenangan. Barangkali lebih bagus, sebuah cerita pendek
untuk kenangan yang pendek.
Waktu
itu hujan mengguyur Solo. Aku dan dia masih saja berdebat demi mempertahankan
pendapat yang entah siapa yang akan tahu kebenarannya. Sebenarnya hal kecil
yang kami perdebatkan. Siapa yang menyangka sebuah puisi yang kami baca bersama
bisa menimbulkan perdebatan yang sampai sekarang barangkali belum tahu ujung
jawabnya.
“Bukan!
Ini Chairil masih galau ya? Menunggu jawaban cinta Sri Ajati.” Dia masih ngotot
dengan pendapatnya itu.
Berbagai
argumen aku lontarkan untuk memupus pandangannya tentang puisi “Senja di Pelabuhan
Kecil” karya Chairil Anwar. Namun dengan teguh, dia bertahan. Dari perdebatan
itulah aku mengenal sosoknya. Perempuan yang selalu kutemui saat hujan tiba.
Seperti
saat ini, hujan yang masih mengguyur lingkaran kampus, barangkali akan menjadi
saksi keberadaan cinta yang kupendam selama ini. Belum lama aku mengenalnya, mungkin
hanya lewat status media sosial yang dia miliki. Bahkan untuk sekadar bertegur sapa
pun kami jarang. Perempuan ini selalu menyembunyikan tatap matanya ketika
bertemu denganku. Namun aneh, karena itulah aku ingin menangkap tatap matanya. Sekadar
untuk kuselami hingga relung hatinya. Walaupun sampai detik ini pun dia masih
kukuh menyembunyikan pelangi di wajahnya itu.
Sudah
dua puluh menit, dia membiarkanku membeku oleh waktu. Berkali-kali aku mencoba membuka
kata, tetapi hanya senyum kecil di sudut bibirnya. Aku mulai beranjak untuk
memesan kopi ketigaku malam ini. Namun tetap saja, kepergianku tidak mengacaukan
keasyikannya dengan lembaran kertas yang perempuan ini pegang. Aku pun duduk
kembali dengan secangkir cappuccino yang mengepuli wajahku.
“Bagus!”
akhirnya dia melahirkan kata.
“Apanya?”
tanyaku heran.
Dia
hanya tersenyum sambil memberikan lembaran kertas itu padaku
***
Akhirnya
perempuan itu melahirkan kata. Meski awalnya menimbulkan keheranan di wajah
laki-laki di depannya. Layaknya bayi baru lahir, kata pertama yang terucap dari
bibir perempuan itu pun langsung ditimang dengan senyum oleh laki-laki di hadapannya.
Laki-laki itu mulai berbicara antusias seolah tak mau kehilangan sepasang bola
mata yang ditatapnya ini. Perempuan itu pun
mengangguk, sesekali tersenyum, tetapi sangat sedikit berbicara.
“Apa?”
Tiba-tiba perempuan itu menampakkan wajah keheranan.
“Iya!
Aku, aku mencintaimu tanpa tendensi apa pun. Aku ingin mencintaimu tanpa alasan
yang memperkuat cintaku padamu. Karena jika alasan itu telah memudar, aku takut
cintaku hilang bersama alasanku.”
Suasana
pun kembali beku. Hanya ada sepasang bola mata yang saling menatap di antara
rintik hujan malam ini.
Aku
pun beranjak menghampiri majikanku di meja kasir. (28)
Surakarta,
September 2017
Sapta Arif NW, aktivis pramuka yang menyukai
puisi, ceritacerita, dan diskusi hingga pagi. Baru saja menjuarai Sayembara Sastra
Bunga Tunjung Biru kategori cerita pendek. Kini, aktif sebagai ketua Gerakan
Menulis Buku Indonesia, dapat dihubungi melalui surat elektronik saptawnd@gmail.com,
IG @saptaarif, Twitter @saptaarifnw, FB Sapta Arif,(WA/SMS/telepon 085716286686).
Sumber : Suara
Merdeka Edisi Minggu, 24 Februari 2019
Tags
Cerpen