Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ALIRAN MU’TAZILAH

Dalam sejarah Islam tercatat adanya firqoh-firqoh (paham golongan) dalam lingkungan umat islam, dimana satu dengan lainnya bertententangan paham secara tajam dan sulit untuk didamaikan ,apalagi disatukan . Hal semacam ini telah menjadi fakta sejarah yang tidak dapat diubah lagi dan sudah menjadi pengetahuan yang terdapat dalam buku-buku agama terutama buku-buku tentang ushuluddin dan ilmu kalam, terdapat nama paham-paham antara lain Khowarij, Mu’tazilah, Qodariyyah, Jabbariyyah, Ahlussunnah Wal Jama’ah (Sunni) dan lain sebagainya . Hal ini terlalu mengherankan karena Nabi Muhammad SAW semasa hidupnya mengabarkan hal ini.
Dalam makalah yang kami buat ini akan memaparkan salah satu paham tersebut yaitu paham “MU’TAZILAH”  maka, kami akan merinci permasalahan tersebut dalam,
Ø  RUMUSAN MASALAH :
1.              Apa pengertian Mu’tazilah sendiri ?
2.              Bagaimana sejarah lahirnya aliran Mu’tazilah ?
3.              Ada berapa cabang-cabang aliran Mu’tazilah ?
4.              Siapa saja tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah ?
5.              Apa saja ajaran-ajaran aliran Mu’tazilah ?
6.              Bagaimana perkembangan aliran Mu’tazilah ?
Ø  TUJUANNYA :
1.              Mengetahui apa itu kata Mu’tazilah sendiri.
2.              Mengetahui sejarah lahirnya aliran Mu’tazilah.
3.              Mengetahui cabang-cabang aliran Mu’tazilah.
4.              Mengetahui tokoh-tokoh aliran Mu’tazliah.
5.              Mengetahui ajaran-ajaran aliran Mu’tazilah.

6.              Mengetahui sejarah berkembangnya aliran Mu’tazilah.
A.    Pengertian Mu’tazilah
Secara etimologi (bahasa) Mu’tazilah itu berasal bahasa Arab dari kata ‘azala-i’tazala yang berasal dari isim fa’il yang berarti memisahkan- menyingkir atau memisahkan diri.[1] Secara terminologi (istilah) Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasannya banyak memakai pikiran yang akal sebagai panglima, maka mu’tazliah sendiri mendapat nama “Kaum Rasional Islam”. Sebagian ‘ulama mendenifisikan Mu’tazilah adalah sebagai kelompok dari Qodariyyah yang menyisihkan diri .[2]
B.     Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Berbagai analisa telah dimajukan dalam setiap buku ilmu kalam untuk pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka, bahwa peristiwa lahirnya aliran mu’tazilah adalah adanya Washil bin ‘Atho (wafat 131 H).[3] Jadi ada ulama terkenal yaitu bernama Imam Hasan Al-Bashri (wafat 110 H), yang sedang menyelenggarakan majelis dimasjid kota Basroh pada satu itu Imam Hasan Al-Bashri menjelaskan masalah orang yang berbuat dosa besar bahwa menurutnya orang yang berdosa besar dan ia meninggal sebelum bertaubat menurutnya tetap muslim tapi muslimnya durhaka dan  nanti diakherat dia dimasukan keneraka hanya sementara sampai batas yang tertentu dan akan dimasukan kedalam surga.
Sebenarnya aliaran Mu’tazilah sebagai gerakan dan sikap politik, lahir di Madinah oleh ‘Abdulah bin ‘Umar diantara para sahabat bin Khattab yang tidak ikut campur dalam perselisihan politik diantara para sahabat. Ia memusatkan perhatiannya pada sunnah Nabi SAW yang kelak akhirnya disebut sebagai Ahlussunnah Wal Jama’ah.[5]
Sedangkan menurut paham Khawarij sendiri ia memandang orang yang berbuat dosa adalah kafir. Dan Washil murid Imam Hasan Al-Bashri yang terbilang pandai ia pun mengeluarkan pendapatnya pada saat majelis tersebut berlangsung bahwa orang yang berbuat dosa besar menurutnya adalah bukan muslim juga bukan kafir jadi Washil memilih diantara keduaanya, tidak muslim juga tidak kafir (Manzilataini baina manzilatain). Kemudian Washil berdiri saat majelis tersebut dan menjauhkan diri dari gurunya tersebut dan pergi ketempat masjid lain dan disana mengulangi pendapatnya. Dan atas peristiwa tersebut maka Imam Hasan Al-Bashri mengatakan : Washil telah menjauhkan diri (-i’tazala’anna).[6]
Dan akhirnya Washil dan temannya Amr bin Ubaid (wafat 144 H) dan para pengikut lainnya disebut sebagai kaum Mu’tazilah (orang yang menjauhkan diri ). Akan tetapi mereka kesulitan dalam menyebarkan pahamnya karena mendapat tekanan dari Bani Umayyah yang membuat terhambat dan sulit untuk berkembang, sehingga hal ini membuat mereka sangat membencinya kecuali Yazid bin Walid bin Marwan (wafat tahun 126 H) karena mengikuti berpaham Qodariyyah.[7]
Menurut Al-Baghdadi, Washil dan temannya Amr bin Ubaid (144 H), diusir oleh Imam Hasan Al-Bashri dari majelisnya karena adanya pertikaian pendapat antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berbuat dosa besar. Dan menurut Ahmad Ameen mengatakan : Mu’tazilah itu dikaitkan kepada mengasingkan diri .
Dengan golongan yang dikenal dengan aqidahnya ini (tidak muslim dan tidak kafir bagi orang yang berbuat dosa besar ) sesungguhnya dinamakan Mu’tazilah karena Abu Ustman Amr bin Ubaid memperbuat bid’ah lalu mengasingkan diri dari majelis Imam Hasan Al-Bashri dan golongan yang bersamanya dinamakan Mu’tazilah.[8]
C.    Cabang-cabang Aliran Mu’tazilah
Cabang mu’tazilah itu ada dua cabang yaitu :
1. Cabang Basroh (Iraq), pada permulaan abad ke-11 H yang dipimpin oleh Washil bin ‘Atho dan Amr bin Ubaid dan diperkuat murid-muridnya seperti Ustman At-Thawil, Hafash bin Salim, Hasan bin Zakwan, Kholiq bin Sofwan dan Ibrohim bin Yahya Al-Madani. Dan pada wakyu itu yang berkuasa adalah khalifah Hisyam bin Abdul Muluk dari tahun (100-125 H), ia berasal dari Bani Ummayyah. Kemudian pada abad 111 H cabang Basroh dipimpin oleh Abdul Hudzail Al-Allaf (wafat 235 H), Ibrohim bin Sayyar An-Naddani (wafat 221H), Abus Basyar Al-Marsi (wafat 218 H), Ustman Al-Jahiz (wafat 255H), Ibnu Al-Mu’ammar (wafat 210 H) dan Abu Ali Al-Juba’i (wafat 303 H).
2. Cabang Baghdad (Iraq), cabang ini dipimpin oleh Basyarbin Al-Mu’tamar, salah satu  pemimpin basroh yang pindah ke Baghdad lalu dibantu oleh Abu Musa Al-Murdan, Ahmad bin Abi Dawud (wafat tahun240 H), Ja’far bin Mubasyar (wafat tahun 234 H) dan ja’far bin Harib Al-Hamdani (wafat 235 H).
D.    Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah
a.       Washil bin ‘Atho (80-131 H/699-748 M).
b.      Al-Atlaf (135-226 H/758-840 M).
c.       An-Nazzam (wafat 231 H/845 M).
d.      Al-Jubba’I (wafat 303 H/915 M).
e.       Basyar bin Al-Mu’tamar (wafat 226 H/840 M).
f.       Al-Chayat (wafat 300 H/912 M).
g.      Al-Qodhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M).
h.      Az-Zamakhsyari (467-458 H/1075-1144 M).

E.     Ajaran-ajaran Mu’tazilah
Ajaran pertama, adalah Al-Manzilah baina Al- Manzilataini, posisi diantara dua posisi dalam arti posisi tengah antara Khawarij dan Murji’ah dan orang yang berbuat dosa besar dan keadilan Tuhan.
Ajaran kedua, adalah paham Qadariyyah kata Washil lebih bijaksana dan adil.
Ajaran ketiga, adalah mengambil bentuk penidaan sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat-sifat Tuhan sebenarnya wujud tersendiri diluar dzat akan tetapi merupakan esensi Tuhan.
Ajaran keempat, adalah Al-manzilataini baina Al-Manzilatain, posisi menegah bagi berbuat dosa besar juga erat hubungannya dengan keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar  bukanlah kafir karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad, tetapi ia bukanlah muslim ,karena imannya tidak lagi sempurna.
Ajaran kelima, adalah perintah untuk berbuat baik dan melarang untuk berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban oleh kaum Mu’tazilah saja akan tetapi semua golongan umat islam lainnya. Perbedaannya adalah tentang pelaksanaannya.
Ajaran lainnya adalah :
1.      Rukun Iman hanya mengenal Tuhan saja dan Raul-rasul-Nya.
2.      Qur’an dan Hadits dibawah akal dan makhluk.
3.      Tuhan tidak dapat dilihat walau disurga.
4.      Mi’raj Nabi hanyalah mimpi.
5.      Pekerjaan manusia dijadikan manusia.
6.      ‘Arsy dan kursi Allah tidak ada.
7.      Malaikat Kiraman Katibin tidak ada.
8.      Surga dan Neraka tidak kekal.
9.      Timbangan diakherat tidak ada.
10.  Hisab diakherat tidak ada.
11.  Titihan Sirothol Mustaqim tidak ada.
12.  Tidak ada mu’jizat.
13.  Tuhan tidak mempunyai sifat.
14.  Tuhan mesti berbuat baik pada hamba-Nya.
15.  Orang yang berbuat dosa besar dan telah meninggal dunia maka dia tidak mkafir juga tidak muslim.
16.  Surga dan Neraka sampai sekarang belum ada.
17.  Ada tempat lain selain Surga dan Neraka.

Ajaran-ajaran Mu’tazilah mendapat dukungan dan penganut dari bani Umayyah dari Khalifah Yazid bin Walid. Sedangkan dari Bani Abbasiyyah yaitu :
ü  Khalifah Ma’mun bin Harun Ar-Rasyid (198-218 H).
ü  Khalifah Al-Mu’tashim bin Harun Ar-Rasyid (218-227 H).
ü  Al-Watsiq bin Al-Mu’tashim (227-232 H).[11]
Adapun prinsip Mu’tazilah yang hampir disepakati oleh para ahli sejarah adalah :
1.      At-Tauhid
Tauhid adalah dasar agama islam yang pertama dan utama. Mereka menyakini dengan semurni-murninya dan menolak paham Mujasimmah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk (berjizm) dan dapat dilihat dengan indera, karena Mu’tazilah tidak mempercayai sifat-sifat Tuhan dan karena paham Mu’tazilah menamakan dirinya dengan Ahlul ‘Adli Wat Tauhid (Golongan penegak keadilan dan mensucikan ke-Esaan Tuhan).
2.      Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)
Dasar keadilan Tuhan bagi mereka adalah meletakan pertanggung jawaban manusia atas segala amal dan perbutannya. Semua pekerjaan manusia tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan bahkan Tuhan tidak tahu apa-apa yang dilakukan oleh manusia. Dengan demikian Tuhan itu adil.
3.      Al-Wa’du Wal wa’id (Janji dan Ancaman)
Menurut mereka bahwa janji Tuhan adalah untuk memberikan pahala kepada hamba-Nya, yang penuh taat dan bertaubat, pasti akan terjadi. Demikian juga dengan ancaman Tuhan untuk menjatuhkan siksa pada hamba-Nya yang berdosa dan berbuat maksiat, pasti akan dilaksanakan dihari kiamat kelak.
4.      Al-Manzilah baina Al-Manzilataini (Tempat diantara dua tempat)
Prisip itu bermula dari Washil Prisip itu bermula dari Washil bin ‘Atho yang memisahkan diri dari majelis Hasan Al-Bashri tentang seorang yang berbuat dosa besar , bahwa menurutnya orang yang berbuat dosa besar dan meninggal maka dia tidak muslim juga bukan kafir.
5.      Amar  Ma’ruf Nahi Munkar (Mengajak Kebaikan dan Melarang Keburukan)
Sebenarnya ajaran ini menjadi ajaran-ajaran pada umumnya. Tapi yang menjadi permasalahan adalah segi penyampaiannya. Menurut mereka kalau tidak berhasil dengan Amar Ma’ruf Nahi Munkar maka kekerasan atau perang adalah perhitungannya yang mesti dilaksanakan adalah mengangkat pedang.
6.      Tentang Kedudukan Akal
Menurutnya, akal adalah mempunyai kedudukan istimewa. Mereka menyakini kekuatan akal manusia untuk mengetahui segala sesuatu sampai kepada masalah-masalah diluar alam. Dan mereka hanya menerima dalil-dalil naqli (nash) yang sesuai dengan akal.
7.      Tentang Al-Qur’an
Tentang Al-Qur’an mereka berpendapat bahwa ia adalah makhluk yang baru, yang bukan sifat Allah qadim.
Pokok-pokok pikiran politik Aliran Mu’tazilah, antara lain:1)      Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan ‘Umar bin Khatab ra.
2)      Tidak tegas sikapnya terhadap pemerintahan khalifah ‘Utsman dan pemberontak yang membunuhnya.
3)      Menganggap ‘Ali lebih berhak menduduki jabatan khalifah dari pada ‘Utsman.
4)      Soal Imamah adalah merupakan pilihan rakyat.
5)      Khalifah tidak harus dari suku Quraisy.
6)      Khalifah harus seorang muslim,adil tanpa pandang suku.
7)      Mengangkat imam bukan merupakan kewajiban agama, manakala keadilan sudah merata.[14]

F.      Perkembangan Aliran Mu’tazilah
Sejak Islam tersebar luas, banyaklah bangsa-bangsa yang memeluk islam. Akan tetapi tidak semua pemeluk yang baru masuk islam itu masuk dengan ikhlas. Ketidak ikhlasan itu semakin tampak pada khalifah Mu’awiyyah. Mereka itu sebenarnya musuh islam. Diantara musuh-musuh itu adalah golongan Syi’ah extrim yang banyak mempunyai unsur-unsur yang menyimpang jauh dari ajaran islam. Terutama pengaruh berbagai kepercayaan kuno Persia. Dalam situasi seperti itulah maka muncul firqoh-firqoh Mu’tazilah yang berkembang pesat dan sistem pemikirannya dengan mengutamakan akal. Dan ternyata Mu’tazilah juga terpengaruh oleh kalangan orang-orang Yahudi, sehingga mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an itu hadits (baru) atau khalqul qur’an.
Dan pengaruh yang sama dari Kristen, seperti Saint Joha of Damascus (678-749 M) yang lebih dikenal dengan Ibnu Sarjum, Tsabit bin Qurrah (836-901 M) dan Kusto bin Lucas (820-912 M). Orang-orang Mu’tazilah giat mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Ilmu logika sangat menarik perhatiannya karena untuk menunjang berpikir logis. Memang Mu’tazilah lebih mengutamakan akal pikiran dan sesudah itu baru Al-qur’an dan Hadits. Hal ini berbeda dengan golongan Ahlussunnah  yang mengutamakan Al-qur’an dan hadits.
Ajaran-ajaran agama yang tampaknya bertentangan dengan akal pikiran, Mu’tazilah membuang jauh-jauh. Sekalipun ada petunjuk dari Nash ,Isra’ dan Mi’raj Nabidengan roh dan jasad, kebangkitan manusia dari kubur dianggap bertentangan dengan akal pikiran.
Musnahnya Mu’tazilah ditandai setelah Al-Mutawakkil menjadi khalifah daulat Abbasiyah pada tahun 232 H/986 M yang telah mengajak semua umat islam bersatu kembali kepada sunnah rasul. Dan seterusnya ia menghapuskan kedudukan Mu’tazilah sebagai paham resmi negara.[16]


[1]Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam,1994. cet.2,Jakarta : PT.Grafindo Persada. hlm.106.
[2]Harun Nasution,Teologi Islam aliran-aliaran sejarah analisa perbandingan,1986.cet.5, Jakarta : PT.Universitas Indonesia Press. hlm. 38 .
[3]Lihat Ibid. hlm. 38.
[4]Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam,1994. cet.2,Jakarta : PT.Grafindo Persada. hlm.106.
[5] Hamzah Muchorob, Menjadi Politisi Islam, 2002,cet. 1, Wonosobo : Kerja sama LAKPESDAM dan NARASI UNGGUL ,didukung oleh tabloid POLES Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah. hlm. 43.
[6] Dikutib dari Mahmud A. Subhi, Fi’ilmi Al-Kalam, Cairo,1969. hlm. 75.
[7] Harun Nasution,Teologi Islam aliran-aliaran sejarah analisa perbandingan,1986.cet.5, Jakarta : PT.Universitas Indonesia Press. hlm. 40.

Post a Comment for "ALIRAN MU’TAZILAH"